tirto.id - Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia (AMPTPI) merespons soal Otonomi Khusus Papua dan rencana pemekaran provinsi Papua.
"Kebijakan otonomi khusus dan pemekaran memakan korban jiwa (yakni) senjata tajam aparat terhadap rakyat Papua dalam menegakkan harkat dan martabat. Pemerintah memiliki peran besar untuk lakukan dialog, bukan operasi militer," kata Sekjen AMPTPI Ambrosius Mulait, kepada Tirto, Jumat, 1 April 2022.
Dia berpendapat rakyat Papua menolak dua kebijakan tersebut sebab bagi orang asli Papua, upaya itu bukanlah politik rekognisi yang menjawab penderitaan rakyat Papua setelah aneksasi kepada NKRI.
"Pemerintah Jokowi memandang Papua dengan cara kaku, sehingga problem terus mengulang. Papua memiliki memoria passionis yang panjang," imbuh Ambrosius.
Konflik Papua tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan militer, meski pemerintah dan aparat keamanan mengubah pendekatan penyelesaian masalah dengan cara yang lebih halus. Namun hingga kini korban jiwa masih berjatuhan.
Benny Sweny, anggota Majelis Rakyat Papua (MRP), berpendapat rencana daerah otonomi baru (DOB) dan UU Otsus Papua melahirkan polarisasi dan marjinalisasi kepada orang asli Papua. Sebab, tujuan dari Otonomi Khusus berdasar huruf j Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 terkait dengan penerapan hak asasi manusia, hak-hak dasar penduduk asli dan pluralisme.
“Tapi secara implementasi, terjadi pelanggaran HAM yang begitu hebat, kekerasan di mana-mana. Menimbulkan pro dan kontra terhadap otonomi khusus," ucap Benny, dalam konferensi pers daring, Kamis, 24 Maret.
Sementara itu, Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menyatakan Papua yang kaya sumber daya alam dan sumber daya manusianya, bisa menetaskan konflik kepentingan. Akibatnya, siklus kekerasan terus terjadi cum pelanggaran hak asasi manusia belum ada solusi permanen.
“Komnas HAM mencatat, kurun waktu 2020-2021 lebih dari 1.100 kasus kekerasan, dengan korban jiwa TNI, Polri, kelompok bersenjata, maupun masyarakat sipil. Angka tersebut harus menjadi pertimbangan yang sungguh-sungguh bagaimana solusi atas siklus kekerasan bisa dihadirkan," tutur Beka.
Tak hanya siklus kekerasan, ruang ekspresi dan pendapat rakyat Papua pun dibatasi pemerintah, itu pun harus diselesaikan lantaran orang Papua sama derajatnya dengan suku lain di Indonesia.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Restu Diantina Putri