tirto.id - Di masa mudanya, Simon van den Bergh (1819-1907) tergolong tampan, bertubuh tinggi dan berambut hitam. Menurut Charles Wilson dalam The History of Unilever: A Study in Economic Growth and Social ChangeVolume II (1986:21), sejak dini Simon sudah terlibat bisnis keluarganya.
Dalam buku Family, Family Firm, and Strategy: Six Dutch Family Firms in the Food Industry 1880-1970 (2002:51), Doreen Arnoldus mencatat bahwa ayah Simon yang bernama Zadok menjual margarin. Setelah Zadok meninggal, pada 1858, Simon pindah ke Oss, Belanda. Di kota itu, Simon mulai menjual margarin pada 1866. Keenam anaknya berkontribusi dalam bisnis itu, demikian ditulis Hans W. Wamsteker dalam 60 Years Unilever in Indonesia, 1933-1993 (1993:12).
Simon, seorang Yahudi yang menjalankan tradisi dan aktif di komunitas, juga membuat dan menjual margarin khusus untuk orang-orang Yahudi. Margarin yang murni vegan ini—sama sekali tidak mengandung susu dan lemak hewan—disebut Tomor (bahasa Ibrani "tamar": pohon kelapa).
“Tomor tak hanya kosher [kategori 'halal' bagi orang Yahudi], tapi juga netral dari kategori daging dan susu,” tulis Alain Drouard dalam bukunya The Food Industries of Europe in the Nineteenth and Twentieth Centuries (2016:125).
Saingan penting keluarga van den Bergh dalam berdagang margarin adalah keluarga Jurgens. Pada 1898, menurut Doreen Arnoldus (2002:304), keluarga van den Bergh merilis margarin merek Vitello. Sementara itu, keluarga Jurgens punya Stork.
Setelah kematian van den Bergh, pada 1907, anak-anaknya meneruskan bisnis margarin keluarga itu. Mereka lalu mengembangkan satu produk margarin yang belakangan dikenal sebagai: Blue Band.
Monthly Review Volume 2 (1921:22) menyebut merek ini sudah dipromosikan di Inggris pada 1915. “Blue Band, secara kualitas, lebih unggul dari semua yang mereka hasilkan. Bahan baku yang digunakan paling bagus dan pembuatannya diawasi dengan sangat hati-hati,” tulis Charles Wilson (1968:172).
Ternyata, produk keluarga Van den Bergh ini sangat sukses di pasaran Inggris. Blue Band yang diperkenalkan pada tahun 1915 ini, menurut Marlou Schrover dalam Het Vette, Het Zoete en Het Wederzijdse Profijt: Arbeidsverhoudingen (1991:76), besar permintaannya di pasaran Inggris. Bahkan, van den Bergh tak bisa memenuhi permintaan itu.
“Perwakilan perusahaan terbatas untuk mendistribusikan produk dan tidak perlu melakukan apapun tentang promosi penjualan,” tulis Marlou.
Ben Wubs dalam International Business and National War Interests (2008:13) mencatat, di masa-masa Perang Dunia I, keluarga van den Bergh membangun pabrik di Inggris. Begitu juga keluarga Jurgens. Tak hanya margarin, bisnis keluarga van den Bergh juga meliputi minyak dan sabun. Saingan berat Blue Band di Inggris adalah Lever Brothers—yang memproduksi sabun cuci Sunlight.
Baca Juga: Dulu Sabun Batangan Tjap Tangan Kini Sunlight Cair
William Joseph Reader dalam Unilever: A Short History (1960:21), baik van den Bergh maupun Jurgens sama-sama kuat. Tahun 1927, kedua perusahaan itu bersatu dalam Margarine Unie atau Margarine Union. Menurut catatan The Producer: With which is Incorporated "The Consumer." volume 13-14 (1929:234), aset dua perusahaan ini yang semula £13.000.000, jelang 1929 meningkat menjadi £14,851,753. Selain di bagian barat, usaha mereka juga ada di negara-negara Eropa Timur seperti Polandia, Austria, dan Hongaria.
Selain dua perusahaan besar Jurgens dan van den Bergh, menurut Ben Wubs, perusahaan margarin lain yang bergabung di situ adalah Centra dan Schicht's. Margarine Unie, yang berkantor di Rotterdam itu, akhirnya dimerger lagi dengan pesaingnya yang ada di Inggris, Lever Brothers. Pada 1930, resmilah Unilever berdiri.
Akhirnya, Blue Band kemudian sampai juga ke Nusantara. Orang-orang Belanda, juga Yahudi, yang tinggal di Hindia Belanda membutuhkan margarin. Menurut situsweb Blue Band, margarin ini diluncurkan di Hindia Belanda sejak 1934. Pita biru diklaim sebagai ikon kualitas tinggi.
Menurut catatan Bisuk Siahaan dalam Industrialisasi Di Indonesia: Sejak Hutang Kehormatan Sampai Banting Stir (1996:70), pada 1936 sudah ada N.V van den Berghs Fabrieken yang menghasilkan minyak goreng dan mentega di Batavia. Perkembangan pabrik di Hindia Belanda itu sempat dimonitor oleh keturunan Simon van den Bergh, Sidney van den Bergh. Menurut catatan Hans W. Wamsteker (1993:33), pada 1937 Sidney van den Bergh berkunjung ke Batavia dan membandingkan situasi Hindia Belanda dengan Eropa.
“Kita punya posisi lebih baik di sana ketimbang di Eropa,” kata Sidney seperti dicatat Hans. Melihat besarnya Hindia yang kala itu koloni Belanda, ia memperkirakan Blue Band bisa punya pasar besar di Indonesia.
Meski sempat terganggu perang, apa yang diramalkan Sidney van den Bergh soal Blue Band di Indonesia menjadi kenyataan. Blue Band menjadi margarin yang terkenal, juga dianggap elit—banyak margarin merek lain yang harganya lebih terjangkau.
Iklan-iklannya makin lama makin menghiasi media massa. Blue Band berani menyebut diri sebagai margarin dengan kandungan vitamin A dan D yang membantu pertumbuhan anak. Dilihat dari iklan-iklannya, Blue Band ingin tampil sebagai pendukung gizi anak-anak untuk tumbuh. “A Fuk Selalu Berhasil...!” atau “Giman Selalu Berhasil..”
Hingga sekarang, posisi Blue Band masih bagus di pasaran margarin Indonesia. Produknya dijual dalam rupa-rupa ukuran dan kemasan: kaleng, mangkuk plastik, dan sachet.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani