tirto.id - “Malam ini, @FLOTUS (Ibu Negara Amerika Serikat) dan saya dinyatakan positif COVID-19,” ucap Presiden Amerika Serikat Donald Trump melalui akun Twitter pribadinya, @realDonaldTrump, sekitar 1 jam sebelum sholat Jumat di tanggal 2 Oktober 2020 digelar.
Pengumuman dari Donald Trump yang menyatakan bahwa dirinya terjangkit Corona mengejutkan. Bagaimana tidak, semenjak Corona dinyatakan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) per 11 Maret 2020 silam, Trump selalu menganggap enteng musibah yang telah menewaskan lebih dari satu juta jiwa di seluruh dunia ini. Dalam perjalanan memimpin Paman Sam menghadapi Corona, Trump pernah menyebut bahwa Corona tak ubahnya flu biasa. Pada kesempatan lain, ia menyebut Corona sebagai “virus Cina” yang akan hilang dengan sendirinya. Ketika diwawancarai oleh Jonathan Swan untuk Axios pada pertengahan Agustus lalu, Trump terus-terusan mengklaim penanganan Corona di AS di bawah kendalinya adalah yang terbaik, bahkan lebih baik dibandingkan Korea Selatan. Dengan yakin, Trump menyebut bahwa Corona di AS “aman dan terkendali”.
Sikap meremehkan pandemi Corona yang dilakukan Trump menggelikan. Bob Woodward, jurnalis yang sukses mengulik tindak-tanduk sembilan Presiden Amerika Serikat dalam lebih dari 50 tahun kariernya, menyebut bahwa Trump sesungguhnya paham akan bahaya Corona. Woodward mewawancarai Trump pada Februari lalu (ya, bahkan sebelum WHO menyatakan Corona sebagai pandemi). Trump bahkan menyebut Corona sebagai “sesuatu yang mematikan”. Sayangnya, Trump lebih memilih untuk mengecilkan horor Corona guna menghindari kepanikan publik. Keputusan itu akhirnya membuat lebih dari 207.000 warga AS meninggal akibat terpapar COVID-19.
Trump dikabarkan positif COVID-19 tak lama selepas debat calon presiden dengan Joe Biden, dan setelah ia mengklaim bahwa “akhir dari pandemi Corona sebentar lagi tiba”.
Tak lama selepas dinyatakan positif, dr. Sean P. Conley, dokter kepresidenan AS, menyatakan Trump dan Ibu Negara Melania Trump akan menjalani pengobatan di Gedung Putih. Trump, sebut Conley, “akan terus menjalankan tugasnya tanpa gangguan selama pemulihan”. Trump, kala itu, hanya disebut mengalami “gejala ringan.” Namun, lima hari selepas positif Corona, Trump dilarikan ke Walter Reed National Military Medical Center untuk menjalani perawatan selama beberapa hari. Sialnya, meskipun telah masuk rumah sakit, Gedung Putih tak menjelaskan secara rinci bagaimana kondisi sang presiden.
Menurut catatan dokter, Trump diberikan vitamin D, zinc, melatonin, aspirin, dan famotidine. Tak ketinggalan, Trump pun memperoleh suntikan remdesivir, obat yang masih berstatus “uji coba” untuk memerangi Corona tetapi telah disetujui penggunaannya oleh Food and Drug Administration (semacam BPOM Amerika). Sementara itu, menurut laporan Michael Greshko untuk National Geographic, Trump memperoleh suntikan obat bernama REG-COV2, obat yang belum teruji dalam percobaan klinis untuk memerangi Corona.
Meskipun Trump dan Melania belum sembuh, usai tiga malam dirawat di rumah sakit, penguasa AS itu pulang ke Gedung Putih. Dengan sembrono, Trump bahkan mengunjungi pendukungnya dalam rangka kampanye pilpres. Tingkah laku ini tentu saja berbahaya. Kembali merujuk laporan Greshko, karena telah uzur (74 tahun) dan obesitas, Trump sangat berisiko mengalami kemungkinan terburuk ketika terpapar Corona.
Sebagai salah seorang sosok yang paling berisiko tinggi mengalami kemungkinan terburuk, bagaimana jika Trump meninggal dunia akibat Corona? Apa yang terjadi dengan kursi kepresidenan yang diduduki Trump?
Lebih Sederhana Seandainya Kim Jong-un Meninggal
Akhir April 2020 lalu, tatkala Pemimpin Tertinggi Korea Utara Kim Jong-un diberitakan mengalami masalah kesehatan yang sangat serius. Seandainya Kim Jong-un meninggal, sangat sukar memprediksi siapa yang akan menjadi penguasa selanjutnya dari negeri yang bersebelahan--baik secara geografis, ekonomi, maupun ideologi--dengan Korea Selatan itu. Ya, sebagai wilayah yang dikuasai dinasti Kim, pasca didirikan Kim Il-sung dan kekuasaannya dilanjutkan oleh Kim Jong-il dan lalu Kim Jong-un, kekuasaan akan jatuh ke tangan anak Kim Jong-un. Masalahnya, pernikahan Kim Jong-un dengan Ri Sol Ju menghasilkan tiga anak, dengan yang tertua baru berusia 10 tahun dan yang termuda baru lahir tiga tahun silam. Maka, meskipun titah dinasti menghendaki, cukup mustahil anak tertua Kim Jong-un menerima tongkat estafet kekuasaan yang ditinggalkan ayahnya--seandainya Kim Jong-un meninggal.
Di sisi lain, Kim Jong-un, dalam catatan sejarah, perlahan tapi pasti “membantai” garis-garis keturunan Kim yang ia yakini dapat merongrong kekuasaannya. Pada 2013, misalnya, Kim Jong-un mengeksekusi mati pamannya, Jang Song Thaek. Pada 2017, dengan rencana yang disusun bak acara televisi, Kim Jong-un menghabisi Kim Jong-nam, yang uniknya, merupakan anak tertua Kim Jong-il. Sementara itu, saudara lain Kim Jong-un, Kim Jong-chol, belum sempat dikirim sang saudara ke akhirat--mungkin karena Kim Jong-chol lebih memilih tinggal di London sebagai warga biasa alih-alih hidup dengan tekanan batin di samping saudaranya. Yang tersisa praktis hanya Kim Yo-jong, saudara perempuan Kim Jong-un.
Bagaimana dengan AS?
Mengutip laman resmi Pemerintah AS, berdasarkan amandemen ke-25 Konstitusi AS dan diperkuat melalui Undang-Undang Suksesi Presiden tahun 1947, tatkala presiden meninggal dunia (atau dengan alasan lain), “wakil presiden menjadi presiden.” Lebih lengkap, jika Presiden AS tidak berdaya, meninggal, mengundurkan diri dengan alasan apapun dan oleh karenanya tidak dapat memegang jabatan, atau diberhentikan, ia akan digantikan oleh wakil presiden. Seandainya wakil presiden mengalami hal yang sama, jabatan presiden otomatis akan jatuh ke tangan Ketua DPR. Tatkala Ketua DPR pun mengalami hal serupa, kekuasaan akan jatuh pada Presiden Pro Tempore (Ketua Senat atau di Indonesia setara dengan Ketua DPD).
Secara tingkatan, tatkala presiden, wakilnya, Ketua DPR, dan Presiden Pro Tempore tidak mampu mengemban tugas sebagai presiden seperti alasan di atas, kekuasaan presiden akan secara otomatis jatuh pada Menteri Luar Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Pertahanan, Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan, Menteri Tenaga Kerja, Menteri Kesehatan, Menteri Perumahan, Menteri Transportasi, Menteri Sumber Daya Energi, Menteri Pendidikan, Menteri Veteran, dan terakhir Menteri Keamanan Dalam Negeri.
Sejak kekuasaan presiden muncul pada 1789 di AS, 44 orang pernah menjadi Presiden AS. Dan dari 44 Presiden AS itu, delapan meninggal dunia ketika masih berstatus sebagai presiden. Empat meninggal secara alamiah, sementara empat lainnya karena dibunuh. Presiden AS pertama yang meninggal ketika masih berkuasa di Gedung Putih adalah William Henry Harrison. Harrison meninggal pada 4 April 1841 karena penyakit pneumonia. Lalu, Presiden Zachary Taylor meninggal pada 9 Juli 1850 karena peradangan saluran pencernaan. Pada 14 April 1865, Presiden Abraham Lincoln pulang ke rahmatullah usai ditembak Wilkes Booth. Pada 2 Juli 1881, Charles J. Guteau menembak mati Presiden James A. Garfield. Ketika William McKinley baru delapan hari menjabat Presiden AS untuk kedua kalinya, ia meninggal dunia selepas ditembak Leon Czolgosz di tanggal 6 September 1901. Sekitar empat bulan sebelum Indonesia merdeka, Presiden Franklin D. Roosevelt pun akhirnya meninggal dunia akibat pendarahan yang terjadi di otaknya. Terakhir, tatkala berkunjung ke Dallas, Texas, di tanggal 22 November 1963, Presiden John F. Kennedy tewas usai dibunuh Lee Harvey Oswald.
Ketika delapan presiden yang berkuasa itu meninggal, wakil mereka masing-masing naik tahta menjadi presiden. Maka, seandainya Donald Trump meninggal dunia, Wakil Presiden Mike Pence akan naik tahta menjadi presiden.
Sayangnya, Corona dan fakta bahwa saat ini Donald Trump tengah mengikuti proses pemilihan umum sedikit memperumit suksesi kekuasaan.
Ingat, Konstitusi AS menyebut bahwa presiden dapat diganti bukan hanya karena ia meninggal atau mengundurkan diri, tetapi juga dapat diganti tatkala dianggap memiliki kesehatan yang terlalu buruk hingga mengakibatkan hilangnya kapasitas memimpin Gedung Putih. Dengan alasan kesehatan, presiden dapat diganti dengan baik secara sukarela maupun paksaan. Akan sangat rumit untuk mencabut mandat saat ini karena Senat dikuasai Republikan dan House of Representative dikuasai Demokrat. Namun, sejarah AS pernah mengalami peralihan kekuasaan sementara dan sukarela. Pada 1985, dengan alasan kesehatan, Presiden Ronald Reagan pernah mengalihkan kekuasaannya selama delapan jam kepada wakilnya, George Bush. Dengan alasan yang sama, Presiden George W. Bush pada 2002 dan 2007 pernah menyerahkan kekuasaannya secara sukarela selama beberapa waktu kepada wakilnya, Dick Cheney.
Kembali ke soal meninggal, bagaimana dengan pencalonan Trump seandainya ia meninggal?
Nicholas Fandos, dalam paparannya untuk The New York Times, menyebut bahwa seandainya Trump meninggal di tengah proses pencalonan keduanya sebagai presiden, Komite Nasional Partai Republikan harus sesegera mungkin mencari pengganti Trump. Partai Republikan harus kembali menggelar kongres, bertanya kepada wakil-wakil mereka di setiap negara bagian tentang siapa yang menjadi pengganti Trump. Masalahnya, sebut Fandos, proses ini butuh waktu dan karena saat ini proses rangkaian pemilihan umum sudah berlangsung, hampir mustahil menentukan pengganti Trump sebelum pencoblosan berlangsung, sebelum 3 November 2020. Terkecuali jika petinggi-petinggi negara mau mengundurkan jadwal pencoblosan. Masalahnya, lagi-lagi, Senat dikuasai Republikan dan House of Representative dikuasai Demokrat. Ketika Senat memutuskan pencoblosan diundur, Demokrat sangat mungkin menjegalnya di DPR.
Lalu, bagaimana jika Trump meninggal tatkala ia terpilih lagi menjadi presiden? Jika Trump meninggal setelah ia dilantik, wakilnya akan menjadi presiden. Seandainya Trump menang dan meninggal sebelum dilantik, Konstitusi AS tetap menyatakan bahwa wakilnya berhak menduduki jabatan presiden.
Editor: Windu Jusuf