tirto.id - Bagi Ratna, daster adalah obat rasa rindu kepada kampung halaman, dan rumah baginya adalah tempat dia bebas memakai daster longgar nan adem yang beri kenyamanan tiada tara.
Jika koleksi daster yang dipakainya sejak remaja sampai menginjak kepala tiga dikumpulkan, bisa dipastikan jumlahnya jauh lebih banyak ketimbang baju kerja dan baju-baju kasual yang dia punya.
“Daster adalah kenikmatan yang hakiki, yang memberiku ‘napas’ di tengah dinamika hidup, yang mendinginkan hati, yang bisa bikin lega. Bisa bayangkan nggak sih, sensasi saat daster menyentuh kulit? Nyes!” kata Ratna.
Bahkan saat dirinya melihat konten transformasi perempuan-perempuan berdaster menjadi glowing, glamor, dan cantik dengan outfit kekinian berseliweran di Tiktok maupun reel Instagram, ada perasaan membuncah—seperti tak terima.
Topik seputar daster memang tak ada habisnya, seperti kecintaan banyak perempuan kepadanya sekaligus beragam anggapan miring tentangnya. Namun satu hal tak bisa dimungkiri: di kala fesyen bergerak begitu cepat, daster justru terasa abadi. Ia tetap dicari dan diminati.
Bagi para pecintanya, daster ibarat baju kebangsaan di rumah, bahkan terkadang masih dipakai untuk mengantar-jemput anak sekolah, ke pasar, membaur dengan tetangga, ataupun sekadar mengantre bubur ayam langganan. Simpelnya, tinggal dipadukan dengan outer atau jaket, celana panjang (dan jilbab), daster dirasa sudah pantas dipakai di luar rumah.
Saking favoritnya, baju terusan dengan potongan longgar ini sampai dibuat dalam berbagai model, warna, motif, dan bahan. Ukurannya pun beragam sehingga ramah untuk semua bentuk tubuh.
Seiring zaman, muncul beragam model daster—dari kelelawar, tanpa lengan, a-line, v-neck, ruffle, shirt dress, sampai kimono—tetapi daster tetaplah daster bagaimanapun ia dikemas, dimodifikasi, dipercantik. Model klasik pun punya pasar loyalnya sendiri.
Coba diingat, mana model daster yang paling banyak menghuni lemari bajumu—juga ibumu?
Duster, mengutip buku The Fashion Dictionary (1957) karya Mary Brooks Picken, umumnya terbuat dari tussore atau tenunan dari kepompong ulat sutra liar. Sehingga materialnya ringan dan nyaman dipakai walau berbentuk jubah panjang. Duster juga biasa disebut mantel debu, jubah debu, atau bungkus debu.
Sesuai namanya, fungsi duster kala itu bukan untuk di rumah, melainkan sebagai luaran yang melindungi pakaian dari debu jalanan. Barulah, pada 1950-an modelnya kian simpel, dibuat di atas lutut, dan fungsinya pun bergeser dari jalanan ke dalam rumah (pelindung saat masak atau membersihkan rumah).
Hingga kini, perjalanan panjang duster sampai ke Indonesia dan menjelma jadi baju rumahan kesayangan para perempuan masih menjadi misteri. Walau sudah usang dan terkadang berlubang di beberapa bagian, daster tak tergantikan. Malahan, makin berumur, kainnya makin sejuk dan nyaman dipakai (tak peduli seburuk apa rupanya).
Tak mengherankan, kata medical advisor penyedia layanan kesehatan Rey, dr. Astrid Wulan Kusumoastuti, daster punya cukup banyak manfaat. Tinggal di negara tropis membuat perempuan berisiko terkena iritasi kulit sehingga mereka membutuhkan baju longgar dan sejuk.
Sirkulasi udara yang baik dari pemakaian daster membuat kulit bebas bernapas dan meminimalkan risiko iritasi. Kulit pun jadi lebih sehat, lembap, dan terasa kenyal.
Selain loose fitting, kenyamanan daster ditentukan oleh bahannya, terutama ketika daster tak hanya dipakai untuk beraktivitas tetapi juga tidur malam.
Contoh jenis kain yang ramah bagi kulit iklim tropis, antara lain: katun; linen; dan sutra. Katun adalah kain ideal untuk teman tidur karena ringan dan memungkinkan kulit bernapas sehingga kamu tetap nyaman.
Linen juga menjamin kulit bebas bernapas sekaligus mampu menyerap keringat dengan baik, meskipun ini bukan kain paling nyaman untuk dipakai malam hari karena kurang lembut. Terakhir, sutra, adalah yang paling ringan dan lembut.
Kini bahan rayon yang asalnya dari polimer organik juga banyak dipakai untuk daster dan cukup diminati karena harganya ekonomis tetapi tak kalah nyaman. Minusnya, rayon cenderung tak tahan sinar matahari maupun panas setrika.
Sayang, kenyamanan dan nikmatnya berdaster dipertaruhkan oleh pandangan bahwa perempuan terlihat tak menarik atau tak lagi atraktif dalam balutan gaun longgar ini. Padahal kenyamanan tak membutuhkan penilaian.
Menarik atau tidaknya perempuan pun tak cukup bila hanya dilihat dari apa yang dia kenakan, bukan?
Editor: Lilin Rosa Santi