Menuju konten utama

Apa Itu Uang Fitrah & Tradisi Memberi Angpao di Hari Raya Idulfitri

Berikut ini adalah penjelasan tentang tradisi memberi uang fitrah atau angpao saat hari raya idulfitri di Indonesia.

Apa Itu Uang Fitrah & Tradisi Memberi Angpao di Hari Raya Idulfitri
Warga menunjukkan uang rupiah pecahan kecil di Lapangan Karebosi, Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (13/5/2019). ANTARA FOTO/Abriawan Abhe/aww.

tirto.id - Uang fitrah atau uang lebaran merupakan salah satu tradisi yang sering dilakukan umat muslim di Indonesia saat memasuki lebaran idulfitri atau hari raya.

Yang mana, remaja dan anak-anak menjadikan lebaran idulfitri ini sebagai momen untuk mengumpulkan uang, yang jumlahnya bisa mencapai jutaan rupiah.

Hal itu karena orang dewasa telah memperluas kewajiban agama untuk berbagi sedekah dan sumbangan selama hari raya dengan uang fitrah atau angpao hari raya.

Saat lebaran idulfitri, keluarga yang lebih muda biasanya mengunjungi tetangga atau kerabat yang lebih tua untuk mengucapkan selamat idulfitri dan juga untuk meminta pengampunan.

Dalam kunjungan-kunjungan ini, merupakan kebiasaan bagi pasangan yang lebih tua, yang sudah mapan atau yang sudah menikah untuk memberikan angpao lebaran, sejumlah kecil uang untuk anak-anak mereka sendiri, kerabat, dan juga tetangga.

Momen idulfitri adalah hari yang sangat menggembirakan bagi anak-anak karena orang dewasa memberi mereka uang dalam amplop warna-warni.

Bahkan, untuk memenuhi tradisi ini, Bank Indonesia biasanya membuka beberapa loket penukaran uang untuk menukar pecahan besar ke kecil beberapa hari sebelum lebaran. Pecahan dapat bervariasi dari Rp1.000, Rp2.000, Rp5.000 hingga Rp10.000.

Tradisi angpao lebaran merupakan sebuah tradisi baru yang mulai muncul pada pertengahan 2000-an dan diyakini telah diadopsi dari tradisi China, yang membagikan angpao (amplop merah berisi uang) selama Tahun Baru Imlek, yang menjadi hari libur nasional pada tahun 2003.

Di China, angpao ditemukan kali pertama pada masa Dinasti Han. Pada masa itu sebagian besar angpau menggunakan uang tembaga yang memiliki lubang bundar dan lubang segi empat di bagian tengah.

Biasanya pada bagian depan, terdapat kalimat keberuntungan “fu shan shou hai” yang artinya semoga berbahagia dan panjang usia, ada juga yang bertuliskan “qiang shen jian ti” yang artinya semoga sehat selalu.

Sedangkan di bagian belakang terdapat lambang keberuntungan seperti harimau, kura-kura, dan sebagainya.

Warna merah sendiri melambangkan kebaikan dan kesejahteraan di dalam kebudayaan China, yang menunjukkan kegembiraan dan harapan nasib baik bagi penerimanya.

Dalam tradisi orang Tionghoa, seseorang wajib memberikan angpao terutama orang yang telah menikah, pernikahan merupakan batas antara masa anak-anak dengan usia dewasa.

Harapannya pemberian angpao dari orang yang telah menikah bisa memberikan nasib baik kepada orang yang menerima.

Selain di masyarakat Tionghoa, pemberian hadiah seperti angpau juga berlaku di Malaysia, Brunei, dan Singapura.

Majalah Living World pernah mengulas soal tradisi ‘duit raya’ saat hari raya idul Fitri di Malaysia. Tradisi ini juga sering disebut green envelope, karena uang sebagai hadiah tersimpan dalam amplop berwarna hijau.

Warna hijau melambangkan warna yang melekat bagi umat Muslim. Tradisi ini merupakan bagian dari konsep zakat, yang mengatur kaum muslim menyisihkan 2,5 persen dari kekayaan untuk diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Selain di Indonesia, tradisi semacam ini juga berlangsung di Jepang, Tiongkok, Nigeria, dan Polandia.

Selain sebagai perayaan menyambut hari bahagia, tradisi memberi uang, juga dilakukan saat peristiwa kematian seperti yang terjadi di Indonesia.

Tradisi ini sebagai bentuk hubungan sosial di masyarakat sebagai simbol saling membantu, bentuk pernyataan simpati.

Apapun bentuknya dan di mana pun, memberi uang untuk hadiah dalam konteks positif sebagai tradisi yang sudah hadir lama di masyarakat dan berlangsung turun temurun.

Baca juga artikel terkait TRADISI LEBARAN atau tulisan lainnya dari Maria Ulfa

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Maria Ulfa
Editor: Yantina Debora