tirto.id - Musim Natal tiba dengan segala tradisi dan elemen yang menyertainya. Entah itu pesta pora atau libur panjang bagi orang di sebagian belahan bumi. Ini hari yang tepat untuk merefleksikan hidup sepanjang tahun, atau dilewati dengan bersenang-senang--yang kian dikomersialisasi. Bagi sebagian lain, itu berarti harus berhadapan dengan keluarga besar yang disfungsional; orang-orang yang tak disukai, tak berbagi minat bahkan kesamaan apa pun dengan kita selain DNA.
Anak baik seperti Max Engel, seperti bocah pada umumnya, tentu menunggu diberi hadiah oleh Santa Claus (Sinterklas dalam bahasa Indonesia). Selain itu ia juga berharap keluarganya dan perayaan itu kembali terasa penuh dan menyenangkan seperti semula.
Namun yang datang kepadanya bukan Santa, tapi Krampus. Sosok ini dijuluki sebagai "bayangan Santa".
Krampus datang pada musim Natal bukan untuk memberi, melainkan mengambil. Mereka yang tak berlaku baik bakal diangkut ke sarangnya di underworld. Loncengnya berdentang muram. Alih-alih para pembantu yang riang dan menggemaskan, Krampus membawa kru yang tak kalah menakutkan, dari boneka durjana hingga roti jahe nakal. Singkatnya, Krampus adalah Santa versi jahat.
Itu semua adalah penggambaran dalam film arahan Michael Dougherty berjudul Krampus (2015). Sosok "Santa Jahat" menjadi pengingat bahwa jika spirit Natal telah tiada, harapan tak lagi dipanjatkan dan kepercayaan ditinggalkan, maka yang terjadi berikutnya adalah kengerian.
Bermula di Alpen
Penggambaran makhluk ini cukup variatif, namun ada berbagi kesamaan: berbulu tebal hitam atau cokelat, berkaki dan bertanduk kambing, berhidung panjang dan bertaring. Sosok Krampus bagai setengah iblis setengah kambing.
Krampus juga berbagi kemiripan karakteristik dengan Zwarte Piet (Piet Hitam), sebelum sosok pembantu Santa itu diubah menjadi lebih bersahabat. Sementara dari sudut pandang pagan modern, menurut The Wild Hunt,"Tampaknya lebih mungkin bahwa alih-alih menjadi individu, Krampus bisa menjadi kategori atau jenis entitas."
Sejak abad ke-11, figur antropomorfik ini diceritakan sebagai salah satu pendamping Saint Nicholas, sosok yang menjadi model untuk Sinterklas. Keduanya mengunjungi anak-anak pada 5 Desember malam (malam St. Nicholas Day). Jika Saint Nicholas memberikan hadiah pada anak-anak yang berlaku baik, maka tugas Krampus adalah menghukum mereka yang berlaku tak patuh. Legenda mengatakan bahwa sepanjang musim Natal anak-anak nakal dipukuli dengan cabang pohon betula atau dimasukkan ke karung, diseret ke dunia bawah untuk disiksa atau dimakan.
Seperti beberapa figur mistis Natal lain, Krampus juga berasal dari Eropa tengah, tepatnya negeri-negeri yang dilintasi Pegunungan Alpen. Meskipun ada beberapa perdebatan tentang asal usul Krampus, ia diperkirakan berangkat dari ritual winter solstice yang diterapkan penganut paganisme pra-Jerman di kawasan tersebut.
Seperti sosok-sosok itu pula, Krampus sebetulnya tidak memiliki akar yang terkait dengan Natal. Menurut tradisi, Krampus merupakan putra Hel, Dewi Nordik dari dunia bawah. Namanya disebut berasal dari kata dalam Jerman Tengah, "kralle", yang berarti "cakar", juga terkait istilah dalam bahasa Bavaria, "krampen", yang mengacu pada sesuatu yang layu atau tak bernyawa.
Seiring dengan penyebaran Kristen, Krampus lantas dikaitkan dengan Natal. Selama abad ke-12, Gereja Katolik berusaha untuk melarang perayaan Krampus lantaran ia lebih mirip dengan iblis. Upaya pemberantasan lebih lanjut sempat dilakukan oleh Partai Sosial Kristen Austria--yang berhaluan konservatif--pada 1934.
Tidak ada dari upaya pelarangan itu yang sukses. Antara akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, saat industri kartu pos meledak di Austria dan Jerman, Krampus menemukan tempatnya di masyarakat. Kartu Natal dan kartu ucapan liburan bergambar dirinya (Krampuskarten) dicetak dan menyebar luas. Ilustrasi wajah dan kelakuan Krampus biasa diiringi pesan-pesan seperti "Gruß Vom Krampus" (Salam dari Krampus) dan "Brav Sein" (Jadilah Baik).
Krampus menjelma ikon liburan yang ditakuti pula dicintai.
Merayakan Anti-Santa
Krampusnacht (Malam Krampus) dirayakan setiap 5 Desember. Perayaan di Austria dan Bavaria itu lantas menyebar ke penjuru dunia lain, terutama Amerika Utara. Tak hanya Krampusnacht, ada pula perayaan lain seperti Krampuslauf, semacam parade di mana orang-orang tampil menyerupai Krampus atau sosok seram lain.
Dimulai pada akhir abad ke-20, di tengah upaya melestarikan warisan budaya, Krampuslauf menjadi kian populer di Austria dan Jerman. Menurut Britannica, selama waktu ini Krampus mulai dirayakan secara internasional, dan daya tarik monsternya terus meningkat, dibuktikan dengan banyaknya film horor, serial TV, animasi, dan gim video yang mengangkat sosoknya.
Di balik festival-festival itu barangkali ada para penikmat horor atau penggemar dandanan seram yang kurang puas jika festival macam Samhain dan Halloween hanya terjadi sekali dalam setahun. Namun, jika ditelaah lebih lanjut, beberapa pihak mengklaim bahwa selain pelestarian budaya popularitas Krampus yang meluas adalah reaksi terhadap komersialisasi Natal.
"Jika semuanya manis, cantik, dan indah, serta waktu yang paling menyenangkan dalam setahun, beberapa orang seperti saya mulai merasa sedikit mual, ingin sedikit garam untuk menggantikan gula," ujar Janet Finegar kepada NPR. Di tempat tinggalnya, Philadelphia, Amerika Serikat, Finegar turut mengorganisasi Krampuslauf.
Di bagian lain AS, tepatnya di Seattle, perayaan Krampus menuai kecaman. Festival itu dicap "serangan terhadap Kristen" dengan "pengaruh Iblis."
Meski tak selalu mulus, bagaimanapun, perayaan Krampus sepertinya belum akan berhenti, kalau bukan lebih meriah lagi. Kemunculan Krampus barangkali bisa dikatakan sebagai fenomena alami, keniscayaan untuk mengiringi hal-hal baik pada Natal. Sosoknya harus menjadi pihak antagonis dalam pengajaran konsep baik-buruk pada anak-anak dengan konsekuensinya, hadiah atau hukuman.
Ia menjadi pengimbang untuk rasa manis yang berlebihan atau untuk mereka yang sama sekali tidak suka manis.
Editor: Rio Apinino