tirto.id - Ketua Umum Cyber Indonesia Muannas Alaidid melayangkan laporan ke Polda Metro Jaya untuk youtuber Erdian Aji Prihartanto alias Anji dan seseorang yang mengaku peneliti mikrobiologi, Hadi Pranoto, pada 3 Agustus lalu. Muannas menilai keduanya telah membuat dan menyiarkan berita bohong melalui media digital. Hadi dianggap melanggar pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946; sementara Anji melanggar Pasal 28 ayat (1)Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE.
Berita yang dianggap bohong itu adalah wawancara antara Anji dan Hadi, yang dirilis di kanal Youtube Dunia Manji. Di sana Hadi mengklaim dirinya telah menemukan obat “penyembuh dan pencegah” COVID-19. Ia pun mengklaim obatnya telah mengobati 250 ribu pasien COVID-19--padahal jumlah pasien terkonfirmasi positif di Indonesia saat ini masih di bawah itu, 113.134 orang.
Belakangan video itu diturunkan oleh Youtube karena melanggar ketentuan komunitas.
Masih terkait dengan pandemi Corona, pada 16 Juni lalu Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Bali juga melaporkan penggebuk drum Superman Is Dead, I Gede Ari Astika alias Jerinx, ke polisi. IDI menilai Jerinx telah menyebarkan ujaran kebencian dan pencemaran nama baik di media sosial karena menyebut dokter sebagai “kacung WHO (World Heatlh Organization)” dan “rumah sakit mewajibkan semua orang yang melahirkan dites COVID. Sudah banyak bukti jika hasil tes sering ngawur, kenapa dipaksakan?”
Jerinx dan Anji adalah dua orang pesohor, sama-sama orang musik, yang kerap bicara sinis soal pandemi. Anji misalnya, sempat mencuit bahwa “COVID-19 tidak semengerikan apa yang diberitakan media.” Dia pun meragukan kebenaran foto jenazah Corona yang dipotret oleh fotografer National Geographic Joshua Irwandi. Sementara Jerinx seperti tak pernah habis energi untuk mengampanyekan isu kalau Corona hanya akal bulus WHO dan “elite global.” Terakhir, dia menggelar konser 'Bali Tolak Rapid dan Swab Test.'
Pernyataan atau sikap ngawur seperti ini sebenarnya bukan berasal dari Anji dan Jerinx saja. Epidemiolog dari Universitas Airlangga Windhu Purnomo mengatakan itu juga muncul dari pemerintah. Maka, jika misalnya Anji dan Jerinx dipolisikan, pemerintah juga dapat diperlakukan demikian.
“Jadi sebenarnya banyak itu, kalau memang mau diusut ya diusut semua saja,” kata Windhu kepada reporter Tirto, Selasa (5/8/2020). “Jangan bermain-main soal ini kalau belum ada bukti, misalnya menyangkut vaksin atau obat itu harus betul-betul melalui riset yang lengkap, praklinik dan uji klinik yang 3-4 tahap itu. Jangan mengklaim apa pun.”
Baru beberapa pekan lalu Kementerian Pertanian meluncurkan kalung eucalyptus yang diklaim bisa menangkal virus Corona. Mereka menamakannya dengan 'Anti Virus Corona Eucapyptus'. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengklaim kontak 15 menit dengan kalung ini bisa memusnahkan 42 persen virus. Jumlah yang tereliminasi akan makin banyak seiring lamanya kontak dengan kalung tersebut. Kalung itu pun dipromosikan oleh penyanyi Iis Dahlia dan Yuni Shara.
Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Tri Yunus Miko Wahyono menegaskan apa yang diproduksi oleh Kementan hanya jamu dan obat herbal, bukan vaksin yang dibutuhkan untuk memberantas COVID-19. Terlebih, pengujian yang dilakukan oleh Kementan hanya sebatas in vitro yang bahkan belum diuji kepada binatang.
Gubernur Bali I Wayan Koster juga pernah mengeluarkan pernyataan bombastis dan menyesatkan. Ia mengklaim arak bali yang telah didestilasi mampu menyembuhkan pasien COVID-19 yang tidak bergejala. Lalu ada Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi yang mengatakan Corona tidak masuk Indonesia karena orang Indonesia makan nasi kucing. Setelah itu Corona mengganas di sini, dan salah satu korbannya adalah Budi--kini sudah sembuh.
Bahkan Presiden Joko Widodo pun pernah mengklaim bahwa suhu udara, sinar matahari, dan tingkat kelembaban di Indonesia memperpendek umur virus Corona, pernyataan yang sebetulnya belum ada dasar ilmiahnya. Kini Corona belum juga mereda meski sejak April sudah musim kemarau.
Elina Ciptadi, salah satu co-founder Kawalcovid-19, inisiatif sukarela netizen yang mendorong transparansi dan kebijakan berbasis bukti, berpandangan hoaks soal COVID-19 lestari di Indonesia juga karena informasi yang diberikan pemerintah tidak lengkap. Ini memicu celah. Celah inilah yang kemudian diisi oleh orang macam Anji atau Jerinx dan pembual lainnya. Situasinya berbeda dengan Singapura: pemerintahnya memberikan informasi secara lengkap dan jelas sehingga meskipun banyak pembual tetapi mereka tidak mendapat panggung.
“Hoaks sedikit yang percaya dan enggak dapat panggung karena mereka lebih percaya info pemerintah,” kata Elina kepada reporter Tirto, Senin (4/8/2020).
Perbaiki Komunikasi
Analis media sosial dari Drone Emprit Ismail Fahmi mengatakan alih-alih pendekatan hukum, pemerintah semestinya memperbaiki pendekatan komunikasinya. Ia memberikan perhatian khusus kepada para influencer yang digandeng pemerintah dan diundang ke Istana--termasuk Anji. Menurutnya, pemerintah tidak boleh membiarkan mereka begitu saja setelah diundang.
“Saya enggak tahu briefing-nya, kalau briefing-nya bilang masyarakat sekarang panik, coba bikin bantu supaya mereka enggak panik, tetapi tanpa materi atau bahan, apa yang mereka lakukan? Mereka cari-cari, ada berita yang dianggap bagus di-share,” kata Fahmi kepada reporter Tirto, Selasa (5/8/2020).
Terkait Anji, Fahmi mengatakan ada kemungkinan ia memiliki niat yang baik tetapi salah langkah karena tidak paham. Anji bisa diundang kembali ke Istana untuk memberi klarifikasi sekaligus menyampaikan video baru yang kali ini berisi informasi benar dengan narasumber yang disediakan pemerintah.
“Influencer itu butuh ditemani. Mereka itu juga merasa punya tanggung jawab [untuk mengedukasi publik],” kata Fahmi.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino