Menuju konten utama
Sandiaga Uno:

"Anies Datang ke Saya: 'Bro, Tolong Deh Lo Itungin'"

Sandiaga menjawab soal DP 0 persen, sejarah OK OC, dan isu reklamasi.

Sandiaga Uno. Tirto.id/Sabit

tirto.id - Topik perumahan bagi rakyat Jakarta menjadi diskursus publik dalam beberapa hari terakhir. Pemicunya adalah gagasan "uang muka 0 persen" yang disampaikan oleh pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno.

Tidak sedikit yang skeptis dengan gagasan tersebut. Selain dianggap semata alat kampanye, gagasan uang muka 0 persen ini juga dianggap berbahaya karena bisa menimbulkan krisis subprime mortgage seperti yang terjadi di Amerika pada 2008 silam. Sedangkan kubu Anies-Sandi terus melaju dengan gagasan tersebut.

"[Program DP 0 persen] ini udah dijalankan di mana-mana dan enggak usah terlalu dibaperin, gitu loh. Sama anak-anak dibilang, ini akan bubble segala macam. Enggaklah, jauhlah," kata Sandiaga saat ditemui Tirto pada 16 Februari lalu di kantornya.

Pada kesempatan yang sama, Sandi juga menceritakan dari mana gagasan DP 0 persen itu muncul. Ia tetap yakin bahwa gagasan tersebut sangat mungkin direalisasikan. Kuncinya, bagi Sandi, adalah keberpihakan pemerintah dan perbankan.

Keberpihakan itu pula yang ia katakan terkait program OK OC, program yang terus menerus disampaikan oleh Sandi, baik dalam debat maupun kampanye. Ini adalah program one kecamatan one centre of entrepreneurship (OK OC).

"Nah kita berikan pagu kredit sampai 300 juta," jawab Sandi saat ditanya tentang akses permodalan bagi UMKM dalam program OK OC yang ia inisiasi.

Selain berbicara tentang program OK OC, UMKM, dan gagasan DP 0 persen untuk perumahan rakyat, Sandiaga Uno juga menyampaikan sikap resmi pasangan Anies-Sandi terkait polemik reklamasi di pantai utara Jakarta dan kesiapan mereka digugat oleh para pengembang.

Ini adalah wawancara bagian kedua,wawancara bagian pertama bisa dibaca DI SINI. Untuk dua wawancara ini, Tirto mengirim editor at large, Zen RS, dan penulis ekonomi, Wan Ulfa Nur Zuhra, ditemani fotografer Andrey Gromico, untuk mewawancarai pasangan Anies Baswedan dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 ini pada 16 Februari 2017 di kantornya di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Kalau melihat hasil survei terakhir, bahkan survei Polmark sekali pun, elektabilitas Anda sebenarnya tidak sebesar hasil quick count dan real count. Ada selisih sekitar 10 persen. Apa yang terjadi dan segmen mana yang akhirnya bisa dirangkul?

Kita belum tahu, bahkan data-data yang kita dapatkan ini baru mulai masuk. Kita akan tunggu real count dari KPU dan real count dari internal tim. Formulir C1-nya baru dapat tadi malam, dan dari sini kita bisa mendapatkan data-data yang akurat.

Tapi yang mungkin kita antisipasi, atau kalau bisa menebak, yang kami rasakan di dua minggu terakhir adalah pesan kami tentang pendidikan yang berkualitas, pendidikan yang akan mengubah masa depan warga Jakarta, pendidikan yang terjangkau biayanya, pendidikan yang tuntas, sampai dengan universitas, kita bisa cover dengan KJP plus itu, mendapatkan tempat di masyarakat.

Artinya segmen menengah ke bawah?

Iya, betul, segmen menengah ke bawah kalau untuk pendidikan itu. Dan untuk lapangan pekerjaan, apalagi setelah debat ke dua dan ketiga, intensitas yang kami dapatkan dari program OK OC itu mendapatkan dorongan dan momentum yang kuat. Karena kami melihat dari pendaftaran, kami live dari segi pendaftaran yang ikut program OK OC, per hari ini sudah menembus angka 5000 dari yang ditargetkan hanya 4.000.

5000 itu dari mulai hari pertama kampanye?

Dari mulai kami launch. Kami launch baru delapan minggu lalu.

Oh bukan dari awal start kampanye ya?

Bukan, akhirnya di-launch itu, kan, karena mendapat tantangan saat debat di Kompas TV. Pak Basuki, kan, waktu itu sedikit menyindir dan mencibir bahwa meragukan program seperti ini bisa berhasil. Karena tingkat kesuksesannya itu atau rasio suksesnya di bawah 10 persen.

Kami ingin buktikan, dan alhamdulillah ini sudah menjadi gerakan dan momentum. Per hari ini (16/2), dari target kami hanya 4.000 sudah ada 5.000 yang tergabung dalam jaringan OK OC. Jaringan OK OC ini akhirnya bisa juga menjadi (1) ajang mereka meningkatkan skill, (2) membangun jejaring, marketing, termasuk yang dilakukan oleh pemilik sepatu ini, Pak Hartono. (3) Juga ajang untuk mendapatkan akses permodalan. Ini yang buat saya patut dianggap sebagai blast, hal yang patut kami syukuri, bahwa masyarakat sekarang mulai melihat bahwa kami tidak semata-mata ingin berkampanye.

Gestur OK OC ini siapa yang bikin?

Saya yang bikin.

Gestur, bukan konsep?

Enggak ada pengarah gaya. Kali ini, gue harus klaim kalau OK OC murni dari saya. Bukan saya membangga-banggakan, tetapi kebetulan saja. Tapi secara konsep OK OC ini hasil kerja bareng banyak orang.

OK OC ini idenya juga dari one day one juz, orang membaca Alquran satu hari satu juz. Terus ada juga teman-teman di ekonomi syariah membuat one desa one BMT. Konsepnya mirip-mirip seperti ini.

Sehingga bukan hanya wirausaha yang dicetak, lapangan kerja yang diciptakan. Tetapi juga akan menebar, atau memeratakan, pertumbuhan itu tidak hanya di pusat kota, tetapi juga di 44 kecamatan di seantero Jakarta.

UMKM ini, kan, selama 10 tahun lebih gampang diucapkan. Apa yang bisa Anda katakan untuk memastikan OK OC tidak sekadar bluffing soal UMKM? Apa bedanya dengan pemberdayaan UMKM yang sudah-sudah?

Kami tidak ingin mengklaim bahwa ini program terinovatif di dunia. Kami juga tidak ingin mengklaim bahwa ini akan menjadi panasea, menjadi obat untuk segala penyakit kesejahteraan dan ekonomi kita. Tetapi ini adalah bauran kebijakan dan rencana aksi yang bisa dilakukan oleh bukan hanya pemerintah, tetapi seluruh pemangku kepentingan bisa berpartisipasi.

Pengusahanya bisa berpartisipasi. Perbankan bisa berpartisipasi, penggerak komunitas enterpreneurship bisa berpartisipasi. Kadin, Apindo, Hipmi, semua bisa berpartisipasi. Karena ini bukan milik pemprov DKI Jakarta, tetapi milik kita semua. Jadi kita enggak pernah (berpikir) bahwa ini program kita dan kita akan nge-drive. Tetapi ini adalah fasilitasi yang kami lakukan untuk menggerakkan ekonomi akar rumput, ekonomi kerakyatan.

Saya sudah mendalami ini lebih dari 15 tahun. Betul ada sebuah gerakan yang UMKM lebih dijadikan jargon-jargon politik. Begitu mau ada pemilihan, atau ada momen-momen mengenai...

Elektoral ya?

Bukan hanya elektoral, tetapi ketika ada ketimpangan, misalnya. "Oh kami memprioritaskan UMKM". Saya waktu di tahun 2007, sebagai ketua umum Hipmi, saya ada ada dalam tim pembentukan ide awal Kredit Usaha Rakyat (KUR). Saya merasakan hal itu. Bahwa UMKM kita ini, 97 persen dari pada penciptaan lapangan kerja itu, ada di UMKM. Sebanyak 99 persen unit usaha kita itu UMKM. Lebih dari 2/3 porsi PDB kita dihasilkan sektor UMKM. Jadi kita bisa lihat bahwa UMKM ini signifikan, tetapi belum jadi tulang punggung.

Kenapa belum jadi tulang punggung? Dan saya enggak pernah setuju saat semua orang bilang kita diselamatkan UMKM (saat krisis 1998). Enggak, UMKM itu tidak menjadi tulang punggung, UMKM belum menjadi tulang punggung, karena belum ada keberpihakan dari pemangku kepentingan. Saya enggak mau nyalahin pemerintah yang belum benar-benar menyelesaikan permasalahan fundamental UMKM.

Baca wawancara bagian pertama dengan Sandiaga yang fokus membahas potensi konflik kepentingan antara bisnis-bisnisnya, termasuk jejaring modal, dengan kebijakan publik yang akan ia ambil jika terpilih di DKI:

Anies yang Ambil Keputusan, Saya Enggak Mau Ikut-Ikut.

Apa permasalahan fundamentalnya?

Satu, akses terhadap lahan usaha. UMKM itu enggak bisa berkembang kalau mereka enggak punya kepastian mau usaha di mana. Perizinannya, bagaimana PKL-PKL itu sekarang ini, mereka berdagang, tapi mau berdagang di mana enggak tahu. Kalau pemerintahnya punya keberpihakan, mereka akan dibuatkan tempat binaan.

Soal perizinan, ada salah satu pilar dalam OK OC adalah garasi inovasi. Jadi setiap orang yang punya tempat tinggal, tempat usaha, dan ingin membuat usaha di rumahnya, itu boleh. Selama tidak mengganggu keamanan, ketertiban. Itu diperbolehkan dan kita akan berikan layanan pembuatan CV gratis.

Kedua, akses terhadap jejaring, networking, pelatihan, pemberdayaan, mentorship. Itu enggak pernak diberikan dalam satu kontinuitas yang baik. Pemerintah bilang, kita ada pelatihan, siapa yang melatih? Birokrat. Saya bilang enggak bisa, birokrat ya urusannya birokrasi. Kalau untuk pelatihan, yang harusnya memberikan pelatihan ya pengusaha-pengusaha sukses.

Ketiga, dan terakhir, akses permodalan, karena usaha besar gampang banget pinjam duit, kalau pengusaha kecil dipersulit sekali. Ini yang akan kita coba dengan program docking dengan institusi perbankan.

Jadi dana yang kita berikan ke OK OC bukan dana APBD. Jangan salah. Jangan pernah berpikir APBD untuk mendanai UMKM. Yang punya dana ada di bank. Bank DKI itu portofolio kredit UMKM-nya hanya 4 persen. Padahal kita udah tahu angkanya 97 persen, paling enggak mereka (bisa) berikan 30 persen.

Soal suku bunga kepada UMKM itu gimana?

Soal suku bunga, mereka enggak pernah mengeluh. Mereka oke. OK OC banget. KUR itu bunganya 7%-9%. Mereka malah minjem ke yang 40-an persen itu. Kita bisa putuskan rantai rentenir kalau bisa mengoptimalkan peran perbankan.

Jadi ini problemnya keberpihakan (pemerintah dan perbankan)? Kan tidak kurang-kurang usaha yang dilakukan memudahkan UMKM ini bisa mengakses modal. Ada program KUR, KUKR, dan lain-lain?

Saat di KUR itu, saya melihat, konsepnya di awal bagus sekali. Tetapi di lapangan, mereka balik berpikir sebagai perbankan. Dan mengesampingkan keberpihakan, akhirnya mereka menanyakan mana kolateral? Ya kalau mau jadi pengusaha harus punya kolateral, ya dia enggak meminjam, dia usaha sendiri dulu. Dia ke bank, kan, karena dia perlu modal.

Lalu ditanya rekam jejak tiga tahun. Lha dia baru jadi pengusaha tiga minggu, gimana mau punya rekam jejak tiga tahun? Jadi, mau tiga tahun dulu jadi pengusaha baru boleh meminjam? Kan enggak bisa kayak gitu. Jadi kita hadirkan sebuah skema, dan ada skema itu, seperti kredit tanpa agunan. Pinjamannya berapa? Ya bisa ada yang lima juta, nah kita berikan pagu kredit sampai 300 juta.

Dalam OK OC itu dibayangkan pagunya Rp300 juta, begitu?

Iya, tapi bukan buat semuanya. Ada yang cuma perlu Rp1,5 juta. Tergantung usahanya apa. Kalau usahanya nasi uduk terus dikasi pinjaman Rp50 juta, pasti akan macet. Karena pasti digunakan untuk yang aneh-aneh, konsumtif. Tapi kalau kita melalui program pendampingan, misalnya dia bisnisnya katering itu gampang banget. Dari omzetnya, misalnya sebulan Rp10 juta, dia bisa pinjam sampai 30 juta, tiga kali dari pada omzet. Saya punya hitungannya. Dan menurut saya, kalau pendekatannya seperti itu, dengan pendampingan, memastikan bahwa mereka memiliki akses ke institusi perbankan, mereka bisa mendapatkan sesuai kebutuhan mereka.

Kalau problem akses modal karena bank berpikir dalam paradigma sebagai bankir, apa yang bisa dilakukan untuk membuat bank tidak menggunakan paradigma itu lagi ketika diajak mengurusi UMKM? Apa benefit buat mereka? Kan tidak bisa diajak dengan seruan moral? Gimana agar mereka bisnisnya prudent, NPL-nya tetap terjaga?

Harus, kalau prudent dan NPL (non performing loan) itu non-negotiable. Tapi yang perlu kita yakinkan, kan, mereka ada Askrindo (Asuransi Kredit Indonesia), ada asuransi kreditnya, kan? Jadi itu sebagian sudah dijaminkan. Jadi dia semestinya harusnya buka topinya sebagai profit oriented, tetapi (memang) harus ada yang sustainable buat kelangsungan bisnis secara at large.

Karena begini, begitu kita mengangkat masyarakat itu dari kelas menengah pra sejahtera menjadi kelas menengah, yang diuntungkan ya bank-bank itu. Sebagian dari mereka menyalurkannya dari CSR, sebagian bisa disalurkan melalui kredit program yang mereka create sendiri, khusus UMKM.

Oh, ternyata di daerah penjaringan struktur topografi dari pada masyarakatnya seperti ini, jadi tipe kredit ini yang cocok. Jadi, bukan hantam kredit. Semuanya satu Jakarta diberi kredit seperti ini. Temanya lebih tematik kredit. Dan dengan fintech seperti sekarang, lebih mudah. Jadi saya membayangkan, warga Jakarta itu mendapat pinjaman dari gadgetnya mereka. Jadi selain mereka baca Tirto di gadget, mereka juga bisa mengakses permodalan, meminjam uang.

Soal perumahan rakyat, soal DP 0 persen. Teknisnya sebenarnya seperti apa?

Konsepnya simpel. Kita melihat bahwa one of th Indonesian dream atau Jakartan's dream mulanya, kan, dulu to own the motorcycle. Lalu mobil, setelah memiliki mobil, kan, ingin naik kelas, yaitu ingin punya rumah sendiri. Yang dihadapi masyarakat Jakarta adalah dia ingin punya rumah, tapi walaupun pendanaan itu sudah ada, dia tidak sanggup membayar DP-nya yang 20-30 persen.

Nah ini bukan ciptaannya Anies apalagi Sandi. Anies datang ke saya, “Bro, tolong deh lo itungin, kalau misalnya kita bisa bantu melalui satu program pemerintah, untuk membantu pengadaan DP ini untuk masyarakat Jakarta,”

“Serius lo?” saya bilang gitu. “Iya, tolong hitungin.”

Kebetulan, kan, saya di bisnis keuangan. Sekarang ini KPR paling lama 15 tahun mentok. Saya bilang gini, kalau di negara lain dan kebetulan saya pernah belajar, itu bisa kita kasih pinjaman sampai 30 tahun. Saya baru mendapatkan pinjaman untuk usaha saya di tempat lain, itu bisa ditarik sampai 20 tahun.

Jadi buat saya gini, begitu kita tarik, DP-nya akan lebih kecil. Nah ini kita bisa buatkan skema. Skemanya ini yang kita bisa kerja sama. Ternyata BPJS punya sistem itu juga. Ternyata di Colorado Amerika juga punya sistem affordable housing.

Bagaimana caranya?

Ada skema khusus, di mana orang yang akan qualify untuk program itu harus menabung dulu. Menabung dulu antara 6 sampai 12 bulan. Dilihat cicilannya, dia sanggup enggak. Karena dia punya sumber income yang jelas. Begitu sudah dilihat polanya, maka secara prudent bank akan bilang, oke dia layak, maka bisa diberi pinjaman untuk KPR. Karena KPR itu, kan, punya value rumahnya itu.

Gimana caranya dia balikin DP-nya? Begitu dia upgrade, dan orang-orang itu pengen punya rumah lebih besar, dan secara income juga sudah mumpuni, dia akan jual rumahnya yang lama. DP yang tadinya dia utang itu, bisa dibalikin, dan akan bergulir lagi untuk memberikan pendanaan kepada first time owner of the house.

Jadi, tabungan itu bukan nabung buat DP ya?

Bukan, untuk melihat pattern-nya, melihat kemampuan mereka. Pemerintah yang akan memberi bantuan untuk DP tersebut. Apakah itu grant? Tidak, itu juga pinjaman. Itu secondary mortgage, namanya.

Apakah akan terjadi bubble? Kita, kan, akan kerja sama dengan developer. Bukan Pemprov yang akan membangun. Developer yang akan membangun, dan kita yang identifikasi, oke yang ini cocok untuk program afordable housing pemprov Jakarta. Dan ini udah dijalankan di mana-mana dan enggak usah terlalu dibaperin, gitu loh. Sama anak-anak dibilang, ini akan bubble segala macam. Enggaklah, jauhlah. Kita akan berikan pendanaan, mulainya akan kecil dulu, Rp1 triliun atau Rp2 triliun. Dan begitu dana ini bergulir, ini akan kelihatan geliatnya.

Dan jangan berpikir kayak developer. Jangan pernah taruh pengembang-pengembang besar itu untuk nyari untung. This is not program untuk Pemprov DKI nyari untung. Bukan. Tapi untuk membantu warga Jakarta mendapatkan housing.

Hampir sama dengan pertanyaan tadi soal UMKM, apa yang harus diyakinkan agar mereka ini (bank atau pengembang) mau ikut dalam program ini? Mereka pebisnis, gak bisa cuma memberi seruan moral begitu (untuk membantu rakyat kecil)?

Kuncinya insentif buat saya. Jadi pemprov bisa menghadirkan insentif. Kita, kan, punya kekuatan untuk mengumpulkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Para developer ini kalau ikut program Anies-Sandi dia akan dapat insentif. Dan di sini jadi tiba-tiba menarik sekali. Daripada land bank-nya kosong, per tahun PBB mahal, tapi kalau ada affordable housing dia akan dapat insentif.

Lahan yang tidak digunakan ini akan cepat dibangun, untuk housing buat warga yang low income. Sekarang, kan, semua apartemen yang mahal. Jarang sekali apartemen yang murah.

Nah, "jebakan batman"-nya, terkait kultur politik di Indonesia. Setiap ganti pemimpin, akan ganti kebijakan, yang mungkin juga akan ganti pemodalnya. Ini, kan, proyek jangka panjang. Apa yang bisa memastikan program ini tidak dihentikan pemimpin yang baru kelak?

Kita harus betul-betul menghadirkan kepastian, dan kita harus yakinkan pembuat DPRD, kita harus yakinkan juga institusi perbankan, this is for your business. Nah di situlah problem politisi-politisi kita. Ginilah, yang risikonya tinggi dan berujung dikorupsi saja orang mau ngerjain. Tuh yang reklamasi. Apalagi ini?

Ini tanahnya ada, gedungnya ada, banknya juga ada, Pemprov hanya memfasilitasi. Milik siapa? Milik semua, ini juga milik pengembang, milik perbankan, pemprov hanya menyiapkan pendanaan. Pendanaan juga itu revisinya tiap tahun kita minta ke DPRD. Oke, untuk DP 0 persen tahun ini kita mulai dululah, kecil aja dululah, Rp1 triliun atau Rp500 miliar. Kita lihat, jalan enggak nih program. Karena kita enggak membangun, mereka yang membangun. This is perbedaan konsep maju bersamanya Anies-Sandi. Bahwa kita kolaboratif.

Kita yakinkan ini ke developer. Udah ada beberapa yang mau datang.

Jadi yang disiapkan oleh pemprov itu DP-nya saja?

Iya DP-nya saja. Sekarang saya lagi ngomong nih sama wakil ketua DPRD, dia khusus bagian budget. Berapa, sih, tahun 2018 yang kita bisa pikirkan untuk ini? Jumlahnya berapa? Dan dari situ baru kita mulai. Ini akan menjadi model di tiap urban yang ada di Indonesia.

Dan kita ingin menjawab teman-teman yang baper ini. Itu akan ada terus, jangan takut. Apakah terus hilang setelah kita jadi gubernur? Mereka akan continue to be baper dan nyinyir, dan kita akan buktikan dengan kerja kita.

Berarti kan bakal ada pemerintah, developer, dan bank. Nah gimana hubungan pemrov DKI dengan bank dalam proyek ini? Gimana mengintervensi bank-bank selain bank DKI?

Jadi gini, gampang saja. Misalnya banknya Bank Mandiri, developer-nya Podomoro, oke saya mau ikut affordable housing, tanah saya yang di sini saya mau jadikan affordable housing. Mereka apply ke pemerintah minta untuk DP-nya. Mandiri udah ok? Ok. Kita akan proses, bahwa untuk affordable housing di daerah sini kita akan sediakan sejumlah dana untuk pengadaan DP-nya. Di situ akan diikat lagi, namanya secondary mortgage.

Di sini juga nanti praktisi hukum bisa belihat satu skema baru, di mana nanti begitu mereka menjual properti itu, selain harus melunasi kewajibannya kepada bank Mandiri, mereka juga harus melunasi kewajibannya kepada Pemprov DKI yang sudah menyediakan DP.

Terkait kepastian usaha tadi, kalau ngomongin reklamasi nih, mereka (pengembang) sebenarnya butuh kepastian juga. Andai akhirnya mendapatkan mandat dari warga Jakarta, kepastian apa yang akan diberikan kepada para pengembang ini yang sudah telanjur keluar uang?

Kepastian bahwa kita akan menghentikan reklamasi dan kepastian bahwa kita akan duduk bersama-sama dalam proses mediasi dan fasilitasi. Dan itu sudah ada UU-nya. Kita gak mau mereka rugi juga. Mereka melakukan itu murni karena sebuah “harapan”, jaminan, dari pemerintah yang saat itu sedang berkuasa. Bahwa mereka melakukan itu juga ingin untung, namanya pebisnis. Kita akan bilang, kalian tidak akan dirugikan secara total. Ini kita cari solusinya seperti apa, tetapi ini kita hentikan dulu, kita coba kembalikan lagi fungsi ini kepada publik. Karena sebagian ada juga yang sudah dijual kepada konsumen. Dan ada juga saling jual beli di antara mereka.

Artinya clear akan menghentikan reklamasi. Berarti siap dong ya kalau menghadapi banyak gugatan ke pemprov DKI?

Siap dong, harus siap. Namanya juga kita mengambil kebijakan, apapun konsekuensinya kita harus siap.

Baca juga artikel terkait ANIES-SANDIAGA atau tulisan lainnya dari Zen RS

tirto.id - Mild report
Reporter: Zen RS & Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Zen RS
Editor: Zen RS