Menuju konten utama
Sandiaga Uno:

"Anies yang Ambil Keputusan, Saya Enggak Mau Ikut-Ikut"

Sandiaga Uno menjawab potensi konflik kepentingan antara bisnis dan politik.

Sandiaga Uno. Tirto.id/Sabit

tirto.id - Jika Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sering dicurigai tersandera oleh kepentingan para konglomerat, Sandiaga Salahuddin Uno justru adalah konglomerat itu sendiri. Namanya beberapa kali masuk dalam daftar orang terkaya di Indonesia versi majalah Forbes. Menurut rilis KPUD DKI Jakarta, kekayaan Sandiaga mencapai 3,8 triliun—ribuan (ralat: ratusan) kali lebih banyak dari kekayaan Ahok, Anies Baswedan, atau Agus Yudhoyono.

Karier Sandiaga sebagai pengusaha tidak bisa dilepaskan dari klan (William) Soerjadjaja, pendiri PT Astra. Di sekitar hari-hari penuh krisis pada 1998, ia bersama Edwin Soeryajaya, salah satu putra William, mendirikan Saratoga Investama, perusahaan investasi yang bergerak dari bidang energi dan infrastruktur.

Salah satu anak perusahaan Saratoga adalah PT Mitra Pinasthika Mustika Tbk. atau MPMX yang bergerak di bidang otomotif. Ditambah dengan rekam jejak keluarga Soerjadjaja dalam bidang otomotif, terutama melalui Astra, menjadi penting untuk mengklarifikasi potensi konflik kepentingan Sandiaga dalam soal masifnya kepemilikan kendaraan pribadi yang menguntungkan perusahaan otomotif dengan pengadaan transportasi publik sebagai solusi kemacetan di Jakarta.

Baik Sandiaga maupun keluarga Soerjadjaja tak pernah menampik kedekatan itu. Edward, putra tertua William, pada 2011 silam, dalam sebuah wawancara pernah berkata: "Sandi itu anak saya. Saya menyekolahkannya ke Amerika dan saya juga bahkan terlibat dalam pernikahannya."

"Ya, memang bisa dikaitkan seperti itu," kata Sandiaga saat ditanya soal konflik kepentingan yang bisa mempengaruhi kebijakan yang akan diambil jika menjadi pemimpin publik sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta. Untuk diketahui, Sandiaga sudah mundur dari jabatan Presiden Direktur Saratoga sejak memutuskan terjun ke politik.

Pun juga dalam soal layanan air bersih bagi warga Jakarta. Salah satu debat publik yang sudah berlangsung enam tahun terakhir adalah keberadaan PT Aetra (dan Pallyja) yang mendapatkan konsesi penyediaan air bersih di Jakarta. Kuat desakan kepada pemerintah untuk mengambilalih layanan air bersih. Aetra sendiri adalah anak perusahaan dari PT Recapital, melalui Acuatico Grup, salah satu perusahaan yang didirikan oleh Sandiaga.

"Anies yang ambil keputusan, saya enggak mau ikut-ikut," jawab Sandiaga.

Sehari setelah pencoblosan (16/2), Tirto menemui Sandiaga di kantornya, Recapital Building, di Jl. Adiyawarman, Kebayoran Baru. Ia terlihat bersemangat menemui para wartawan walau kesan letih belum sepenuhnya hilang dari wajahnya. Kesibukan dan padatnya jadwal membuat Tirto tidak punya cukup banyak waktu untuk mewawancarai Sandiaga. Dalam waktu kurang dari satu jam, Tirto mewawancarai Sandiaga yang lebih dulu melayani wawancara dua stasiun televisi.

Wawancara dibagi ke dalam dua bagian. Bagian pertama akan banyak membicarakan bisnis Sandiaga yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan jika ia menjadi pemimpin di DKI. Sandiaga tentu perlu memberikan klarifikasi dan rencana aksi untuk meminimalisir potensi konflik kepentingan tersebut. Sedangkan bagian kedua membicarakan tiga program utama Anies-Sandi yaitu OK OCE, perumahan rakyat tanpa uang muka dan reklamasi di pantai utara Jakarta.

Tirto mengirim editor at large, Zen RS, dan penulis ekonomi, Wan Ulfa Nur Zuhra, ditemani fotografer Andrey Gromico, untuk mewawancarai pasangan Anies Baswedan dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 ini.

Soal konflik kepentingan di beberapa perusahaan kayak Aetra dan MPMX. Itu gimana?

Saya sudah sampaikan ini dari awal bahwa saya komit. Makanya saya sudah mundur dua tahun lalu dari bisnis. Saya sampaikan bahwa kalau, seperti Aetra, saya tidak pernah menjabat juga. Dan Recapital ini saya dirikan tetapi saya sama sekali tidak terlibat dalam pengambilan keputusan. Saya tidak pernah duduk di jajaran komisaris juga. Tapi saya mengeliminasi benturan konflik kepentingan, makanya saya mundur secara total. Apalagi yang berkaitan dengan aset-aset yang ada di dalam grup yang ada sekarang.

Ada dua caranya. Satu, saya lagi dalam proses, mungkin menjual seratus persen kepemilikan saya di grup. Ini makan waktu, pasti. Tapi ini merupakan satu keniscayaan, karena kalau saya komit di dalam politik, walaupun tidak ada aturannya, tapi saya akan mencontohkan, to lead by example.

Nomor dua, dan menyangkut kepada interes perusahaan yang ada di dalam grup kami, saya harus menyatakan abstain, walaupun nanti saya memiliki jabatan.

Jadi, clear, ya, kepemilikan juga akan dilepas?

Kepemilikan juga akan saya lepas. Tapi ini saya masih harus lihat. Karena undang-undangnya tidak mengharuskan. Tapi saya mau one step further, di mana saya ingin memberikan contoh kepada politisi yang lain. Atau kepada pengusaha yang ingin masuk ke politik. Kalau ingin benar-benar masuk ke politik itu jangan hidup di dua alam.

Ini jawaban Sandiaga Uno yang pengusaha. Nah, pertanyaan saya, kalau Sandiaga Uno menjabat. Perdebatan soal Aetra dan Palyja ini, kan, perdebatan publik yang sudah cukup lama dan tidak bisa disepelekan juga. Apa yang akan dilakukan Sandiaga Uno yang menjabat nantinya?

Saya serahkan kepada tim saya. Saya akan jelaskan, bahwa saya ada conflict of interest. Program pipanisasi akan saya suport 100 persen, proses di mana kita akan memberikan subsidi untuk warga kelas menengah ke bawah, saya akan suport. Tetapi kalau perjanjian kerja sama dengan pihak lain, di mana salah satu grup yang saya dirikan itu punya conflict of interest di sana, saya tidak ingin involve dalam pembicaran. Saya tidak ingin juga kehadiran saya akan memberikan tekanan bagi mereka. Jadi, saya bilang dari hari pertama bahwa saya akan remove my position dari pembicaraan dan keputusan yang diambil mereka.

Jadi kalau misalnya Pemprov DKI memutuskan mengakuisisi Pallyja dan Aetra lewat BUMD (juga isu-isu lain yang ada potensi konflik kepentingan), berarti Anies yang ambil keputusan?

Anies yang ambil keputusan, saya enggak mau ikut-ikut.

Kalau pandangan Anda sendiri tentang pengelolaan air di Jakarta itu sebaiknya oleh swasta atau pemerintah?

Gini, kita udah lihat bagaimana swasta yang mengelola selama ini. Kalau dari Aetra sendiri, informasi yang saya terima, mereka bisa menurunkan tingkat kebocoran itu dari tadinya 60 persen sekarang tinggal 40 persen. Itu sebuah pencapaian yang di dunia merupakan salah satu yang terbaik. Tapi gak cukup. Menurut saya tingkat kebocoran atau non revenue water itu harusnya di level kota-kota besar dunia yang lain yang sangat minimum.

Di kota-kota besar itu berapa?

Di kota-kota besar itu tidak ada pencurian secara sistematis. Di sini, kita bisa lihat. Bukan warga yang nyolongin air, tetapi instansi, pakai pipa besar, terstruktur dan lain lain

Itu statement serius, lho...

Serius, dan itu sudah banyak diomongin juga, dan Pak Basuki juga udah ngomong. Pak Basuki udah terbuka, dan saya sama terbukanya, bahwa persoalan ini memang harus diselesaikan. Itu masalah itu yang paling penting.

Jadi bagaimana, dikelola swasta atau pemerintah?

Nah bagaimana kerja sama pemerintah provinsi dengan swasta. Ya itu silakan diputuskan. Dulu kebijakannya bekerja sama dengan swasta. Dan saya melihat swasta memang membawa inovasi, membawa teknologi, membawa kapital. Nah, itu nanti silakan dirumuskan dalam suatu proses yang betul-betul independen, profesional mau diapakan ke depan. Saya menyatakan tidak akan terlibat dalam proses tersebut, karena seperti apapun juga, saya akan dianggap memiliki konflik kepentingan. Di situ adalah cara terbaik untuk menghindari benturan.

Termasuk untuk, misalnya, problem kemacetan. Kemacetan di Jakarta ini, kan, salah satunya disebabkan kepemilikan kendaraan pribadi yang sangat besar. Ada problem kendaraan publik yang memang masih buruk, tapi ada juga problem lobi (perusahaan otomotif via) Agen Tunggal Pemegang Merk (ATPM). Terkait posisi Anda yang punya relasi akrab dengan klan Soerjadjaja, bahkan Anda disebut anak oleh Edwin Soeryadjaja, sebagai (keluarga) pendiri Astra (Sarratoga juga punya MPMX yang bergerak di bidang otomotif). Ini conflict of interest juga, kan, sebetulnya?

Bisa dikaitkan seperti itu, dan saya tidak akan ikut dalam keputusan tersebut juga. Itu, sih, lebih simpel lagi. Menurut saya, yang diperlukan adalah kebijakan yang berpihak pada penyediaan transportasi publik masal. Jadi MRT mesti dibangun, LRT-nya, bus rapid transit-nya dan lain-lain. Keinginan memiliki mobil pribadi adalah hak asasi mereka. Dan para pemilik ATPM itu selama ini sudah merasakan bagaimana pertumbuhan ekonomi itu men-drive one of their dream, kan, adalah memiliki kendaraan bermotor.

Tinggal bagaimana mengaturnya. ERP itu Electronic Road Pricing udah dicanangkan tetapi sampai saat ini belum jalan. Harus dijalankan sesegera mungkin. Orang yang masuk Jakarta untuk bawa mobil itu harus membayar.

Simak wawancara bagian kedua yang membahas asal usul program OK OC, rencana teknis DP 0 persen untuk perumahan Jakarta dan kesiapan didugat para pengembang terkait penghentian reklamasi:

Mereka Akan Terus Continue to be Baper dan Nyinyir

Artinya setuju dengan penguatan transportasi publik?

Sangat setuju. Sangat teramat sangat setuju, termasuk perangkat peraturan dan Undang-undang yang mendukung hadirnya transportasi massal.

Termasuk yang akhirnya akan berdampak pada ATPM?

Sudah, saya sudah mulai. Yang pertama saya gelontorkan saya akan larang moratorium kendaraan mahal. Karena saya tahu bahwa itu bikin bangun orang semua. Dan saya maunya efek kejut. Saya bilang, oke, kalau bisa moratorium yang mahal, saya juga bisa moratorium yang murah. Tetapi yang murah, kan, tidak berpihak kepada rakyat. Rakyat itu, kan, afford-nya motor atau mobil yang murah. Karena transportasi publiknya juga belum nyaman dan maksimal.

Kalau MRT nya sudah dibangun dan canggih seperti Singapura, ya semua yang masuk ke Jakarta ya dipajakin, kemacetan itu bukan murni dihasilkan warga Jakarta. Ada yang lewat saja, ada yang singgah. Dengan nanti dibangunnya transportasi publik, saya akan rasa kemacetan itu akan jauh berkurang di tahun-tahun ke depan.

Isu kampanye "anti-asing anti-aseng" ini, kan, eksis di bawah. Anda sebagai orang yang, kalau dilihat rekam jejaknya, cenderung kosmopolit, dari mulai pendidikan, networking, pertemanan, keluarga, jejaring modal. Anda terbiasa lintas batas negara dalam bisnis, dan modal juga tidak mengenal SARA sebenarnya. Apa arti ketahanan nasional di bidang ekonomi bagi orang seperti Anda?

Saya ingin betul-betul mendapat esensi pertanyaan Zen tadi. Tahun 2006, saya undang Tun Mahatir [Mahatir Muhammad, mantan Perdana Menteri Malaysia). Apakah nasionalisme dalam kacamata globalisasi itu masih relevan? Pertanyaan saya ini. Malaysia yang sangat terkesan antimodal asing, antibarat, statement-nya keras, ternyata foreign direct investment-nya empat sampai lima kali lipat lebih banyak dari Indonesia—negara yang menyatakan terbuka.

Dia (Mahathir Muhammad) bilang gini: "Sandi, nasionalisme itu akan selalu relevan. Tetapi bukan artinya kita antimodal asing, Intinya kita buka investasi itu masuk. Kalau pada suatu saat kamu jadi pemimpin, boleh masuk modal, dan kita tak boleh anti, tetapi begitu mereka masuk, mereka harus ikut aturan."

Nah, yang ini yang saya selalu garisbawahi. Kenapa sekarang kita mulai ribut? Ada satu pelajaran di sini, kalau mau mengundang investor asing, maka harus sesuai aturan kita. Bukan saya anti-asing atau anti-aseng, saya itu betul-betul progresif.

Progresif dalam terminologi Amerika adalah liberal.

[Saya] enggak liberal sama sekali.

Bisnis venture capital itu bisnis yang liberal?

Itu bisnis yang sangat syariah, perbankan itu yang liberal. Venture capital itu syariah.

Baca juga artikel terkait ANIES-SANDIAGA atau tulisan lainnya dari Zen RS

tirto.id - Mild report
Reporter: Zen RS & Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Zen RS
Editor: Zen RS
-->