tirto.id - Di ajang konferensi pengembang dan unjuk gigi produk, Google I/O 2017, yang baru saja berlangsung, Google mengumumkan terdapat 2 milyar perangkat aktif bulanan berbasis Android di seluruh dunia. Angka 2 milyar tersebut, terdiri dari ponsel pintar, TV, wearable devices, hingga perangkat IoT atau Internet of Things. Mengutip Newsweek, angka 2 milyar perangkat tersebut merupakan peningkatan dua kali lipat dibandingkan angka di bulan Januari 2016.
Android, sistem operasi mobile yang diinisiasi Andy Rubin pada 2003, perlahan tapi pasti menjadi Windows-nya (sebagai raja PC) perangkat mobile. Cukup mengejutkan memang, apalagi jika melihat sistem operasi tersebut di masa awal. Android, di masa pengembangannya, sesungguhnya tidak memiliki rupa seperti yang kita ketahui kini. Kala itu, pada 2006, atau dua tahun sebelum debut sistem operasi tersebut, Rubin melakukan demo Android yang berjalan di perangkat HTC Tornado pada seseorang bernama Hiroshi Lockheimer. Bentuk kala itu, jauh lebih mirip apa yang kita kenal dengan BlackBerry daripada menyerupai iPhone.
Lockheimer, yang kini menjadi pemimpin Android di Google mengantikan posisi Rubin mengungkapkan, “(Android) itu tidak mirip sama sekali dengan Android (yang kita kenal) hari ini.”
Dan tatkala iPhone lahir di 2007, Android kemudian berbenah. Hasilnya, mereka menjadi penguasa semesta perangkat mobile hari ini.
Android bukan hanya sistem operasi bagi ponsel pintar. Android beradaptasi ke banyak perangkat. Mengutip Cnet, Android menjelma sistem operasi bagi semua perangkat. Ada Android Auto, sistem operasi yang terinstall di dashboard mobil dan kini telah terpasang di 300 varian mobil. Android Wear, sistem operasi bagi perangkat-perangkat yang menempel pada tubuh. Dan kini telah terpasang setidaknya pada 50 jam tangan pintar. Android TV, sistem operasi bagi TV pintar dan telah terpasang pada lebih dari 1 juta TV. Dan Android Things, Android yang dimodifikasi untuk perangkat IoT, suatu perangkat apa pun yang bisa berinteraksi melalui internet.
Dan jika kita menjelajah internet, ada beberapa varian Android yang dimodifikasi untuk bisa berjalan pada PC atau Laptop. Meskipun bukan resmi berasal dari Google, jelas, Android memberi pesan penting: ia ingin menjadi penguasa dunia, dalam bentuk perangkat apa pun.
Tapi hal itu saja tidaklah cukup. Google merasa ada yang kurang dari sistem operasi andalannya itu. Kekurangan tersebut tak lain persebaran versi Android terbaru yang cukup mengecewakan.
Mengutip data Statista, data bulan September 2016 menunjukkan bahwa Android 4.4 atau Kitkat menjadi pemimpin dengan raihan 27,7 persen pangsa pasar. Tepat di bawahnya, ada Android 5.1 atau Lollipop dengan raihan 21,9 persen. Dan versi Android paling baru, Android 6.0 atau Marsmellow, berada di peringkat ke-3 dengan raihan 18,7 persen pangsa pasar. Dan untuk versi-versi lawas lainnya, data Statista tersebut masih memberikan angka yang cukup signifikan, terutama menyangkut sistem jadul, yang masih hidup.
Bayangkan, Android versi 2.3 atau Gingerbread, masih memiliki pangsa pasar dengan raihan 1,5 persen. Sebuah versi yang lahir di tahun 2010 silam. Bagi dunia teknologi, 7 tahun masih bertahan dan masih digunakan, merupakan sesuatu yang patut dipertanyakan, apalagi, versi baru telah tersedia.
Bandingkan dengan iOS, sistem operasi yang mempersenjatai iPhone. Mengutip data Statista, di bulan Februari 2017, 79 persen pangsa pasar iPhone, menggunakan iOS versi 10, versi baru sistem operasi tersebut.
Masalah persebaran versi terbaru Android yang rendah memang merupakan salah satu kegagalan Google. Penyebabnya setidaknya ada dua. Pertama, perangkat ponsel pintar Android terlalu banyak. Dalam artian, banyak sekali produsen yang menciptakan Android-nya masing-masing. Dengan spesifikasi, desain, dan perombakan ala produsen. Perbedaan antar Android semakin terasa dan semakin kencang. Terlebih untuk ponsel pintar kelas bawah dan kelas menengah yang cukup banyak di pasaran. Lebih parahnya, ponsel-ponsel demikian tidak diperbarui atau di-update oleh sang produsen. Masalahnya mungkin klasik, spesifikasi ponsel pintar demikian, sudah ketinggalan zaman dengan versi terbaru Android.
Kedua, terdapat masalah desain chipset yang memberi tenaga ponsel pintar Android. iPhone dari Apple, tidak memiliki masalah ini. Desain chipset dan desain sistem operasi (iOS) mereka rancang sendiri. Google berbeda. Ia hanya mendesain sistem operasi (Android) tapi tak mendesain chipset. Qualcomm dan Mediatek, dua perusahaan utama yang membuat chipset bagi ponsel pintar Android, memiliki keterbatasan menelaah Android versi mana yang akan mereka optimalkan melalui desain chipset yang mereka buat.
Untuk masalah ke-dua, Google bekerja lebih erat dengan perusahaan pembuat chipset seperti Qualcomm dan Mediatek. Google ingin benar-benar membuat Qualcomm dan Mediatek mengotimalkan desain Android (terutama Android O) melalui chipset mereka.
Dan untuk permasalahan pertama, melalui ajang Google I/O kemarin, perusahaan yang dipimpin oleh Sundar Pichai tersebut, selain mengumumkan versi beta atas versi terbaru Android yakni Android O, yang kemungkinan akan menggunakan nama Oreo kala dirilis secara penuh. Ajang tersebut juga mengumumkan Android Go.
Android Go, merupakan versi ringan dari Android O. Android Go, akan bekerja maksimal pada ponsel-ponsel low-end yang biasanya dijual di negara-negara berkembang. Ponsel dengan spesifikasi rendah, misalnya dengan RAM yang hanya 1GB, kala dipasangkan Android O, secara otomatis akan memiliki konfigurasi Android Go. Kendala-kendala yang umum ditemui kala ponsel pintar berspesifikasi rendah memaksa menggunakan Android versi terbaru, akan coba dihilangkan melalui Android Go.
Hal inilah yang sebelumnya terjadi pada dunia Android. Banyak ponsel pintar berspesifikasi rendah dikeluarkan, namun menahan diri memasang versi terbaru Android karena mereka ingin ponsel pintarnya berjalan lancar. Melalui Go, Google ingin hal demikian tak terjadi. Ponsel pintar dengan spesifikasi rendah atau tinggi, memiliki hak untuk mencicipi versi terbaru Android.
Dengan Android Go, segala aplikasi di dalamnya pun akan beradaptasi dengan spesifikasi rendah yang dimiliki ponsel pintar. Google, melalui Google Play, akan meng-highlight aplikasi-aplikasi mana yang sekiranya sesuai dijalankan pada perangkat yang menggunakan Android Go.
Misalnya aplikasi Facebook. Saat perangkat berspesifikasi rendah menggunakan Android Go, perangkat tersebut akan direkomendasikan menginstall Facebook Lite, versi ringan aplikasi Facebook.
Android Go pun akan mengoptimalisasikan pemanfaatan data internet agar bekerja lebih baik, terutama tentu saja, Android Go diprediksi akan lebih banyak dimanfaatkan di negara-negara berkembang yang memiliki jaringan internet kurang baik.
Dave Burke, Vice President teknisi Android sebagaimana dikutip dari Engadget mengungkapkan, “Go, merupakan kependekan dari fokus pada perangkat berspesifikasi rendah dan memastikan Android bekerja baik pada perangkat tersebut.”
Apa yang dilakukan Google melalui Android Go sebetulnya merupakan kelanjutan dari proyek Android One mereka. Android One, yang diluncurkan pada 2014, merupakan lini perangkat Android yang dipasarkan pada negara-negara berkembang. Google, melalui Andoid One, menggandeng beberapa mitra lokal, membuat perangkat ponsel pintar Android murah bagi negara-negara seperti Indonesia, India, Nepal, Banglades, Filipina, Sri Langka, dan negara berkambang lainnya.
Tapi jelas, Google, yang berusaha meng-Android-kan seluruh dunia, memiliki maksud materi di belakangnya.
Kala Oracle, pemilik Java, bahasa pemrograman yang digunakan untuk membuat Android, bersengketa dengan Google, pengacara Oracle di persidangan mengungkapkan bahwa Google memperoleh pendapatan $31 milyar dari Android. Android menghasilkan uang bagi Google melalui dua cara: menampilkan iklan di ponsel pintar yang ditenagai Android melalui sistem periklanan Google, dan menghasilkan uang dari keuntungan Google Play, toko aplikasi Android milik Google.
Angka tersebut belum memperhitungkan keuntungan dari aplikasi-aplikasi buatan Google yang memiliki kemungkinan terpasang bila seseorang menggunakan ponsel pintar Android. Ditengok di Google Play, setidaknya ada 82 aplikasi buatan Google yang bertengger di pasar aplikasi tersebut. Tentu, masing-masing aplikasi ingin menggaet sebanyak-banyaknya jumlah pengguna agar bisa mengkonversinya menjadi pundi-pundi mata uang.
Android, perlahan, telah menjadi mesin uang bagi Google. Meskipun masih kalah daripada pendapatan iklan Google, jika seluruh penduduk dunia menggunakan Android, segala yang Google harapkan, bukan hal yang mustahil untuk terjadi.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Zen RS