tirto.id - Pertengahan pekan lalu, Cina mengirim 150 ribu tentaranya ke perbatasan Korea Utara di sekitaran sungai Yalu untuk berjaga-jaga jika AS melakukan serangan. Beijing berdalih pasukan Cina di perbatasan ini bertugas menangani para pengungsi Korea Utara dan situasi tak terduga dari perang.
Tindakan ini dilakukan setelah AS mengirimkan USS Carl Vinson ke semenanjung Korea. Sikap AS dinilai Korut sebagai provokasi. Kim Jong Un menegaskan pihaknya siap berperang mati-matian sekaligus akan menyerang balik AS dan sekutu mereka yakni Korea Selatan dan Jepang jika provokasi ini terus dilakukan.
Pada konflik ini, Cina menjelaskan posisi mereka netral. "Kami menyerukan kepada semua pihak untuk menahan diri agar tidak memprovokasi dan mengancam satu sama lain, baik dalam kata-kata atau tindakan, ini membiarkan situasi sampai ke tahap tidak terkendali," ucap Menteri Luar Negeri Cina, Wang Yi, dikutip dari kantor berita Xinhua pada 14 April lalu.
"Jika perang terjadi, hasilnya adalah situasi di mana semua orang akan kalah dan tidak ada pemenang," tegasnya.
Cina mengirim banyak pasukan ke daerah perbatasan karena khawatir membludaknya sejumlah pengungsi warga Korut yang melintasi perbatasan. Laporan PBB menyebut, selama ini Timur Laut China sudah menjadi tuan rumah bagi ribuan pengungsi dari Korut yang lari dari rezim represif Kim Jong-un.
Namun, seorang pejabat Pentagon kepada Bussiness Insider menyebut laporan pengerahan pasukan Cina ke perbatasan Korut ini bukanlah ancaman berarti. Menurutnya sudah jadi sesuatu hal wajar jika Cina mengerahkan banyak pasukan ke timur laut dekat Korea Utara saat eskalasi konflik sedang memanas.
Hal ini dibenarkan Yun Sun, Peneliti Senior Asia Timur di Stimson Center. "Ketika Korea Utara bertindak dengan semacam provokasi, orang Cina selalu memindahkan pasukan mereka untuk memperkuat penyebaran kekuatan di Timur Laut sebagai persiapan militer," kata Yun kepada Bussiness Insider.
"Saya pikir itu menandakan bahwa Cina prihatin tentang eskalasi potensi, atau bahkan potensi konflik di Korea itu sendiri," tuturnya.
Sementara itu Salvator Bobones, Peneliti ekonomi Global di Universitas Sydney dalam kolomnya di Al Jazeera menyebut ada kans kuat Cina ikut lagi melibatkan diri dalam konflik di semenanjung Korea.
Sejarah membuktikan itu. Cina bertempur dalam Perang Korea 1950-1953. Pada tahun 1950, rezim komunis baru di China menginvasi Korea dengan hampir tiga juta tentara, dan kehilangan beberapa 180.000 tentara dalam perang.
Pada awal perang Korea, Cina tidak berpartisipasi dalam konflik. Namun, setelah PBB dan AS campur tangan membantu Korea Selatan dan mendorong pasukan Korea Utara sampai perbatasan Cina, serangan balik pun dilakukan Cina.
Lantas apakah Cina pada kali ini menghendaki Perang Korea terjadi kembali? Salvatore menilai hal itu bisa saja terjadi. China ingin Korea kembali bersatu di bawah kepemimpinan Korea Selatan.
"Kepemimpinan Partai Komunis China telah belajar dari 1989-1991, ketika reunifikasi Jerman pada akhirnya mendorong batas-batas NATO sekitar 1000 kilometer ke arah timur dan komunisme Soviet dilemparkan ke tong sampah sejarah," tulisnya.
Selain Cina, gerak-gerik mobilisasi pasukan juga dilakukan Rusia. Hari ini (17/4/2017) sebuah rekaman video beredar di sosial media menggambarkan ada konvoi cukup besar terdiri tank, kendaraan taktis, helikopter dan sistem pertahanan rudal S-400 dari kota Khabarovsk menuju Vladivostok.
Kota Vladivostok adalah kota terdekat milik Rusia yang berbatasan dengan Korea Utara. Jarak dari Vladivostok menuju Korea Utara hanya ditempuh dalam empat jam perjalanan darat.
Bagi AS dan sekutunya, kehadiran sistem rudal S-400 di Vladivostok adalah ancaman nyata bagi kapal-kapal perang yang kini berada di Laut Jepang. Kabar mobilisasi pasukan ke Rusia di Vladivostok memang belum diklarifikasi secara resmi oleh pihak Rusia.
Meski begitu, kabar keterlibatan militer Rusia dalam konflik di Semenanjung Korea dibenarkan oleh seorang pejabat intelejen pemerintah Jepang. Dikutip dari Yomiuri Shimbun, pejabat tersebut mengungkapkan bahwa Cina dan Rusia telah mengirim kapal perang pengintai ke Semenanjung Korea.
Kapal-kapal ini dimaksudkan untuk memantau pergerakan kapal induk USS Carl Vinson yang kini berada di sekitar Laut Cina Timur dan mengarah ke utara mendekat menuju perairan Semenanjung Korea.
Intensitas aktivitas militer AS di Korea memang relatif meningkat, terutama setelah ancaman Korut yang akan kembali melakukan tes misil nuklir pada Sabtu lalu. Meski tes misil Korut itu gagal, AS nyatanya tak mengendurkan pengamanan di Korea Selatan. AS kini diketahui menambah alokasi keberadaan sistem pertahanan udara MIM-104 Patriot pada berbagai titik di sepanjang perbatasan Korut - Korsel.
Hari ini, Wakil Presiden AS, Mike Pence melakukan kunjungan kenegaraan ke Korea Selatan. Dia mendatangi kamp militer Bonifas yang terletak di Zona Demiliterisasi Korea (DMZ).
Dalam kunjungannya, Pence menuturkan pernyataan tegas. Kata dia, strategi diplomasi yang penuh dengan kesabaran saat menghadapi Korut kini sudah usai.
"Presiden Trump telah membuat jelas bahwa kesabaran Amerika Serikat dan sekutu kami di kawasan ini telah habis dan kami ingin melihat perubahan. Kami ingin melihat Korea Utara meninggalkan jalan sembrononya dari pengembangan senjata nuklir, dan juga penggunaan dan pengujian rudal balistik yang tidak dapat diterima," kata Pence dikutip dari Fox News.
Pence menyebut tindakan peluncuran rudal Korea Utara meski gagal itu adalah bagian dari provokasi. Dia menegaskan AS akan melakukan apapun dengan cara damai atau perang demi melindungi Seoul dan menstabilkan wilayah di semenanjung Korea.
Kunjungan Pence ke Korsel menghasilkan sebuah kesepakatan yang akan membikin Cina dan Korut kesal: AS dan Korsel sepakat untuk mempercepat pemasangan sistem pertahanan anti-misil balistik Terminal High Altitude Area Defense (THAAD).
Sejak 2013, militer Korea Selatan meminta AS segera memasang THAAD di negara mereka. Dalam perjanjian itu disepakati bahwa THAAD akan diberikan pada akhir 2017. Namun tindakan Korut membuat AS mengirimkannya lebih dini.
Pada 16 Maret, secara bertahap radar THAAD telah dipasang di Osan Air Base. Pengiriman alat lain akan meluncur dalam waktu dekat karena ditargetkan sistem pertahanan THAAD bisa terpasang paling telat bulan Juni depan.
Ian Armstrong senior analis di Global Risk Insights kepada Huffington Post menyebut kehadiran THAAD disikapi Cina secara negatif. Beijing memang menentang keras keberadaan THAAD. "Saya menentang penyebaran sistem pertahanan rudal AS di Republik Korea, dan meminta AS untuk menghormati kepentingan keamanan strategis Cina," ujar Perdana Menteri Cina, Xi Jinping pada 5 September 2016 lalu dikutip dari Xinhua.
"Kesalahan penanganan masalah di semenanjung Korea amatlah sangat tidak kondusif bagi stabilitas strategis di kawasan dan bisa menimbulkan perselisihan intensif,” lanjutnya.
Ian Amstrong menilai ketakutan dari Cina sebetulnya bukan dikarenakan kemampuan THAAD yang bekerja mengintersepsi serangan rudal.
Kata dia, asumsi lain yang selalu diabaikan bahwasanya komponen lain utama THAAD adalah radar AN / TPY-2 radar, yang kerjanya mengidentifikasi dan melacak lokasi target rudal pencegat. "Kekhawatiran terbesar China datang bukan dari komponen intersepsi THAAD, melainkan kemampuan deteksi yang disediakan oleh AN / TPY-2,"
AS dan Korsel memang selalu berkilah bahwa kehadiran THAAD hanya untuk melindungi Korsel dari ancaman nuklir dan balistik Korut, bukan untuk pengawasan rudal dari Cina. Namun, Cina khawatir jangkauan radar THAAD AN/TPY-2 ini akan ditingkatkan secara diam-diam untuk mengawasi mereka.
AS memang perlu khawatir dengan Cina, saat ini negara Tiongkok itu begitu masif mengembangkan sistem pertahanan MIRVs yang ditengarai mampu mengintersepsi misil antar-benua milik AS. Di sisi lain, Cina juga aktif senjata misil baru hypersonic glider vehicle WU-14 yang sulit terdeteksi. Dan lewat THAAD yang dipasang di Korsel, rahasia itu akan terbongkar.
Lantas kedatangan Pence ini akankah semakin membikin sengkarut konflik di Semenanjung Korea mereda atau menjadi?
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti