tirto.id - Pembaruan kesepakatan dagang antara Indonesia dan Pakistan atau Indonesia-Pakistan Preferential Trade Agreement (IP-PTA) telah diratifikasi lewat Peraturan Presiden nomor 114 tahun 2018.
Beleid tersebut dikeluarkan setelah DPR tidak kunjung mengambil keputusan sejak draf perubahan IP-PTA disampaikan oleh pemerintah pada 18 Mei 2018 lalu.
"Sesuai dengan pasal 84 ayat 3 UU perdagangan, kita bisa sahkan [saat sudah] 60 hari masa sidang setelah draf diserahkan ke DPR," kata Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, di komisi VI DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (11/2/2019).
Menurut Enggar, ratifikasi tersebut perlu segera dilakukan mengingat Pakistan merupakan salah satu pasar ekspor besar bagi beberapa produk dari dalam negeri.
Pada 2017, misalnya, surplus perdagangan Indonesia dengan Pakistan mencapai 2,15 miliar dolar AS. Minyak kelapa sawit Indonesia senilai 1,46 miliar dolar AS terserap pasar Pakistan pada tahun itu.
Jika ratifikasi tidak kunjung dilakukan, kata Enggar, Pakistan mengancam akan membatalkan seluruh kerja sama perdagangan dengan Indonesia. Indonesia juga berpotensi kehilangan kesempatan untuk meningkatkan ekspor dan daya saing produk serta hubungan baik dengan negara tersebut.
"Pada saat kita mau terlambat saja tanda tangan Indonesia-Pakistan PTA, dia mau batalkan semua kerja sama dan mulai dari nol lagi. Itu artinya, kita bakal kehilangan seluruh market share ke Pakistan padahal neraca perdagangan kita ke sana surplus," ujar Enggar.
Pengubahan IP-PTA tersebut, menurut Enggar, mencakup perluasan perjanjian serta pemangkasan sejumlah hambatan ekspor produk Indonesia lewat pengenaan Non-Tariff Barriers (NTBs). Salah satu di antaranya sudah dialami untuk produk pinang Indonesia dan sapu lidi.
"Sebagian produk dalam Amandemen Indonesia-Pakistan PTA merupakan bahan baku untuk industri di Indonesia, sehingga akan memberikan dampak positif bagi industri dalam negeri dengan pilihan bahan baku yang kompetitif," ujar Enggar.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Addi M Idhom