tirto.id - Besar pasak daripada tiang. Begitulah kondisi neraca perdagangan Indonesia kala meninggalkan tahun 2018. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), total ekspor Indonesia sepanjang 2018 senilai $180,06. Sedangkan pada kurun yang sama, total nilai impor Indonesia sebesar $188,63 miliar. Neraca perdagangan Indonesia 2018 mengalami defisit sebesar $8,57 miliar.
Warsa 2018 merupakan tahun keempat pemerintahan Jokowi-JK. Selama empat tahun, menteri perdagangan—sebagai pembantu presiden dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang perdagangan, termasuk ekspor dan impor—berganti dua kali. Berturut-turut tiga orang didapuk sebagai mendag selama itu: Rachmat Gobel, Thomas Trikasih Lembong, kemudian Enggartiasto Lukita.
Rachmat Gobel ialah orang pertama yang ditunjuk sebagai mendag oleh Presiden Jokowi. Ia resmi menjabat sebagai sejak Oktober 2014. Berdasarkan data BPS, situasi perdagangan Indonesia saat itu tidak begitu baik. Neraca perdagangan semester pertama (Januari-Juni) 2014 mengalami defisit sebesar $1,16 miliar.
Angkanya tidak mengejutkan sebab selama dua tahun berturut-turut sebelumnya neraca perdagangan selalu defisit. Neraca perdagangan akumulasi Januari-Desember 2013 mengalami defisit sebesar $4,1. Pada tahun sebelumnya, neraca perdagangan juga defisit, yakni sebesar $1,7.
Gobel tidak dapat berbuat banyak. Neraca perdagangan akumulasi Januari-Desember 2014 mengalami defisit sebesar $2,2 miliar.
Bos Panasonic itu juga kerap melontarkan pernyataan kontroversial. Gobel mengumbar janji nilai ekspor Indonesia naik menjadi 300 persen selama tiga tahun. Kemendag pun membatasi impor tujuh produk yang mencakup telepon seluler, tekstil bermotif batik, produk elektronik, mainan, serta makanan dan minuman.
Tapi hanya 10 bulan Gobel menjabat. Pada Agustus 2015, Jokowi menunjuk Thomas Trikasih Lembong untuk mengisi posisi mendag.
Selama Gobel memimpin Kemendag, nilai impor tertinggi tercatat pada Desember 2014 yang sebesar $14,43. Memasuki 2015, nilai impor turun menjadi tak lebih dari $13 miliar. Dari Januari hingga Agustus, nilai impor terbesar senilai $12,98 miliar, yakni pada Juni 2015.
Menurunnya nilai impor migas menjadi faktor utama menurunnya nilai impor secara keseluruhan. Pada November dan Desember 2014, nilai impor migas tercatat masing-masing $3,47 miliar dan $3,38 miliar. Nilai impor migas di Januari hingga Agustus tidak ada yang lebih dari $3 miliar. Nilainya di tiap bulan berkisar $1,72 miliar hingga $2,58. Sementara nilai impor non-migas berkisar $10,08 miliar hingga $12,98 miliar.
Thomas alias Tom mewarisi neraca perdagangan yang keadaannya lebih baik dibanding ketika awal Gobel menjabat. Pada semester pertama 2015, neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus sebesar $4,4 miliar.
Dua bulan setelah menjabat mendag, Tom merevisi target ekspor yang dilontarkan Gobel. Tom menyatakan Kemendag bakal mengikuti proyeksi ekspor yang disusun Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), yakni sekitar enam hingga tujuh persen.
"Pada 2017 (target ekspor) sudah tembus ke belasan persen. Kemudian pelan-pelan sekitar belasan per tahun. Ini kalkulasi Bappenas," ujar Tom.
Tom juga memprediksi nilai ekspor 2015 turun 14 persen dibanding tahun sebelumnya, sementara nilai impor juga turun 17 persen.
Impor Turun di Zaman Tom
Prediksi Tom tak meleset jauh. Menurut BPS, nilai ekspor Indonesia di 2015 turun 14,55 persen menjadi $150,37 miliar. Sedangkan nilai impor turun 19,9 persen menjadi $142,69 miliar. Walhasil, neraca perdagangan akumulasi Januari-Desember 2015 mengalami surplus $7,67 miliar.
Nilai impor era Tom juga lebih rendah daripada era Gobel. Itu ditunjukkan hasil perbandingan kinerja impor semester pertama 2015 (era Gobel) dengan semester pertama 2016 (era Tom). Pada semester pertama 2016, nilai total impor sebesar $65,99 miliar, turun 10,78 persen dibanding semester pertama 2015.
Penurunan itu disumbang baik oleh nilai impor migas maupun non-migas. Nilai impor migas semester pertama 2016 turun 33,59 persen dibanding semester pertama tahun sebelumnya menjadi $8,7 miliar. Sedangkan nilai impor non-migas kurun serupa turun 5,85 persen dibanding semester pertama tahun sebelumnya menjadi $57,29 miliar.
Namun, lama jabatan Tom juga tidak jauh beda daripada Gobel. Jokowi menunjuk Enggartiasto Lukita sebagai mendag, menggantikan Tom, pada Juli 2016. Tom menjabat mendag hanya selama 11 bulan.
Impor Naik di Zaman Enggar
Memasuki 2017, Enggartiasto alias Enggar meninggalkan catatan neraca perdagangan yang cukup baik. Nilai impor akumulasi Januari-Desember 2016 mencapai $145,19 miliar. Sedangkan di kurun serupa, nilai total impor sebesar 135,65 persen. Neraca perdagangan mendapat surplus sebanyak $9,53 miliar.
Meski demikian, data BPS menunjukkan nilai impor cenderung naik di era Enggar. Nilai impor semester pertama 2017 dan 2018 (era Enggar) bisa dibandingkan dengan kurun serupa era dua mendag sebelumnya.
Pada semester pertama 2017 (era Enggar), nilai total impor sebesar $72,31 miliar, naik 9,6 persen dibanding kurun serupa 2016 (era Tom). Ini terhitung sedikit lebih kecil (2,23 persen) daripada nilai impor semester pertama 2015 (era Gobel).
Sedangkan pada semester pertama 2018 (era Enggar), nilai total impor meningkat 23,15 persen dibanding kurun serupa 2017 menjadi $89,05 miliar. Angka ini lebih besar 20,4 persen nilai total impor kurun serupa 2015 (era Gobel). Jadi, sah sudah mendaulat Enggar sebagai mendag paling rajin impor di era Jokowi.
Berujung Neraca Perdagangan yang Defisit
Baik ekspor dan impor tumbuh di era Enggar. Nilai total ekspor di 2017 meningkat 16,28 persen dibanding 2016 menjadi $168,83 miliar, sedangkan di periode yang sama nilai impor tumbuh 15,73 persen menjadi $156,99 miliar.
Namun, pertumbuhan impor membengkak. Nilai total impor di 2018 mencapai $188,63 miliar, sementara nilai total ekspornya hanya $180,06 miliar. Neraca perdagangan akumulasi Januari-Desember 2018 mengalami defisit sebesar $8,57 miliar, padahal di 2017 mengalami surplus sebesar $11,84 miliar.
Untuk melacak asal usul datangnya defisit tersebut, mari kita tengok neraca perdagangan migas dan non-migas Indonesia.
Sejak 2012, neraca perdagangan migas Indonesia selalu mengalami defisit dan itu pula yang terjadi di 2018. Neraca perdagangan migas akumulasi Januari-Desember 2018 mengalami defisit sebesar $12,4 miliar—defisit terdalam selama tiga tahun terakhir.
Sementara itu, surplus neraca perdagangan non-migas menunjukkan tren penurunan. Pada 2018, neraca perdagangan tercatat surplus sebesar $3,84 miliar, padahal di 2016 dan 2017 terjadi surplus yang mencapai masing-masing $15,17 miliar dan $20,41 miliar.
Tanggapan Menteri Keuangan dan Wapres
Pada awal 2019, Menteri Keuangan Sri Mulyani memaparkan tiga faktor pendorong pertumbuhan impor di 2018. Impor barang-barang modal dan bahan baku untuk kegiatan infrastruktur semacam buldozer, crane, besi dan baja, serta alat angkutan sektor pertambangan adalah faktor pertama.
Faktor kedua, menurut Sri Mulyani, adalah impor produk pangan dalam rangka stabilisasi bulan Ramadan dan Idul Fitri yang lebih awal serta menjaga pasokan. Peningkatan impor migas meningkat seiring peningkatan harga minyak kemudian disebut Sri Mulyani sebagai faktor ketiga.
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyampaikan agar impor migas dikurangi apabila ingin mengatasi defisit neraca perdagangan. Laju impor yang ditekan harus dibarengi dengan menaikkan kinerja ekspor, catat JK.
“Dua hal yang menyebabkan perdagangan kita defisit yakni impor migas yang terlalu besar dan ekspor kita naik, tapi [kenaikannya] tidak sebesar [nilai] impor kita. Artinya kita harus lebih meningkatkan kapasitas dalam bidang energi,” ujar JK, pertengahan Januari 2019.
Editor: Windu Jusuf