tirto.id - Media Kernels Indonesia menemukan sebanyak 55 persen percakapan di media sosial Twitter menyoal pilkada mendukung kelanjutan pelaksanaan hajat politik lima tahunan tersebut. Dari pantauan Kernel, narasi tersebut ditemukan datang dari akun-akun pendukung pemerintah serta terafiliasi dengan kepolisian.
Tomi Satryatomo analis dari Media Kernels Indonesia mengatakan pihaknya memantau isu pilkada di media daring dan media sosial berupa Twitter dan Instagram, pada periode 25 Agustus-25 September 2020. Ia menggunakan kata kunci ‘pilkada’.
Fokus pemantauan ialah aktor, narasi, dan pola percakapan. Pada periode itu rangkaian pilkada berada dalam tahap pemberian rekomendasi calon kepala daerah oleh parpol, pendaftaran calon kepala daerah ke KPUD, dan persiapan kampanye.
“Kami memetakan dua kubu. Dalam satu bulan, narasi ‘lanjutkan pilkada’ itu mendominasi percakapan maupun pemberitaan,” ucap dia dalam diskusi daring bertajuk ‘Pilkada Langsung di Tengah Pandemi: Ancaman, Peluang dan Tantangan’ yang diselenggarakan oleh LP3ES, Rabu (30/9/2020).
Hasil pemantauan yakni 55 persen mendukung lanjutkan pilkada, sementara penundaan pilkada hanya 32 persen. Namun ini bukanlah angka absolut, menurut Tomi, tapi dapat diartikan sebagai diindikasi. Kalangan menengah ke atas berpendidikan merupakan golongan yang ingin pesta rakyat lima tahunan itu dihentikan sementara lantaran alasan kesehatan. Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin tinggi kesadaran akan bahaya COVID-19.
Pilkada jadi salah satu topik yang mendominasi pemberitaan di seluruh media daring Indonesia. Tomi katakan ada 51.814 berita perihal pilkada: borneonews menayangkan 2.010 artikel, disusul Tagar (1.448 artikel) dan Detik (1147 artikel). Pada 24 September, ihwal keputusan KPU membolehkan konser musik pada masa kampanye memicu puncak pembahasan. Kekentalan pemberitaan terkait isu Pilkada mencapai 2,8 mention per artikel.
Berdasar pantauannya di Twitter, narasi mengenai pilkada patuh protokol kesehatan ramai digaungkan oleh akun-akun pendukung pemerintah serta terafiliasi dengan kepolisian. Sementara permintaan penundaan berasal dari akun elemen masyarakat sipil.
"Dukungan pilkada disuarakan oleh akun-akun yang terasosiasi dengan pemerintah termasuk yang terafiliasi dengan polisi. Jika ditarik, rata-rata berasosiasi dengan institusi kepolisian,” ujar Tomi.
Akun influencer pendukung pilkada berdasar pantauannya yakni @1trenggalek, @sampanghumas, @ditsamaptapmj, @GroboganPolres, HumasPolres_BJN, @DamaiLamongan, @humasres_blikot, @humas_res_bkt, @HumasPoldaAceh, @Res_Dharmasraya, @poldajateng, @MalangHumas, @humaas_restuban, @PolisiSukoharjo, @humasresikkota.
“Kenapa akun-akun yang terasosiasi dengan polisi secara terbuka menyatakan dukungan atas lanjutkan pilkada? Apakah mengamankan perintah Kapolri atau ada indikasi mereka mengambil sikap politik dari institusi yang harusnya netral? Jadi bayangkan mereka terlibat dalam percakapan lanjutkan pilkada,” imbuh dia. Para akun pendukung pilkada didominasi oleh akun non-organik alias 'bodong'.
Dia menduga, jika berasaskan pola penyebaran, akun-akun organik (true human account) yang mendukung pilkada tak terlalu banyak ketimbang yang menunda. Ada juga dugaan upaya sistematis dan masif yang merekayasa opini publik perihal keberlanjutan pilkada yang rencananya digelar pada Desember 2020.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Restu Diantina Putri