tirto.id - Detektif merupakan salah satu profesi populer dalam imajinasi masa kecil semua orang. Nama-nama seperti Shinichi Kudo alias Conan Edogawa, Sherlock Holmes, atau Lima Sekawan seketika muncul sebagai perwujudan sosok “tukang bongkar kasus” ini.
Bagaimana jadinya ketika karakter tersebut ditarik dalam semesta lokal, Indonesia punya?
Jawabannya menjelma pada sesosok pria bernama Jubun, 43 tahun. Ia menahbiskan diri sebagai detektif swasta selama satu dekade ini. Jubun bisa dibilang pionir jasa “investigasi” di Indonesia. Mau mencari orang hilang, menguak perselingkuhan pasangan, sampai melacak aset koruptor di luar negeri, bisa ia kerjakan.
“Di dunia nyata kita bekerja atas permintaan klien yang tidak punya waktu untuk menyelidiki hal-hal tertentu. Biasanya masalah rumah tangga,” Jubun membuka obrolan bersama Tirto beberapa waktu lalu.
Suatu ketika ia mendapat tugas menyelidiki disfungsi ereksi seorang pria. Terdengar aneh dan tak lazim, memang, tapi kira-kira begitulah gambaran besar pekerjaannya.
Si pelapor adalah istri “pria impoten” itu sendiri. Ia melapor sebab suaminya selalu menolak aktivitas seksual karena mengaku penisnya tidak bisa mengeras, tapi janggal karena enggan diajak berobat ke seksolog. Sang istri ingin tahu apakah klaim tersebut benar adanya atau hanya dibuat-buat.
Awam mungkin menebak si detektif akan berhipotesis bahwa si suami tak impoten, hanya saja memang tidak ingin berhubungan seks dengan istri karena, misalnya, lebih menikmati perselingkuhan. Oleh karenanya sang agen pun dibayangkan akan membuntuti target hingga menemukannya berselingkuh, atau sengaja mengirim agen perempuan untuk berkenalan dengan target dan memergoki mereka saat berkencan--mirip acara uji kesetiaan panduan Uya Kuya di televisi.
Tapi taktik Jubun berbeda dan bisa dibilang out of the box, meski sama-sama berasumsi bahwa si suami bohong belaka dan selingkuh. Jubun sengaja membangun properti mirip salah satu perusahaan kopi kesehatan dan vitalitas. Setelahnya ia menghubungi target dan berpura-pura memintanya untuk menjadi responden dengan imbalan suvenir sebuah telepon pintar.
“Memang agak keluar biaya. Kami kasih handphone seharga Rp1,8 juta supaya dia mau jawab kuesioner dengan bukti rekaman dan tanda tangan keaslian pernyataan.”
Atas nama survei “kopi kesehatan dan vitalitas”, Jubun bebas melontarkan pertanyaan jebakan yang mengarah pada aktivitas seksual target. Misalnya saja terkait status perkawinan, kemudian tipe perempuan idaman, sampai ke aktivitas seksual terakhir berikut durasi mainnya.
Dari sana semua terbongkar. “Si suami ini mengaku masih melakukan aktivitas seksual beberapa waktu belakangan, tapi istrinya sudah bertahun-tahun tidak diberi hak seksual,” cerita Jubun. Foto target, video, serta tanda tangan di formulir kuesioner menjadi bukti kuat kebohongan target kepada sang istri.
Panjang Akal: Modal Utama Detektif
Hampir satu dasawarsa Ani menjalin hubungan serius dengan seorang pria--setidaknya begitulah yang ia asumsikan. Namun Ani belum pernah bertatap muka langsung. Ani hanya tahu nama, nomor telepon, dan foto pacarnya. Selama ini Ani mengenal si pria berinisial C, pebisnis asal Singapura yang sering bolak-balik Jakarta, dan punya hunian di Jakarta Barat.
Setiap kali melakukan panggilan video, hanya Ani yang menyalakan kamera. Karena itulah ia cuma punya sedikit petunjuk untuk mengungkap identitas asli sang pacar.
Suatu ketika C mengaku akan melamar dalam waktu dekat, tapi Ani mendadak ragu. Tentu, dengan segala misteri dari Mister C, sikap Ani wajar belaka. Maka ia pun berupaya mengungkap lebih jauh jati diri kekasihnya dengan memakai jasa detektif.
“Saya sudah pergi ke tiga detektif lainnya, tapi semua menolak karena saya tidak punya alamat lengkap orang ini,” tutur Ani.
Beruntung Ani akhirnya bertemu Jubun. Saat pertemuan pertama, Jubun meminta semua informasi soal C--yang cuma seadanya itu.
Jubun kemudian mencari nama kontak target, tapi buntu karena target menggunakan identitas Ani untuk melakukan registrasi nomor telepon.
“Apa yang membuat terungkap? Fotonya ternyata ambil dari internet. Kita cari hanya dengan penelusuran gambar Google,” ujar Jubun melengkapi penuturan Ani. “Ternyata target ini pria sudah berumur, tidak seperti yang dibayangkan.”
Dari situ terbongkarlah semua identitas si pria: orang asli Indonesia, karyawan biasa, dan sudah menikah. Diketahui pula bahwa mengapa C bisa kenal dengan Ani karena ternyata mereka jemaat di gereja yang sama.
Jubun tidak bekerja sendiri. Ia memiliki perusahaan investigasi bernama Aman Sentosa Investigation Agency (ASIA). Setidaknya ada tiga tim besar dalam bisnis ini: tim pemantau media sosial, tim pengintai, dan tim penyusup.
Seperti namanya, tim pemantau media sosial bekerja untuk menggali segala informasi target dari media sosial, aplikasi kencan, atau mesin penelusuran internet. Selain bekerja dengan metode penelusuran internet seperti dalam kasus Ani, cara lain untuk menggali informasi ala tim medsos adalah dengan berteman dengan target atau lingkaran terdekatnya. Tahap pertama, tentu saja, dengan memberikan tanda “suka” atau bahkan meninggalkan komentar pada setiap unggahan.
Setelah informasi dari media sosial dirasa cukup, giliran tim pengintai beraksi. Mereka merupakan agen lapangan dengan tugas mengambil bukti foto atau video keseharian target. Biasanya tim pengintai akan mengikuti aktivitas target dari pagi hingga petang.
“Nah tim terakhir punya misi menjalin interaksi nyata dengan target. Bisa berteman atau menyamar untuk menawarkan produk, pinjaman, macam-macam,” lanjut Jubun. Gambaran misi terakhir seperti penyamaran survei “kopi vitalitas dan kesehatan” pada kasus pertama.
Jubun punya kriteria khusus dalam meletakkan agen di tiap-tiap tim. Untuk tim penyusup, misalnya, mereka tak harus punya wajah cantik atau tampan tapi kudu lihai dalam berkomunikasi. Jubun juga hampir selalu menempatkan agen dengan gender yang berlawanan dengan target. Alasannya karena informasi lebih mudah digali oleh lawan jenis. Subjektif memang, tapi terbukti ampuh di banyak kasus.
Seperti menyusun rangkaian puzzle, begitulan Jubun mengumpulkan bukti-bukti berserakan untuk dirangkai menjadi satu fakta.
Tak ada bekal khusus yang ia siapkan untuk menjadi seorang detektif, tidak juga selembar ijazah pendidikan tertentu. Katanya, semua orang bisa jadi detektif asal panjang akal dan jeli melihat petunjuk.
“Sebenarnya ini pekerjaan bisa dilakukan siapa saja. Yang berbeda hanya soal ide.”
Antitesis dari Laporan Hukum
Perselingkuhan adalah kasus yang paling sering Jubun tangani. Alasannya bisa jadi karena penyelidikannya hampir tidak mungkin dilaporkan kepada penegak hukum. Jika ada korban perselingkuhan melapor, paling-paling hanya disuruh menyelesaikannya dengan “cara kekeluargaan”. Sementara kasus lain seperti penipuan, korupsi, atau mencari orang hilang terlihat lebih rasional untuk mengadu ke polisi--meski belum tentu juga terselesaikan.
“Hasil investigasi kami juga rata-rata hanya digunakan sebagai bukti perselingkuhan ke keluarga besar, bukan untuk bukti gugatan,” lanjut Jubun.
Sebelum memulai misi, Jubun dan klien harus membuat kesepakatan. Kedua belah pihak bertanggung jawab untuk menjaga kerahasiaan misi dan identitas agen, sementara temuan tak boleh diakses oleh pihak selain klien.
Jubun membutuhkan waktu dua minggu hingga dua bulan untuk mengerjakan satu kasus, tergantung tingkat kesulitan dan momentum.
Investigasi bisa masuk kategori “sulit” dan “merepotkan” ketika target kurang terbuka terhadap informasi pribadinya. Misal, dalam kasus perselingkuhan, target menyimpan pasangan selingkuhnya di apartemen privat, bahkan sampai berkencan di luar negeri saja. Jika hal yang disebutkan terakhir terjadi, Jubun akan meminta bantuan rekan detektif di luar negeri “yang memang ada di berbagai negara.”
“Kami saling meminta bantuan. Jadi kami tidak pergi langsung ke Hong Kong atau Singapura, tapi menghubungi rekan di sana.”
Penyelidikan semacam ini tentu akan sulit ketika, misalnya, ditangani penegak hukum karena mereka terbatas pada birokrasi dan koordinasi. Untuk bekerja sama dengan sesama penegak hukum lokal di beda departemen saja butuh serangkaian proses yang berbelit, apalagi sampai harus menyeberang batas negara.
Wajar saja pada akhirnya korban-korban perselingkuhan ini lari mencari jasa investigasi detektif meski bisa dibilang Jubun mematok tarif lumayan fantastis.
Pada kasus Ani, ia harus mengeluarkan uang hingga Rp8 juta. Yang lain bervariasi, bisa Rp15 juta atau bahkan mencapai Rp200 juta, bergantung pada teknik pengungkapan kasusnya. Tapi ide cemerlang tentu harus dihargai karena tak semua orang punya dan bisa menggunakannya untuk hal-hal semacam ini.
Jadi, seperti kata Ani, harga tak jadi soal ketika investigasi para detektif ini memberi hasil memuaskan.
Editor: Rio Apinino