Menuju konten utama

Akhir Getir Mauricio Pochettino di Tottenham Hotspur

Mauricio Pochettino memang punya catatan baik di Spurs. Tapi itu dulu, sebelum segalanya berantakan musim ini.

Akhir Getir Mauricio Pochettino di Tottenham Hotspur
Pelatih Tottenham Hotspurs Mauricio Pochettino dalam pertandingan Liga Premier Inggris antara Tottenham Hotspurs melawan Newcastle United di Wembley Stadium, London, Inggris (9/5/18). AP/Alastair Grant

tirto.id - Kabar mengejutkan itu datang Rabu (20/11/2019) dini hari. Setelah mengalami rentetan hasil pertandingan yang mengecewakan, Tottenham Hotspur resmi mendepak manajer mereka, Mauricio Pochettino.

Menurut Daniel Levy, bos The Lilywhites, keputusan ini tidak diambil dengan mudah--ada adu argumen di internal manajemen. Sebagian ingin Poch tetap bertahan, lainnya enggan.

Posisi di liga domestik akhirnya jadi pertimbangan utama untuk memecat Poch. Hingga 12 pekan berlalu, Harry Kane dan kolega masih berkutat di peringkat 14 dengan 14 poin, hasil tiga kemenangan, lima kali imbang, dan empat kekalahan.

Keputusan Spurs tergolong berani karena mereka harus merogoh kocek dalam-dalam untuk biaya penggantian kontrak senila 19,6 juta paun. Angka ini memecahkan rekor kompensasi pemecatan di EPL yang sebelumnya dipegang Manchester United tatkala mendepak Jose Mourinho pertengahan musim lalu.

"Kami melakukan ini demi klub," ujar Levy.

Namun alih-alih dipuji, langkah manajemen Spurs dikritik para pengamat. Legenda Timnas Inggris, Gary Lineker, mengatakan Spurs aneh karena meski ada di papan bawah, mereka sebenarnya hanya berselisih satu poin dari tim peringkat lima. Sedangkan Adam Crafton, jurnalis The Athletic sekaligus penulis buku From Guernica to Guardiola menyebut, "Tottenham tidak akan menemukan pengganti yang lebih baik dari Pochettino."

Sulit Mencari yang Sepadan

Vonis yang dijatuhkan Crafton barangkali benar dengan mempertimbangkan sejumlah alasan.

Selama lima musim berada di London, Pochettino menorehkan rasio kemenangan sebesar 54,3 persen. Angka ini sepintas terlihat biasa, namun jadi luar biasa jika menimbang fakta bahwa Tottenham adalah klub yang dikenal tak mau jor-joran di bursa transfer.

Dengan nyaris tanpa belanja pemain saja, musim lalu Poch mampu mengantarkan Kane dan kawan-kawan menembus final Liga Champions--yang sayangnya kalah dari Liverpool.

Menjadi kian menarik jika menimbang keterbatasan ruang gerak mantan pelatih Southampton ini. Poch mengaku dia tak leluasa mendatangkan pemain meski saat perpanjangan kontrak tahun 2016 lalu, statusnya tidak lagi pelatih, tapi manajer.

"Mungkin klub perlu mengubah deskripsi pekerjaanku, karena aku masih pelatih, bukan manajer […] Tentu aku bos di ruang ganti, memutuskan strategi, latihan, bagaimana filosofi kami. Tapi soal lain [perekrutan pemain] aku rasa jabatanku cuma pelatih," ujarnya.

Alasan lain yang bisa bikin Spurs kesulitan mencari sepadan adalah kemampuan Pochettino meracik taktik yang langka.

Michael Caley, analis dari Five Thirty Eight, menyebut Pochettino telah menyulap Spurs. Di bawah Pochettino, terang Caley, Spurs mampu "bermain direct, memberikan umpan ke depan dengan cepat, yang bisa membuat para pemain depannya langsung berhadapan satu lawan satu dengan bek lawan."

Khusus musim lalu, Pochettino adalah pelatih yang mengharamkan timnya bertahan mendalam. Para pemain dituntut mampu merebut bola sesegera mungkin setelah kehilangan. Dan untuk menyempurnakan pendekatannya, Pochettino punya cara jitu: 'menyiksa' para pemain setiap sesi latihan.

Pochettino meracik tiga sesi latihan setiap hari, dari jam 10 pagi hingga makan siang, dilanjut dari jam 2 siang hingga jam 4 sore, dan ditutup sesi terakhir yang berlangsung dari jam 6 petang hingga 8 malam. Dalam setiap sesi itu, agar para pemain mempunyai paru-paru ganda, latihan fisik selalu jadi salah satu menu andalan.

Selain membuat para pemain Spurs tak pernah lelah dalam memburu bola, metode latihan ini berguna dalam setiap bangunan serangan Spurs: apa pun formasi yang digunakan, siapa pun pemain yang dipilih, entah melalui serangan balik maupun melalui serangan biasa, Spurs tak pernah menyerang secara bertele-tele.

Di EPL musim lalu Spurs memang hanya mampu menciptakan 50 expected goal dari permainan terbuka, di bawah Arsenal, Chelsea, dan Liverpool. Namun dibanding tiga tim tersebut, Spurs merupakan tim yang paling sedikit melakukan umpan-umpan yang mengarah atau dilakukan di dalam kotak penalti lawan. Arsenal--yang tingkat expected goal-nya hanya sedikit di atas Spurs--rata-rata melakukan 495 umpan, sementara Spurs hanya 310.

Dengan pendekatan seperti itu, serangan Spurs lantas sulit diduga lawan. Gol-gol Spurs di liga Champions Eropa, termasuk saat menghadapi Manchester City (perempat final) maupun Ajax (semifinal) musim lalu, sering lahir dengan cara seperti itu.

Cela Pochettino

Namun Pochettino bukan dewa. Ia juga punya cela. Menurut redaktur sepakbola The Times, Henry Winter, kelemahan pelatih 47 tahun ini adalah sikap 'moody'. "Pochettino bisa saja membangun dinasti seandainya mood-nya musim ini tak memburuk," tulis Winter.

Menurut Winter, hubungan yang naik turun dengan Daniel Levy sejak awal musim bikin Pochettino kehilangan rasa nyaman di ruang ganti. Situasi ini lantas berimbas ke permainan di atas lapangan. Dalam beberapa pertandingan, Pochettino dinilainya kerap melakukan kesalahan fatal dalam memilih pemain.

Contoh yang paling kentara adalah keputusannya membangkucadangkan Christian Eriksen di beberapa pertandingan awal EPL meski gelandang asal Denmark ini mengawali musim dengan bagus. Beberapa eksperimen juga lebih banyak menuai kegagalan, misalnya ketika Davinson Sanchez dipasang sebagai bek kanan dalam derbi London Utara terakhir melawan Arsenal, 1 September 2019.

Goyah di ruang ganti semakin menjadi beban lantaran Spurs banyak dihuni muka-muka lama yang sudah dua musim lebih memperkuat tim. "Memotivasi pemain yang sudah senior untuk kembali ke jalur yang benar akan selalu lebih sulit bagi seorang pelatih," ujar Winter.

Musim ini, di semua kompetisi, rapor Spurs anjlok signifikan. Mereka cuma lima kali menang, tujuh kali imbang, dan lima kali menderita kekalahan. Rasio kemenangan mereka hanya 29,41 persen.

Seperti halnya pengamat lain, Winter menyayangkan pemecatan Pochettino. Tapi atas akhir yang pahit ini, dia juga menganggap reaksi yang ditempuh manajemen Spurs cukup logis.

"Yang jadi pertanyaan sekarang cuma satu: bisakah manajer baru Spurs mengembalikan daya juang para pemain senior?"

Baca juga artikel terkait TOTTENHAM HOTSPURS atau tulisan lainnya dari Herdanang Ahmad Fauzan

tirto.id - Olahraga
Reporter: Herdanang Ahmad Fauzan
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Rio Apinino