tirto.id - Pada leg kedua semifinal Liga Champions 2018-2019, Kamis [9/5] waktu Indonesia, Tottenham Hotspur secara ajaib berhasil mengalahkan tuan rumah Ajax Amsterdam dengan skor 2-3. Sempat tertinggal dua gol pada babak pertama, anak asuh Mauricio Pochettino mampu mencetak tiga gol balasan pada babak kedua.
Tiga gol kemenangan Spurs dalam pertandingan itu diborong Lucas Moura, penyerang Spurs asal Brasil. Ia mencetak gol pada menit ke-55 dan ke-59, lalu secara dramatis membobol gawang Ajax pada detik-tetik akhir pertandingan. Sementara dua gol Ajax dicetak Matthijs de Ligt dan Hakim Ziyech.
Berkat kemenangan ini, Spurs lolos ke babak final Liga Champions. Mereka unggul gol tandang atas Ajax, yang pada pertandingan leg pertama menang 0-1. Di partai puncak, yang digelar pada 1 Juni, Spurs menghadapi Liverpool, sesama wakil Inggris.
Kesuksesan melangkah ke babak final mencatatkan tinta emas dalam sejarah Spurs: mereka belum pernah sekalipun menembus laga final Liga Champions atau Piala Champions Eropa. Sebelumnya, mereka hanya mentok pada babak semifinal, itu pun terjadi pada 1962. Maka, Mauricio Pochettino tak bisa menutupi kegembiraannya.
"Kata-kata tidak akan mampu menjelaskan emosiku serta perasaanku saat ini," ujar Pochettino setelah laga.
"Aku pikir ini salah satu malam terpenting dalam hidupku. Mustahil aku bisa hidup tanpa emosi yang muncul karena pertandingan sepakbola. Masih banyak yang ingin aku ucapkan tetapi yang terpenting aku ingin mengucapkan selamat kepada para pemainku. Mereka memainkan sepakbola mereka, mereka menuntaskan pekerjaan luar biasa. Aku mengatakan kepada Anda pada bulan lalu bahwa mereka adalah pahlawan. Sekarang, aku pikir mereka adalah pahlawan super."
Lantas, bagaimana Spurs, yang sebelumnya tak diunggulkan, mampu menciptakan perbedaan pada pertandingan leg kedua?
Blunder Taktik Spurs pada Babak Pertama
Di Johan Cruyff Arena, markas Ajax, Spurs memilih bermain dengan formasi 4-2-3-1. Sayangnya, dengan pendekatan taktik yang kurang pas, formasi ini justru menjadi senjata makan tuan. Penyebabnya: daripada digunakan untuk menunjang permainan direct, formasi ini ternyata digunakan untuk meladeni permainan agresif Ajax.
Dengan formasi itu, Spurs memaksa melewati counter-pressing yang diterapkan pemain-pemain Ajax lewat umpan-umpan pendek. Dari lini paling belakang, Jan Vertonghen dan Toby Alderweireld melakukan build-up serangan sedemikian rupa, sedangkan Moussa Sissoko dan Victor Wanyama, double pivot Spurs, berusaha menjembatani dua pemain belakang itu demi mengalirkan bola ke lini depan.
Namun, karena counter-pressing yang dilakukan nyaris tak bercela, bola lebih sering tertahan di lini belakang Spurs. Serangan Spurs tak efektif dan, tak heran di sepanjang babak pertama, Vertoghen dan Alderweireld menjadi pemain paling sering melakukan percobaan umpan. Menurut hitung-hitungan Whoscored, Vertonghen melakukan 44 percobaan umpan, sedangkan Alderweireld melakukan 38 kali.
Kesalahan pendekatan taktik ini berimbas lebih jauh. Saat pemain Spurs memaksa menerobos counter-pressing Ajax--dengan umpan-umpan pendek di lini tengah--, mereka rentan melakukan kesalahan. Akibatnya, pemain-peman Ajax seringkali bisa mendapatkan peluang dengan memanfaatkan kesalahan pendekatan taktik ini.
Dari sanalah Frenkie de Jong dan Donny van de Beek, dua gelandang Ajax, menjadi dua pemain paling sering melakukan tekel di sepanjang babak pertama. Sementara de Jong melakukan 5 tekel, van de Beek berhasil melakukan 6 tekel, dan salah satunya menjadi awal gol kedua Ajax yang dicetak Hakim Ziyech.
Llorente adalah Kunci
Tahu pendekatan taktiknya tak bekerja, Pochettino melakukan perubahan pada babak kedua meski tetap memainkan formasi 4-2-3-1. Pelatih asal Argentina itu mengganti Victor Wanyama dengan Fernando Llroente: Llorente dimainkan sebagai penyerang tunggal menggeser posisi Lucas Moura. Sementara Chirstian Eriksen ditarik ke belakang untuk bermain sebagai double pivot bersama Sissoko; Moura akan menempati posisi Eriksen di sisi kanan lini serang.
Masuknya Llorente memberikan keuntungan bagi Spurs. Memanfaatkan kemampuan Llorente di udara, Spurs bisa bermain direct, dan setidaknya, mantan penyerang Juventus ini bikin bek-bek Ajax bertahan lebih dalam.
Saat pemain-pemain depan dan tengah Ajax tetap memaksa counter-pressing, ada ruang yang begitu lebar di depan garis pertahanan Ajax. Karena ruang itulah, Spurs akhirnya bisa melewati counter-pressing yang dilakukan pemain-pemain Ajax, lewat dua cara yang bersumber dari peran double pivot Moussa Sissoko dan Eriksen [keduanya tidak berperan sebagai gelandang bertahan statis].
Pertama, Eriksen turun jauh ke belakang, mengambil alih peran Vertonghen dan Alderweireld dalam mengontrol permainan Spurs. Dari sana, pemain-pemain depan Ajax sering kalah jumlah dan gagal counter-pressing. Alderwiereld pun bisa leluasa mengirimkan umpan-umpan direct ke lini depan atau maju ke lini depan.
Kedua, karena ruang tengah terbuka untuk mengatasi counter-pressing Ajax, Spurs bisa memaksimalkan kemampuan Sissoko dalam melakukan dribel. Pendekatan itu manjur.
Di sepanjang babak kedua, dengan ledakan kecepatannya, empat dribel sukses Sissoko merupakan salah satu alasan mengapa Spurs mampu mendominasi pertandingan.
Lalu, apakah Llorente mempunyai kontribusi langsung?
Meski hanya bermain selama 45 menit, Llorente berhasil memenangi 13 duel udara, melebihi siapa pun yang terlibat dalam pertandingan tersebut. Salah satu di antaranya bahkan mengawali gol penentu kemenangan Spurs yang diciptakan Lucas Moura. Selain itu, ia terlibat aktif dalam proses gol kedua Spurs.
Untuk semua itu, sekitar 3.000 fans Spurs yang ikut datang ke markas Ajax tak luput menyanyikan namanya sesudah pertandingan.
"Ooh, Fernando Llorente. When the ball up high, he make your defender cry."
Editor: Mufti Sholih