tirto.id - Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menggelar aksi pita hitam dan doa bersama selama tiga hari berturut-turut. Aksi ini adalah tindak lanjut setelah Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memutuskan melakukan mutasi atau pemindahan terhadap dokter spesialis anak, yang bekerja di rumah sakit vertikal, alias rumah sakit di bawah pengelolaan pemerintah.
Bukan pemindahan yang diketahui dan disetujui kedua belah pihak, mutasi ini dilakukan secara sepihak oleh pemerintah. Keputusan mutasi awalnya disampaikan oleh Dokter Spesialis Anak, sekaligus Ketua Umum IDAI, Piprim Basarah Yanuarso. Ia dipindahkan dari RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) ke RSUP Fatmawati, alias RSF.
Tak berselang lama, hal serupa dialami rekan sejawat Piprim. Awal Mei 2025, Dokter Spesialis Anak Konsultan Kardio Anak, Rizky Adriansyah, mendadak tidak boleh lagi berpraktik di RSUP H Adam Malik, Sumatera Utara. Keputusan itu keluar, tak lama setelah dr. Rizky, yang juga Ketua Unit Kerja Koordinasi (UKK) Kardiologi IDAI, vokal mengkritik pemindahan dr. Piprim.
Dalam komentarnya, Dokter Rizky menyebut bahwa keputusan memindahtugaskan Dokter Piprim ini paradoks. Sebab keputusan tersebut tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah yang menargetkan peningkatan jumlah dokter sub-spesialis kardiologi anak di Indonesia.
Dokter Piprim dikatakan tak bisa lagi mendidik para calon dokter sub-spesialis kardiologi anak di RSCM. Sementara di RSF, tempat tugas baru Piprim, layanan jantung anak belum terlaksana paripurna. Menurut dr. Rizky, mutasi dr. Piprim berdampak pada memburuknya kualitas pendidikan dokter sub-spesialis kardiologi anak (dokter ahli jantung anak), khususnya di RSCM.
Rizky berpendapat, keputusan ini tidak terlepas dari sikap IDAI yang menolak pengambilalihan Kolegium Ilmu Kesehatan Anak oleh Kemenkes.

Merespons hal ini Kemenkes berdalih, pemindahan Ketua Umum IDAI, dr. Piprim merupakan bagian dari pengembangan rumah sakit milik Kemenkes. Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes, Aji Muhawarman, mengatakan kalau RSF juga merupakan rumah sakit pendidikan utama bagi Fakultas Kedokteran UIN. RS Fatmawati juga menjadi bagian dari jejaring rumah sakit pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI).
"Perpindahan dr Piprim untuk memenuhi kebutuhan mendesak di Rumah Sakit Fatmawati, yang saat ini hanya memiliki satu sub-spesialis kardiologi anak dan akan segera memasuki masa pensiun. Kehadiran yang bersangkutan diperlukan untuk memperkuat dan mengembangkan layanan kardiologi anak di RSF," kata Aji, Selasa (29/4/2025).
Aji mengungkap, informasi bahwa RSCM akan kekurangan pendidik dokter sub-spesialis jantung anak adalah tidak tepat. Saat ini, RSCM disebut memiliki empat dokter sub-spesialis jantung anak aktif lainnya. Menurut dia, pelayanan kepada peserta didik dan pasien tetap terjamin dan tidak terganggu.
"Pasien yang sebelumnya mendapatkan layanan dari dr. Piprim di RSCM tetap dapat dilayani di RSF. Jarak tempuh antara RSCM dan RSF tidaklah jauh sehingga pelayanan kesehatan pediatrik/anak masih bisa dilakukan," Aji melanjutkan.
Lebih jauh, Aji mengatakan, rotasi yang dilakukan terhadap dr. Piprim adalah hal biasa dalam organisasi. Menurut dia, mutasi ini sudah dilakukan sesuai dengan ketentuan dan regulasi yang berlaku. Selain dr. Piprim, katanya, ada 12 dokter lainnya yang turut dirotasi untuk pengembangan rumah sakit di bawah pengelolaan Kemenkes.
Kontraproduktif dan Mengandung Unsur Politis
Mutasi terhadap beberapa dokter tanpa alasan jelas ini kemudian banjir kritik dari para dokter. Selain asosiasi profesi dokter anak, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga mengecam keputusan ini.
Dalam keterangan yang diterima Tirto pada Senin (5/5/2025), Ketua Umum Pengurus Besar (PB) IDI, Slamet Budiarto, menyebut keputusan sepihak dari Kemenkes sebagai tindakan yang kontraproduktif. Ia menilai hal ini dapat berdampak negatif terhadap layanan kesehatan di rumah sakit vertikal.
Slamet menegaskan bahwa dokter memiliki hak untuk menyampaikan pendapat yang konstruktif. Hal ini termasuk sanggahan terkait kebijakan Kemenkes yang berpotensi merugikan pelayanan kesehatan.

Mutasi atau pemberhentian mendadak ini disebut berpotensi menciptakan situasi dan kondisi yang penuh ketidakpastian di kalangan dokter. Kondisi ini dapat kemudian mengganggu pelayanan di rumah sakit vertikal.
"Sebagai organisasi profesi, kami mendorong dialog antara Kemenkes dan tenaga medis untuk mencapai kesepakatan memberi manfaat kesehatan bagi masyarakat," ungkap Slamet. Pihaknya meminta Kemenkes untuk meninjau kembali dan membatalkan keputusan mutasi dan pemberhentian terhadap dokter tersebut demi kepentingan pelayanan kesehatan masyarakat.
Selaras, Pengurus IDI, dr Iqbal Mochtar, mengatakan bahwa mutasi harus dilakukan menggunakan pertimbangan objektif. Alih-alih hanya berdasar pada konflik politik, konflik kepentingan, atau konflik-konflik lainnya.

“Mutasi itu mestinya dilakukan secara objektif. Jadi ada pertimbangan yang matang, misalnya itu kan biasanya ada menimbang, membaca, memutuskan. Jadi ada pertimbangan yang sangat dalam sebelum kita memindahkan seorang dokter. Nah, ini tidak terjadi,” kata Iqbal saat dihubungi Tirto, Senin (5/5/2025).
Ia juga beranggapan pemindahan dokter anak di beberapa RS pemerintah, ada kaitannya dengan IDAI yang getol menyuarakan ketidaksetujuan terhadap pembentukan kolegium oleh Kemenkes. Kata Iqbal, mutasi terhadap dokter anak telah terjadi sejak tahun 2024.
Merunut ke belakang pada penghujung tahun lalu, mutasi mendadak dialami oleh Dokter Spesialis Anak Konsultan Hematologi Onkologi, Hikari Ambara Sjakti. Pria yang juga menjabat sebagai Sekjen IDAI itu dimutasikan dari RSUP Cipto Mangunkusumo ke RSAB Harapan Kita.
“Jadi ini kental banget, bahwa ada nuansa politis di belakangnya. Karena memang kan di antara semua perhimpunan ikatan dokter, IDAI itu yang paling getol menyampaikan perbedaan pendapat dengan Kemenkes,” tutur Iqbal.
Menurut Iqbal, ada argumen Kemenkes yang tidak sesuai dengan fakta. Sebagai contoh, dokter spesialis jantung anak di RSF yang disebut akan pensiun, ternyata belum akan pensiun dalam waktu dekat.
Iqbal menyampaikan kalau mutasi yang terjadi belakangan sama saja dengan melakukan pembunuhan karir dan profesi. Dalam kasus dr. Piprim misalnya, spesialisasinya tidak ada di RSF.

Pernyataan selaras pun disampaikan oleh Pengurus Pusat Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI). Dalam keterangan resminya yang ditandatangani oleh Ketua Umum POGI, Yudi M Hidayat, disebutkan kalau mutasi sepihak yang dilakukan Kemenkes melanggar prinsip etik dan tata kelola dalam profesi kedokteran.
Menurut POGI, langkah ini bisa membawa sejumlah dampak negatif. Mulai dari terganggunya layanan kesehatan, tersendatnya proses pendidikan dan pelatihan dokter spesialis, penurunan kualitas dan efektivitas program studi, terhambatnya perkembangan karier para dokter, hingga berkurangnya independensi profesi medis itu sendiri.
Analisis Kepatuhan Regulasi
Pemindahan tugas dokter idealnya merujuk pada kebutuhan. Pemerhati kesehatan, dr. Y. Sri Yono, menyampaikan kalau kebutuhan itu dianalisis berdasar kebutuhan pelayanan. Maka, berdasarkan analisis hukum, menurutnya, tidak ada keadaan darurat yang mengharuskan mutasi dr. Piprim.
“Di regulasi jelas bahwa RS Fatmawati itu ditunjuk sebagai rujukan regional pelayanan uronefrologi, bukan kardiologi,” kata Yono kepada Tirto, Senin (5/5/2025).
Regulasi itu merujuk pada Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor HK.02.02/D/45486/2024 Tentang Rumah Sakit Pengampu Regional Pelayanan Kanker, Jantung Dan Pembuluh Darah, Stroke, Uronefrologi, Dan Kesehatan Ibu Dan Anak.
Dalam beleid itu disebut bahwa RS Fatmawati sebagai Pengampu Regional Pelayanan Uronefrologi wilayah Provinsi Daerah Khusus Jakarta. Sementara Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta ditunjuk sebagai Koordinator Jejaring Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak.

Hal tersebut juga ditegaskan lagi dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/1277/2024 tentang Rumah Sakit Jejaring Pengampuan Pelayanan Kanker, Jantung Dan Pembuluh Darah, Stroke, Uronefrologi, Dan Kesehatan Ibu Dan Anak.
Terlebih lagi, menurut Yono, RSCM bukan hanya rumah sakit milik pemerintah, tetapi juga berperan sebagai rumah sakit pendidikan. Di sana, berbagai tenaga kesehatan—seperti dokter umum, dokter spesialis, perawat, hingga tenaga medis lainnya—menjalani pendidikan dan pelatihan. RSCM juga menjadi rumah sakit pendidikan utama bagi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI).
“Pasal 1 Angka 1 PP 93/2015 menyatakan bahwa Rumah Sakit Pendidikan adalah rumah sakit yang mempunyai fungsi sebagai tempat pendidikan, penelitian, dan pelayanan kesehatan secara terpadu dalam bidang pendidikan kedokteran dan/atau kedokteran gigi, pendidikan berkelanjutan, dan pendidikan kesehatan lainnya secara multiprofesi,” tutur Yono menjabarkan.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id

































