Menuju konten utama

AJI Yogya Kecam Larangan Liput Pemerataan Lahan Bandara Kulon Progo

Larangan meliput adalah bentuk pengekangan kebebasan pers dan pelanggaran terhadap UU Pers Nomor 40 tahun 1999. 

AJI Yogya Kecam Larangan Liput Pemerataan Lahan Bandara Kulon Progo
Pengosongan Lahan Bandara NYIA di Kulonprogo, DIY (4/12/2017). tirto.id/ Riva Rais

tirto.id - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta mengecam pelarangan meliput pengosongan lahan untuk pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport di Kabupaten Kulon Progo pada Kamis (19/7/2018).

Pelarangan itu setidaknya menimpa empat kontributor media nasional di Yogyakarta, yaitu Bambang Muryanto (The Jakarta Post), Abdus Somad (Suara.com), Furqon Ulya Himawan (Media Indonesia), dan Cahyo Purnomo Edi (Merdeka.com).

Dalam keterangan tertulis AJI yang diterima Tirto pada Jumat (20/7/2018), Bambang mengatakan, pelarangan berlangsung ketika sejumlah jurnalis ingin mendekat ke lokasi penggusuran. Di tengah perjalanan, tak jauh dari portal jalan raya di Desa Glagah, empat polisi lalu lintas yang berjaga menyetop mereka.

Meski para jurnalis itu telah memperlihatkan kartu pers dan menjelaskan kedatangan ke lokasi penggusuran, polisi tetap melarang mereka melakukan tugas jurnalistik. Polisi, menurut dia, mengatakan pelarangan itu merupakan perintah PT Angkasa Pura I.

“Alasan mereka sudah banyak jurnalis yang meliput di lokasi,” kata Bambang.

Negosiasi antara polisi dan jurnalis pun berlangsung alot. Alhasil, polisi akhirnya mempersilahkan para jurnalis meliput ke lokasi penggusuran.

Meski berhasil mendekat ke lokasi dan meliput proses penggusuran, Somad mengatakan, sekawanan polisi tak berseragam tak berhenti membuntutinya. Bahkan, ketika ia akan mengambil gambar alat berat yang sedang menghancurkan rumah warga, beberapa di antara mereka sengaja menghalangi lensa kamera.

Menurut Somad, tak semua jurnalis menerima perlakukan seperti itu. Di lokasi penggusuran, ia melihat ada banyak jurnalis yang mayoritas di antaranya mengenakan rompi oranye.

“Ini aneh, kenapa mereka [jurnalis berompi oranye] diberikan kebebasan meliput sedangkan kami justru dihalang-halangi,” katanya.

Sementara, menurut Furqon, seorang polisi bercerita padanya bahwa beberapa saat sebelum penggusuran berlangsung, AP I membagi rompi oranye pada sekelompok jurnalis.

“Hanya jurnalis yang pakai rompi yang boleh mendekat ke lokasi penggusuran,” katanya.

AP I menyelesaikan pengosongan lahan untuk pembangunan NYIA di Temon, Kulon Progo pada Kamis (19/7/2018). AP I bersama TNI dan Polri direncanakan merobohkan 33 rumah warga penolak bandara yang masih bertahan.

"Hingga kini, tercatat ada 68 kepala keluarga yang menolak menjual tanahnya. Bukannya mengendepankan cara dialogis dan manusiawi, PT. Angkasa Pura justru menggunakan cara-cara represif-intimidatif untuk mendapatkan tanah warga," tulis AJI dalam keterangannya.

Ketua AJI Yogyakarta, Anang Zakaria pun mengutuk aksi pelarangan liputan dan perlakuan diskriminatif AP I terhadap wartawan. Menurutnya, lokasi penggusuran adalah ruang publik, sehingga jurnalis berhak melakukan tugas peliputan di wilayah tersebut.

Ia mengatakan, pelarangan jurnalis menjalankan tugas adalah bentuk pengekangan kebebasan pers dan pelanggaran terhadap UU Pers Nomor 40 tahun 1999.

"Penggusuran dan pembangunan adalah isu publik. Satu tugas utama jurnalis adalah alat kontrol sosial dan mengawal kepentingan publik. Maka, sudah sepatutnya isu penggusuran warga Kulon Progo menjadi isu prioritas dalam pemberitaan, khususnya media lokal," tandasnya.

Baca juga artikel terkait PEMBANGUNAN BANDARA KULON PROGO atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Dipna Videlia Putsanra