Menuju konten utama

AJI Menilai Kekerasan Jurnalis Terjadi Karena Ada Pembiaran

Suwarjono berpendapat bahwa selain ada pembiaran, kasus kekerasan terhadap jurnalis juga tidak pernah diusut hingga tuntas.

AJI Menilai Kekerasan Jurnalis Terjadi Karena Ada Pembiaran
(Ilustrasi) Aksi solidaritas untuk para jurnalis. ANTARA FOTO/Ardiansyah

tirto.id - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menilai peningkatan kekerasan terhadap jurnalis dikarenakan adanya pembiaran oleh aparat kepolisian. Menurut Ketua AJI Indonesia Suwarjono, jumlah kekerasan terhadap jurnalis pada 2016 mencapai 78 kasus.

“Tidak ada kasus kekerasan terhadap wartawan yang diusut tuntas. Selain itu, tidak adanya keseriusan mengusut siapa pelakunya untuk kemudian diadili,” ujar Suwarjono di Kantor AJI Indonesia, Jakarta pada Minggu (17/9/2017) siang.

Suwarjono menilai pembiaran tersebut dapat memicu oknum-oknum tertentu dengan mudah mengintimidasi pewarta berita. Lebih lanjut, ia sempat mengeluhkan adanya sejumlah kasus yang malah diselesaikan dengan jalan damai.

“Harusnya namanya pelaku kekerasan dimana-mana ya diproses hukum. Setiap ada kekerasan, bukan pidananya yang diproses. Padahal kalau ada yang sampai dihukum, bisa membuat jera,” kata Suwarjono.

Saat disinggung mengenai pertumbuhan kasus kekerasan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, Suwarjono mengaku khawatir dengan kondisi tersebut.

Sorotan AJI Indonesia pun mengerucut pada jurnalis maupun aktivis yang dipidanakan dengan menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Pada 2016, jumlah kasus UU ITE yang menjerat aktivis dikatakan ada sebanyak 16 peristiwa, meningkat dari 2014 dan 2015 yang masing-masingnya ada sebanyak 6 peristiwa.

“Setiap ada ujaran yang kritis, dipidanakan. Sekarang UU ITE merupakan undang-undang dengan pasal karet. Entah itu menyampaikan pendapat di Twitter, Facebook, bahkan grup percakapan WhatsApp tiba-tiba bisa masuk ke sana,” ungkap Suwarjono.

Kendati mendukung kebebasan berpendapat, Suwarjono mengklaim AJI Indonesia tetap mendukung adanya penegakan hukum terhadap kasus ujaran kebencian (hate speech).

“Standar ujaran kebencian menurut kami adalah ajakan yang memprovokasi dan mengarah pada isu SARA. Itu harus diproses karena jelas tindakan dan ajakan. Tapi kalau sekadar opini, ini jauh dari ujaran kebencian,” ucap Suwarjono lagi.

Sebelumnya, seorang jurnalis cum aktivis Dandhy Dwi Laksono dilaporkan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) Jawa Timur karena tulisan opini di laman Facebook pribadinya.

DPD Repdem Jawa Timur menilai Dandhy telah menghina Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, dan Presiden Joko Widodo karena dianggap telah melakukan perbuatan jahat kepada warga Papua usai memenangi kontestasi Pemilu.

Menanggapi hal itu, Dandhy berharap Megawati dan Presiden Jokowi dapat memberikan reaksi terhadap pelaporan Repdem Jawa Timur tersebut.

“Saya tidak tahu apakah beliau berdua (Megawati dan Presiden Joko Widodo) merasa terwakili oleh laporan Repdem atau tidak. Kalau tidak, kami berharap mereka dapat memberikan tanda yang jelas bahwa ini bukan bagian dari sikap politik mereka,” ujar Dandhy.

Lebih lanjut, Dandhy berpendapat tidak adanya sikap yang jelas dari Ketua Umum PDIP dan Presiden malah membuat publik berspekulasi.

“Ini agak berbahaya. Kita khawatir ini adalah varian baru dalam represi di masa reformasi,” ungkap Dandhy lagi.

Baca juga artikel terkait JURNALIS atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Hukum
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Yandri Daniel Damaledo