tirto.id - Menjelang pembebasan dirinya dari hukuman penjara atas kasus penistaan agama, mantan gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama meminta masyarakat untuk melihatnya sebagai pribadi baru dengan menyebut dirinya BTP. Selama ini, ia akrab dipanggil Ahok, sebuah nama kecil Tionghoa.
Semua berawal dari unggahan dua lembar surat di akun Instagram resmi miliknya @basukibtp pada Kamis (17/1) lalu, bertepatan dengan debat calon presiden dan wakil presiden. Dalam surat berisikan 545 kata tersebut, ia menyampaikan sejumlah pesan kepada para pendukungnya dan masyarakat.
Pertama, ia menyarankan para pendukungnya agar tidak menyambutnya ketika ia dibebaskan pada 24 Januari esok. Kedua, ia meminta agar masyarakat ikut memilih dalam Pemilu legislatif dan presiden pada April mendatang.
Namun, pesan terpanjang yang ia tulis adalah mengenai bagaimana ia mencoba menggambarkan transformasi yang ia jalani untuk menjadi pribadi yang baru selama menjalani masa tahanan. Basuki yang terkenal dengan sikapnya yang keras dan tegas, tanpa tedeng aling-aling dalam setiap perkataannya, mengatakan bahwa ia telah belajar “menguasai diri seumur hidup saya".
Ia juga mengatakan jika ia bisa memutar kembali waktu, ia akan memilih untuk menjalani hidup di penjara dibandingkan “kuasai balai kota hanya untuk 5 tahun lagi”.
“Jika terpilih lagi aku akan semakin arogan dan kasar dan makin menyakiti hati banyak orang,” tulis Basuki. Ia juga meminta maaf kepada masyarakat dan para pendukungnya atas segala kesalahan yang pernah ia perbuat.
Ia kemudian menutup surat dengan menyampaikan permohonan agar orang dapat mengenalnya sebagai BTP, akronim dari nama lengkapnya, bukan sebagai Ahok, ketika ia bebas nanti.
Seperti pernah dilaporkan Tempo, nama panggilan Ahok sendiri berasal dari panggilan akrab ayah Basuki kepadanya yakni Banhok yang merupakan gabungan dari dua kata ‘Ban’ dan ‘Hok’. ‘Ban’ memiliki arti puluhan ribu, sementara ‘Hok’ berarti belajar yang jika digabung berarti puluhan ribu kali belajar.
Basuki sebelumnya telah mengutarakan keinginannya agar masyarakat tidak lagi memanggilnya Ahok sejak Agustus 2018 silam. Keinginan itu tertuang di dalam suratnya yang dibacakan oleh putranya Nicholas Sean Purnama dalam peluncuran buku berjudul “Kebijakan Ahok”, sebuah kumpulan tulisan yang ia garap selama berada di dalam bui.
Dari Stalin hingga Ali
Usaha memperbarui citra diri melalui pengubahan nama seperti yang dilakukan oleh Basuki jelas bukan hal baru. Selebritas hingga tokoh politik pernah melakukannya, seperti Che Guevara dan Katty Perry. Alasannya pun beragam, meski kerap personal.
Katty Perry, misalnya, mengambil nama tersebut untuk menciptakan karakter baru di luar nama asli yang ia miliki, Katheryn Hudson. Ia ingin meninggalkan pribadi lamanya sebagai bentuk pertahanan dirinya atas masa lalu yang tidak ia cintai, demikian ia menyatakannya dalam wawancara khusus dengan Guardian.
Situasi serupa kendati tak persis juga dialami oleh Iosif Djugashvili yang kelak dikenal dengan nama Jospeh (Yosef) Stalin. Melalui tangan dinginnya, diktator Republik Uni Soviet dari tahun 1929 hingga 1953 itu berhasil mengubah Uni Soviet dari negara berbasis cocok tanam menjadi negara industri dan militer yang digdaya.
Menurut Robert Himmer dalam studinya yang berjudul “On the Origin and Significance of the Name ‘Stalin’” (1986) dalam jurnal Russian Review, Joseph pertama kali menggunakan nama alias Stalin ketika ia menandatangani sebuah artikel di koran Rusia.
Nama Stalin didasarkan pada sebuah kata di Rusia (сталь) yang berarti baja. Robert menulis, mengutip dari penulis biografi Stalin, bahwa Djugashvili-Stalin merupakan seorang “manusia baja”. Selain itu, Djugashvili juga ingin menunjukkan kesukaannya kepada Vladimir Lenin, pendiri dan pemimpin dari Bolshevisme.
Himmer mengutip pendapat ilmuwan politik Amerika Serikat Robert C. Tucker ketika mendeskripsikan bahwa melalui nama Stalin yang berima dengan Lenin, Djugashvili ingin menjadikan nama tersebut sebagai sebuah “kompas diri.” Tujuannya? Agar ia tidak tersesat dari ajaran Lenin dalam titik-titik penting di hidupnya.
Alasan Cassius Marcellus Clay Jr., yang kelak mengganti namanya menjadi Muhammad Ali, juga tidak kalah personal. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ia mengubah namanya ketika memeluk agama Islam.
Kendati demikian, bukan ia sendiri yang memilih nama tersebut. Elijah Muhammad, pemimpin gerakan Nation of Islam di AS, yang memberi nama Muhammad Ali kepada Cassius. Seperti dilansir oleh Time, mentor Malcolm X itu pada suatu acara radio mengatakan bahwa nama Clay tidak memiliki arti apa pun.
“Saya berharap dia akan menerima dipanggil dengan nama yang lebih baik. Muhammad Ali adalah nama yang akan saya berikan kepadanya selama dia percaya pada Allah dan mengikuti saya,” sebut Elijah.
Bagi Ali, nama tersebut memang memberi makna baru bagi hidupnya. Ia menyebut keputusan itu merupakan salah satu keputusan terpenting dalam hidupnya.
“[Nama] itu membebaskan saya dari identitas yang diberikan kepada keluarga saya oleh para slavemaster saya,” katanya kepada Thomas Hauser, penulis biografi Ali, masih dari Time.
“Clay, hanya berarti tanah tanpa komposisi yang berarti,” sebutnya dalam sebuah wawancara televisi.
Sejak mengganti namanya itu pulalah Ali menjadi lebih vokal terhadap isu-isu marginalisasi, termasuk ketika ia menolak untuk berpartisipasi dalam perang Vietnam serta menyerukan perlawanan terhadap Islamofobia. Masa kecil Clay memang sarat dengan diskriminasi rasial yang dirasakan oleh orang kulit hitam di AS.
Pada 2001, setelah insiden 9/11, ia mengeluarkan pernyataan lugas.
“Saya marah karena dunia melihat sekelompok pengikut Islam tertentu yang menyebabkan kehancuran ini, namun mereka bukan Muslim sejati. Mereka adalah fanatik rasis yang menyebut diri mereka Muslim, yang mengizinkan pembunuhan ribuan orang ini.”
Editor: Maulida Sri Handayani