tirto.id - Kedatangan Djarot Saiful Hidayat di Masjid Jami Al-Atiq berujung pengusiran. Jumat minggu lalu, di pekan terakhir menjelang hari pencoblosan, Djarot yang mau menunaikan salat Jumat semula disambut secara baik oleh jemaah masjid di daerah Tebet itu. Ia bersalaman bahkan diajak berswafoto bersama para jemaah.
Namun, saat pengurus masjid mengetahui kehadiran Djarot, situasi jadi tegang. Melalui pelantang suara, khatib masjid melontarkan seruan. Isinya, “Bila kita memilih orang non-muslim, sementara ada orang muslim sebagai pilihan, itulah kita mengecapnya seorang munafik.”
Kalimat dari khatib Jumat itu jelas mengandung nada politis. Selama enam bulan terakhir, nada dan pesan politik lewat rumah ibadah di Jakarta semakin kencang dalam pusaran Pilkada DKI Jakarta. Kalimat itu ditujukan kepada sejawat Djarot, Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama, seorang Tionghoa dan beragama Kristen, di mana rujukan identitas rasial dan agama ini dipakai buat mengecam sekaligus sebaliknya mendukung kandidat lawan politik mereka, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.
Selanjutnya, khatib Jumat mengingatkan jemaah: “Mereka yang memilih pemimpin seorang Nasrani atau Yahudi adalah orang munafik.”
Provokasi macam itu punya pengikut dan daya gerak. Usai salat, sejumlah jemaah Jumat menggusah Djarot dengan satu nada teriakan: “Usir, usir, usir... Pergi, pergi.”
Djarot melenggang tak ambil pusing dan bergegas dari masjid Al-Atiq di Jakarta Selatan itu. Ia meneruskan perjalanannya untuk satu agenda menghadiri istigasah di Gelanggang Olahraga Ciracas, Jakarta Timur.
Kepada wartawan, sesudah berita pengusiran itu ramai, Djarot bilang ia memilih salat Jumat di masjid tersebut karena "memang searah" dengan lokasi tujuannya, sekitar 30 menit dengan kendaraan. Dan, tambahnya, sebagai muslim, semestinya ia berhak menjalankan salat Jumat di masjid mana pun.
Pengusiran itu bukan sekali ini saja diterima oleh Djarot.
Bersama Ahok, pasangan ini pernah diusir, ditolak, dan diadang saat kampanye putaran pertama di sejumlah titik daerah Cipinang dan Ciracas, Jakarta Timur, November lalu. Aksi macam itu meneruskan provokasi dari sentimen agama yang menjegal Ahok. (Baca: Ada Pengurus MUI di Balik Aksi Penolakan Ahok di Ciracas)
Meski demikian, aksi penolakan macam itu, dengan merujuk hasil resmi perhitungan KPU, tak berdampak pada perolehan suara kandidat nomor urut dua ini. Mereka mengungguli dua kandidat lain di lokasi penolakan di Ciracas. Dari 11 Tempat Pemungutan Suara di RW 10, Kelurahan Ciracas, Ahok-Djarot unggul di empat TPS.
Djarot agaknya ambil enteng dari kejadian pengusiran terbaru. “Yang lebih keras daripada itu pun saya maafkan, kok. Betul-betul saya maafkan dari dalam hati yang terdalam, tidak ada rasa dendam,” ujarnya.
Meyakinkan Pemilih Muslim
Meski sering mengalami penolakan saat berkampanye, Djarot dan Ahok punya tujuan buat meraih suara muslim pada putaran kedua. Daerah sasarannya adalah Jakarta Timur dan Jakarta Selatan.
Berdasarkan hasil perhitungan KPU putaran pertama, pasangan Anies-Sandiaga unggul di dua wilayah tersebut. Di Jakarta Selatan, mereka meraih suara 46,5 persen, dan meraup 41,7 di di Jakarta Timur. Sebaliknya, berturut-turut, Ahok-Djarot memperoleh 38,7 persen dan 38,8 persen suara. Di luar dua wilayah ini, Ahok-Djarot memenangi suara di empat wilayah lain.
Lantaran kalah suara itu, Tubagus Ace Hasan Syadzily, sekretaris Tim Pemenangan Ahok-Djarot, mengatakan partai koalisi pendukung menugaskan para kader bekerja di kawasan selatan dan timur Jakarta.
“Salah satu insiatif dan penugasan adalah terjun langsung ke dua wilayah, yakni Jakarta Selatan dan Jakarta Timur,” ujarnya saat menghadiri pengajian di kediaman Ketua Dewan Pembina Partai Golkar, Agung Laksono, Kamis (13/4).
Di putaran kedua, Djarot dan Ahok bersama tim suksesnya berbagi tugas.
Untuk Djarot, ia lebih sering menghadiri kegiatan keagamaan. Setidaknya ada empat acara bernuansa keislaman yang dihadiri Djarot. Pada 3 April lalu, Djarot menghadiri peringatan Isra Mikraj dan Istigasah Islam Nusantara di Kalideres, Jakarta Barat.
Kedua, pada Senin, 20 Maret, Djarot menghadiri undangan pengajian warga di Majelis Taklim Annisa, daerah Senen, Jakarta Pusat. Kedatangan Djarot, lagi-lagi, sempat diwarnai penolakan. Sekira sepuluh perempuan mendatangi pengajian itu seraya membawa spanduk penolakan. Meski begitu, kunjungan Djarot buat menghadiri undangan acara keislaman tetap ia lakukan.
Sebelum kejadian itu, pada 11 Maret, Djarot yang datang sebagai tamu undangan juga ditolak dalam sebuah acara yang menyebut dirinya "peringatan haul Soeharto" di Masjid At-Tin. Kedatangan Djarot di acara yang digelar di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur, ini diwarnai aksi lempar botol minuman serta jemaah yang mengejar Djarot.
Bukan tanpa alasan tim sukses Ahok-Djarot meminta sang wakil gubernur buat mendatangi kantong-kantong pemilih muslim. Akibat politisasi surat Al-Maidah yang menerpa Ahok, Djarot—dengan menyandang salah satu identitas sebagai muslim—pada akhirnya tergerak dalam arus kampanye Pilkada Jakarta kali ini yang lebih dominan memakai sentimen agama buat menjegal lawan dan sebaliknya meyakinkan pemilih, betapapun jabatan publik semestinya diukur melampaui sentimen rasial maupun agama.
Karena itulah, di sejumlah acara yang dihadirinya, Djarot kerapkali menegaskan ia dan Ahok selalu pro-Islam dalam hal kebijakan.
Misalnya, Djarot menceritakan sejumlah program kerja yang mendukung umat Islam, seperti "KJP Santri" yang sudah ada tapi minim publikasi media. Ia juga bilang, sejumlah marbut—orang yang menjaga dan mengurus masjid—telah dibiayai naik haji. Termasuk pula ia menegaskan bahwa kepemimpinan petahana telah membangun masjid di beberapa wilayah Jakarta, salah satunya Masjid Raya KH Hasyim Asy'ari di Daan Mogot, Jakarta Barat.
Di sela-sela cerita soal program, Djarot menyisipkan latar belakang dirinya yang "masih mewarisi darah kaum Nahdliyin" kelahiran Blitar, Jawa Timur, basis utama Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia. Buat meraih simpati itu, pada 13 April lalu, Djarot mendatangi kediaman mendiang Abdurrahman Wahid di Ciganjur, Jakarta Selatan. Kunjungan itu dilakukan Djarot sebagai bentuk "silaturahmi sekaligus meminta restu" dari mendiang keluarga Gus Dur.
Kampanye Diam Ahok
Berbeda dari Djarot, Ahok lebih memilih generasi muda atau menargetkan pemilih pemula dalam Pilkada Jakarta.
Dalam beberapa kesempatan, kegiatan kampanye Ahok enggak diekspos media saat mendatangi warga. Pola ini berbeda sama sekali dari putaran pertama ketika saban ada agenda kunjungan, Ahok selalu melibatkan media.
Misalnya, Ahok menghindari peliputan media saat berkampanye di Jatinegara, Jakarta Timur. Tanpa memberitahu wartawan, Ahok meluncur menemui warga. Belakangan, para awak media baru mengetahui kunjungan itu setelah tim sukses Ahok mengunggah siaran langsung via akun Facebook dia.
Bila Djarot lebih sering ditemui di lapangan saat berkampanye, sebaliknya Ahok lebih sering bisa dilihat di ruang media sosial. Tak sekali itu ia menyiarkan secara langsung agenda blusukan. Guna merebut suara generasi milenial, misalnya, Ahok bikin acara "Kepoin Pelayan Jakarta" dan "Ahok Show". Ia juga mengadakan nonton bersama seperti film Kartini dan Bid’ah Cinta.
Di hadapan wartawan, Ahok beralasan bahwa ia enggan memberitahu agendanya buat menghindari rombongan orang yang membuntutinya. “Kalau terlalu ramai, saya susah jalan dan ketemu orang juga susah,” katanya saat ia datang ke Pulogadung, Jakarta Timur (10/3).
Penulis: Chusnul Chotimah
Editor: Fahri Salam