Menuju konten utama

Saling Mengunci antara Ahok-Djarot dan Anies-Sandiaga

Sejumlah lembaga survei yang dianggap kredibel memberi kemenangan putaran kedua Pilkada DKI tak lebih dari 3 persen.

Saling Mengunci antara Ahok-Djarot dan Anies-Sandiaga
Djarot Saiful Hidayat dan Anies Baswedan berbincang saat jeda Debat Publik Pilkada DKI Putaran Kedua di Hotel Bidakara, Jakarta. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Setidaknya ada enam lembaga survei yang merilis hasil riset mereka mengenai Pilkada DKI Jakarta putaran kedua menjelang masa tenang. Hasilnya lima lembaga memberi selisih angka pada kedua kandidat hingga tiga persen. Hanya LSI Denny JA yang paling kontras: Anies Baswedan-Sandiaga Uno merebut tingkat keterpilihan dari para responden dengan suara 51,4 persen, adapun untuk Ahok-Djarot cuma mendapatkan 42,7 persen.

Lima lembaga survei lain adalah Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), PoliticaWave, Charta Politika, Indikator, dan Median. Keenam lembaga survei politik ini terdaftar di Komisi Pemilihan Umum.

Dari keenamnya, hanya ada tiga lembaga yang menyertakan dokumen pelengkap hasil riset di situsweb mereka: Charta Politika, SMRC, dan Median. Buat menghindari survei ini menyetir para pemilih, kami memilih tiga lembaga survei yang hasil risetnya memuat data lengkap. Tujuannya, memberi sudut pandang bagaimana memahami hasil survei.

Sepanjang 10 April - 15 April, dari ketiga lembaga survei itu, kebanyakan merilis hasil risetnya dengan menonjolkan elektabilitas alias tingkat keterpilihan sebagai hasil akhir. Padahal, dalam survei mereka, banyak indikator yang diukur, mulai visi-misi, rekam jejak, hingga program yang ditawarkan. Namun, dari sejumlah indikasi yang ditanyakan, hanya elektabilitaslah yang dimunculkan dalam hasil survei.

Marjin Kesalahan dan Tingkat Kepercayaan

“Seandainya pemilihan langsung Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta dilaksanakan sekarang ini, siapa yang akan Ibu atau Bapak pilih di antara dua pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur berikut?”

Pertanyaan ini paling sering muncul dalam setiap riset lembaga survei, baik pemilihan kepala daerah maupun pemilihan presiden. Tak terkecuali tiga lembaga survei tersebut. Hanya Median yang memunculkan pertanyaan seperti: Pada pemilihan putaran kedua nanti, pasangan mana yang akan Anda pilih menjadi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta?”

Betapapun demikian, jenis-jenis pertanyaan ini mengunci jawaban pemilih. Pertanyaan itu juga tak bisa dijadikan sebagai pedoman tunggal. Meski hasilnya bisa saja dipakai buat memengaruhi calon pemilih. Perlu diingat pula: banyak faktor buat menyatakan sikap ketika seorang elektorat datang ke Tempat Pemungutan Suara.

Lantaran ada segi kekurangan itu, setiap hasil lembaga survei menyimpan batas kesalahan alias margin Of error. Makin besar batas kesalahannya, semakin sulit suatu sampel mewakili data populasi yang sesungguhnya. Sebaliknya, makin kecil, semakin dekat validitas data.

SMRC, dalam hasil surveinya dengan metode acak bertingkat, punya marjin eror 4,7 persen dari 446 responden yang berhasil diwawancarai. Median memiliki batas kesalahan 4,2 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen dari total 550 responden. Adapun Charta Politika punya marjin kesalahan 3,5 persen dari total 782 responden yang digunakan dari 1.000 responden di lima wilayah DKI Jakarta.

Dua Kandidat dalam Angka

Hasil ketiga lembaga survei itu mengunggulkan Anies-Sandiaga ketimbang Ahok-Djarot dengan selisih antara 1 hingga 3,5 persen. Dari hasil survei ini, kita diajak buat percaya bahwa selisih kemenangan Pilkada DKI tak lebih dari 4 persen.

Ketiga lembaga survei itu memakai sejumlah variabel. Misalnya, saat debat putaran kedua pada 12 April lalu, survei Median menghasilkan Ahok-Djarot dianggap lebih unggul oleh responden (33,7 persen) ketimbang Anies-Sandiaga (30,9 persen).

Pada survei SMRC, kedua pasangan dinilai adu kuat pada putaran kedua. Di antara ukurannya adalah pengaruh debat di televisi maupun kualitas personal para kandidat. Kesimpulan dari hasil riset SMRC, 76 persen responden mengaku puas dengan kinerja Ahok selama menjabat gubernur. Selain itu, debat di acara 'Mata Najwa' pada 27 Maret mengerek elektabilitas Ahok karena dianggap mampu mengungguli Anies.

Adapun hasil survei Charta Politika menjaring suara responden lewat lima ukuran: kinerja Ahok-Djarot ketika menjabat, popularitas kedua kandidat, tingkat kemantapan pemilih, visi-misi, dan pilihan kedua kandidat berdasarkan partai.

Hasilnya, 71,9 persen responden mengaku sangat puas dengan pemerintahan Ahok-Djarot, popularitas Ahok paling tinggi (93,9 persen), diikuti oleh Djarot (89,4 persen), Anies (89,0 peren), dan Sandiaga (86,6 persen). Namun, pada tingkat penilaian calon gubernur, Anies jauh mengungguli Ahok dengan asumsi sebagai sosok anti-korupsi, berwibawa, bisa dipercaya, menyenangkan, ramah dan hangat, serta pintar dan tegas.

Apa musababnya?

Yunarto Wijaya, direktur eksekutif Charta Politika, menyebut ada sejumlah faktor, antara lain karakter Ahok yang kontroversial dan aspek primordial yakni perbedaan agama.

“Itu dimanfaatkan oleh Anies-Sandiaga yang, dalam beberapa variabel, dikatakan ramah dan santun, serta faktor agama yang sama,” ujarnya di hari peluncuran hasil survei, Sabtu (15/4).

INFOGRAFIK HL Pilkada 2

Hasil Survei buat Langkah Strategis Kampanye

Baik Ahok-Djarot maupun Anies-Sandiaga punya sisi lemah dalam laga Pilkada Jakarta. Dari hasil perhitungan resmi KPU, Ahok-Djarot menang di empat wilayah Jakarta. Sebaliknya Anies-Sandiaga unggul di selatan dan timur Jakarta. Keduanya, dalam kampanye putaran kedua, membenahi sisi lemah itu dengan mengerahkan relawan hingga kader partai buat memperkuatnya.

Tim sukses Ahok-Djarot, misalnya, berbagi tugas dengan mengamanatkan Djarot melakukan kampanye ke kantong-kantong daerah kemenangan Anies-Sandiaga dengan tujuan lain merebut suara pemilih muslim, ceruk elektorat Agus-Sylviana.

Adapun Anies-Sandiaga banyak berkampanye ke kawasan barat dan utara Jakarta, termasuk ke pemilih dan komunitas berbasis ikatan daerah. Anies misalnya datang ke Pekalongan dan Tegal pada akhir Maret lalu buat menjumpai warga di sana yang banyak pergi dan tinggal di Jakarta.

Merujuk hasil survei Charta Politika, sebanyak 54,5 persen responden di Jakarta Barat mendukung Ahok-Djarot dan 40,3 persen mendukung Anies-Sandiaga. Di Jakarta Utara, ada 57,3 persen mendukung Ahok-Djarot dan 32,5 persen ke Anies-Sandiaga. Sebanyak 49,5 persen responden di Jakarta Barat memilih Ahok-Djarot dan sebaliknya 39,2 persen memilih Anies-Sandiaga. Di Jakarta Selatan, sebanyak 36,3 persen mendukung Ahok-Djarot dan 59,9 persen memilih Anies-Sandiaga. Selebihnya, di Jakarta Timur, 46,7 persen memilih Ahok-Djarot dan 45,3 persen ke Anies-Sandiaga.

Bila membandingkan hasil survei itu dengan hasil rekapitulasi KPU di putaran pertama, terlihat upaya Anies-Sandiaga tidak berjalan efektif dalam merebut basis massa Ahok-Djarot. Pasangan Ahok-Djarot tetap mengungguli Anies-Sandiaga. Sebaliknya, di wilayah Jakarta Timur, keduanya berbagi angka tipis.

“Ini yang menjadi faktor utama yang menaikkan elektabilitas Ahok-Djarot ketika kita melihat dari sebaran wilayah,” kata Yunarto Wijaya.

Direktur Indikator Burhanudin Muhtadi mengatakan ada "perubahan signifikan" dari elektabilitas kedua calon di wilayah Jakarta Timur. Di wilayah itu, menurutnya, pasanga Ahok-Djarot lebih bisa melakukan penetrasi buat merebut basis massa Anies-Sandiaga ketimbang usaha sebaliknya Anies-Sandiaga di wilayah basis elektorat Ahok-Djarot.

“Itu karena bergabungnya PKB dan PPP ke barisan Ahok-Djarot dan dukungan GP Ansor serta sejumlah kiai NU untuk pasangan ini. Basis mereka di sana, terutama PKB tadi, 40 persen kader mendukung Ahok-Djarot,” kata Burhanudin di kantor Indikator, Cikini, Jakarta Pusat, 15 April lalu.

Ia menjelaskan bahwa peta elektabilitas kedua kandidat tidak bisa lepas dari karakteristik sebaran wilayah di DKI Jakarta. Menurutnya, Jakarta Selatan akan tetap menjadi wilayah basis pemilih Anies-Sandiaga karena dari sejarahnya selalu menjadi basis suara PKS, partai pengusung Anies-Sandiaga.

“Tahun 2004, Jakarta Selatan menyumbang suara PKS paling banyak. Tahun 1955, Masyumi juga menang di sana,” katanya. Ini berbeda dari Jakarta Barat yang sejak lama memang disebutnya sebagai "melting pot" etnis di Jakarta. Sehingga karakteristik pemilihnya lebih cenderung terbuka dan objektif.

Baca juga artikel terkait PILKADA DKI JAKARTA 2017 atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Politik
Reporter: Arbi Sumandoyo & M. Ahsan Ridhoi
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam