Menuju konten utama

Agar Sekolah Rakyat Berjalan Tanpa Meminggirkan Kelompok Rentan

Sekolah Rakyat dibangun dengan mengedepankan asas inklusivitas terhadap akses pendidikan. Seharusnya tak mengurangi hak kelompok rentan.

Agar Sekolah Rakyat Berjalan Tanpa Meminggirkan Kelompok Rentan
Fasilitas ruang belajar di Sekolah Rakyat, Sonosewu, Bantul, Yogyakarta. (FOTO/Istimewa)

tirto.id - Sempat ramai kabar, Sekolah Rakyat di Sentra Wyata Guna, Bandung, Jawa Barat, mesti mengambil alih dua gedung Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) A Pajajaran. Gedung C dan D punya SLBN A Pajajaran itu dibongkar untuk dialihfungsikan menjadi Sekolah Rakyat. Media sosial juga sempat diramaikan video yang menampilkan keluhan dari para guru, orang tua, hingga murid SLBN 4 Pajajaran atas proses renovasi tersebut.

Diberitakan Kompas pada Mei 2025 lalu, gedung SLBN 4 Pajajaran yang dibongkar, mulanya memiliki sembilan ruang kelas. Gedung C dan D menampung sekitar 70-80 dari total 111 siswa, mulai dari jenjang TK, SD, SMP, dan siswa dengan disabilitas ganda.

Sebagian siswa direlokasi ke SLB Cicendo demi melanjutkan kegiatan belajar. Sementara sekitar 30-an siswa masih belajar di SLB Negeri A Pajajaran. Imbas pembangunan Sekolah Rakyat membuat ruang kelas di SLBN 4 Pajajaran menjadi berkurang.

Namun, teranyar, Kementerian Sosial (Kemensos) memastikan operasional Sekolah Rakyat di Sentra Wyata Guna tidak akan menggusur aktivitas SLBN A Pajajaran yang lebih dulu berdiri di sana. Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 9 Kota Bandung itu, disebut akan berdampingan dengan keberadaan SLBN.

Hal ini disampaikan Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial (Kemensos), Supomo. Ia menyatakan kegiatan pembelajaran di kedua sekolah masing-masing tetap berjalan normal.

Supomo meyakini kehadiran SRMP 9 Kota Bandung di Sentra Wyata Guna tak mengurangi kenyamanan para pelajar SLBN A Pajajaran dalam menjalani aktivitas pendidikan.

"Gedung Sekolah Rakyat menggunakan bangunan terpisah. Bahkan saat ini lebih nyaman karena sudah selesai renovasi," kata Supomo dalam keterangannya, Rabu (16/7/2025).

Pelaksana Harian Kepala Sekolah SLBN A Pajajaran, Rian Ahmad Gumilar, juga disebut menyambut positif keberadaan Sekolah Rakyat. Rian menyebut bahwa ia memastikan kehadiran Sekolah Rakyat tidak mengganggu pembelajaran di SLBN A Pajajaran.

Rian justru berharap kedua sekolah bisa terlibat dalam kolaborasi yang positif sekaligus mendorong terciptanya lingkungan pendidikan yang inklusif. Dengan begitu, Sekolah Rakyat dan SLB bisa saling memperkuat untuk mewujudkan pendidikan yang ramah, inklusif, serta membentuk karakter positif generasi penerus bangsa.

Saat ini, SLBN A Pajajaran menggelar Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang diikuti 114 murid, termasuk 26 peserta didik baru dari TK, SDLB, dan SMPLB.

"Mudah-mudahan ke depan tercipta lingkungan inklusif. Anak-anak Sekolah Rakyat bisa mengenal dan memahami teman-teman berkebutuhan khusus, dan kami pun bisa beradaptasi dengan keberadaan mereka," kata Rian dalam keterangannya, Rabu (16/7/2025).

SLBN 4 Pajajaran sebelumnya dikenal sebagai Bandoengsche Blinden Instituut dan menjadi sekolah luar biasa perintis dan tertua di Asia Tenggara untuk siswa tunanetra. Sekolah ini didirikan pada tahun 1901, jauh sebelum Indonesia merdeka.

Jangan Meminggirkan Kelompok Rentan Lain

Keberadaan Sekolah Rakyat yang mengakomodasi siswa dari kelompok miskin dan miskin ekstrem terancam putus sekolah merupakan terobosan pemerintah yang patut dinanti. Program ini diharapkan menjadi langkah progresif yang mampu membuka lebar akses pendidikan bagi seluruh anak Indonesia.

Namun, sejumlah pengamat pendidikan mendorong agar Sekolah Rakyat jangan sampai dijalankan dengan meminggirkan kelompok rentan seperti siswa difabel.

Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, melihat kebijakan Sekolah Rakyat merupakan salah satu program unggulan Presiden Prabowo Subianto yang didanai dengan dana besar, sehingga pelaksanaannya perlu betul-betul tepat. Maka, adanya Sekolah Rakyat yang membuat SLBN mengurangi jumlah kelasnya, menjadi catatan khusus yang perlu menjadi bahan evaluasi.

Sehingga, apabila Sekolah Rakyat dibangun untuk menjadi sekolah yang mengedepankan asas inklusivitas terhadap akses pendidikan bagi anak dari kelompok ekonomi miskin, hal itu perlu dioperasikan tanpa mengurangi hak dari kelompok rentan lain.

“Kebijakan inklusi adalah kebijakan yang mengakomodir semua kelompok dari berbagai macam latar belakang sosial dengan hak yang sama, punya akses yang sama, punya kesempatan yang sama untuk terlibat berproses dalam pendidikan,” ucap Rakhmat kepada wartawan Tirto, Kamis (17/7/2025).

Dengan begitu, pendidikan bisa berjalan sesuai dengan mandat konstitusi yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 31. Ditegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Terlebih, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Menurut Rakhmat, alih fungsi gedung kelas milik SLBN 4 Pajajaran menjadi Sekolah Rakyat mencederai prinsip inklusi. Pasalnya, meskipun gedung direnovasi dan siswa SLBN kembali ke sekolah asal usai proses pembangunan, langkah tersebut sudah menunjukkan tindakan diskriminatif kepada siswa difabel.

Jumlah SLB Negeri di Jabar terus bertambah

Seorang siswa penyandang tuna rungu menggunakan bahasa isyarat saat belajar di SLB Negeri Sejahtera, Kota Bogor, Jawa Barat, Senin (17/7/2023).ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/foc.

Idealnya, kata Rakhmat, dengan kucuran dana besar sebagai program unggulan negara, tak sulit bagi Sekolah Rakyat membangun gedung baru di lokasi berbeda tanpa mengorbankan aktivitas belajar siswa SLBN.

Menurut Rakhmat, ini akan menjadi preseden buruk yang berisiko terhadap kelompok siswa difabel. Negara seakan-akan bisa memindahkan kelompok rentan hanya untuk menjalankan program unggulan. Sehingga harapannya, kejadian di Bandung tak berulang di tempat lain.

“Menurut saya justru menjadikan bahwa ini bagian daripada penyingkiran atau bagian dari marginalisasi kelompok-kelompok rentan. Ini menurut saya harus secara kritis disampaikan kepada negara,” tegas Rakhmat.

Sementara itu, Kepala Bidang Advokasi dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri, menilai pengurangan kelas di SLBN 4 Pajajaran imbas pembangunan Sekolah Rakyat bukan merupakan langkah yang tepat dalam menciptakan pendidikan yang inklusif. Sehingga tujuan Sekolah Rakyat menciptakan sekolah untuk menyelamatkan siswa miskin putus pendidikan, menjadi paradoks dalam pelaksanaannya.

Tidak bisa suatu sistem pendidikan yang inklusif meniadakan ataupun menggeser kelompok rentan lainnya. Dalam konteks ini, cita-cita Sekolah Rakyat akan sulit tercapai bila kejadian seperti di Bandung tidak dievaluasi secara kritis.

“Seharusnya dua-duanya dibantu bukan saling meniadakan satu sama lain,” ucap Iman kepada wartawan Tirto, Kamis (17/7/2025).

Sekolah Rakyat di Kupang beroperasi

Sejumlah siswa sekolah rakyat antre saat sarapan bersama pada hari pertama pengoperasian Sekolah Rakyat Menengah Pertama 19 Kupang di Sentra Efata, Naibonat, Kabupaten Kupang, NTT, Senin (14/7/2025). ANTARA FOTO/Fauzan/rwa.

Padahal, sistem pendidikan saat ini juga sudah berupaya mengedepankan prinsip inklusivitas bagi semua kelompok siswa. Hal itu tercermin dari banyaknya jalur dalam penerimaan murid baru atau SPMB, termasuk dengan mengakomodir kuota khusus bagi anak-anak difabel.

Karena itu, kata Iman, konsep Sekolah Rakyat jadi membingungkan karena justru membuat siswa miskin dikumpulkan dalam lingkungan yang homogen. Hal ini dikhawatirkan semakin membuat siswa menjadi terkotak-kotak dan sulit beradaptasi dalam kehidupan nyata.

Namun, hal itu dapat diatasi apabila siswa dibekali kemampuan atau peminatan yang dapat membantu mereka mengasah kemampuan. Dengan modal kemampuan itu, diharapkan agar siswa mampu bersaing dan beradaptasi dalam lingkungan yang sudah pasti tidak seragam.

“Bagaimana mereka bisa naik kelas sosial jika tidak dibiarkan beradaptasi dengan siswa dari latar belakang berbeda,” ucap Iman.

Senada dengan Iman, Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti mengingatkan agar pelaksanaan Sekolah Rakyat jangan sampai meminggirkan hak dari anak-anak difabel. Retno menilai saat ini saja jumlah SLB masih tidak mencukupi, yang berdampak banyaknya anak berkebutuhan khusus tidak mendapatkan akses pendidikan.

MPLS di sekolah luar biasa Jakarta

Guru bernyanyi bersama siswa saat mengikuti kegiatan masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS) di SLB Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Jakarta, Senin (14/7/2025). ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/rwa.

Padahal, UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dalam berbagai Pasal sudah menegaskan hak kesetaraan dalam akses pendidikan dan layanan sosial. Seperti di Pasal 10 yang menegaskan pendidikan berkualitas bagi penyandang disabilitas pada semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan secara inklusif dan/atau khusus.

Termasuk dalam Pasal 5 dan 42 yang menekankan hak akomodasi yang wajar, seperti penyesuaian kurikulum, metode pengajaran, media pembelajaran, hingga evaluasi sesuai dengan jenis disabilitasnya. Sementara Pasal 4 menegaskan penyandang disabilitas berhak mendapatkan perlakuan yang setara tanpa diskriminasi dalam mengakses pendidikan.

“Jadi kalau kemudian [SLB] ini tergusur [Sekolah Rakyat], itu semakin mengurangi jumlah yang sudah sangat sedikit. Dan ini bentuk ketidakadilan terhadap anak-anak disabilitas. Tentu anak-anak yang berkebutuhan khusus atau disabilitas ini kan warga negara juga,” terang Retno kepada wartawan Tirto, Kamis (17/7/2025).

Dengan begitu, niat baik pemerintah menjalankan Sekolah Rakyat tetap perlu dibarengi prinsip kesetaraan bagi semua siswa dari berbagai latar belakang ekonomi dan sosial. Hanya dengan begitu, tidak tercipta marginalisasi dan ketimpangan baru bagi kelompok rentan.

Baca juga artikel terkait SEKOLAH RAKYAT atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News Plus
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Farida Susanty