Menuju konten utama

Agar Presisi Tak Sekadar Jargon Kosong, Polri Harus Apa?

Tantangan Polri dalam mewujudkan kinerja yang presisi adalah kultur di dalam tubuh institusi kepolisian sendiri.

Agar Presisi Tak Sekadar Jargon Kosong, Polri Harus Apa?
Personel Satlantas Polres Bogor membantu warga menyebrang di Jalan Raya Tegar Beriman, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (29/3/2024). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/tom.

tirto.id - Kepercayaan publik terhadap institusi Polri tidak terbangun semata oleh penegakan hukum yang tepat sasaran dan transparan. Ia berkaitan juga dengan bagaimana polisi menjaga integritas dan profesionalisme dalam setiap tindak tanduknya. Oleh karena itu, berbagai laku polisi yang justru mengundang kritik publik belakangan ini justru mencerminkan bahwa slogan “Presisi” besutan Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, masih jauh dari terwujud.

Polri sebagai pilar utama keamanan dan penegakan hukum idealnya menjadi institusi yang bebas dari noda konflik kepentingan, terutama yang melibatkan anggota keluarga. Namun, kasus-kasus yang mencuat belakangan justru memperlihatkan betapa sulitnya memisahkan kepentingan pribadi dan profesional di tubuh kepolisian.

Terbaru, seorang wanita bernama Syifa mencuat dalam kasus penembakan bos rental mobil di Tangerang. Syifa diduga merupakan istri perwira polisi yang terkait dalam kasus tersebut.

Ada tiga terdakwa di kasus ini, yakni Kelasi Kepala (KLK) Bambang Apri Atmojo, Sersan Satu Akbar Adli, dan Sersan Satu Rafsin Hermawan. Nama Syifa mencuat lewat keterangan Bambang dalam sidang lanjutan kelima atas kasus tersebut.

Mengetahui keterangan itu, anak korban penembakan, Rizky Agam Syahputra, mendesak Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri untuk mencari tahu sosok Syifa. Rizky mempertanyakan keterlibatan Syifa yang disebut “Ibu Bhayangkari” itu dalam dugaan bisnis penggelapan mobil yang berkaitan dengan para terdakwa.

“Yang saya mau tanyakan, apa betul seseorang yang diduga bhayangkari itu terlibat dalam bisnis haram?” kata Rizky di Pengadilan Militer II-08 Jakarta, Cakung, Jakarta Timur, Senin (3/3/2025) lalu.

Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, menilai bahwa keterangan terdakwa Bambang perihal sosok Syifa yang disebut sebagai istri perwira Polri itu masih sumir. Hal ini sebaiknya diperdalam oleh oditur militer dan penyidik polisi militer ketimbang diurus lebih dulu oleh Propam Polri.

Pasalnya, kata Sugeng, belum ada indikasi kuat bahwa sosok Syifa merupakan istri anggota polisi dan terkait dengan aktivitas bisnis penggelapan mobil rental. Oleh karena itu, Sugeng menyarankan agar sosok itu dihadirkan dalam persidangan militer untuk dikonfrontasi dengan para terdakwa.

“Apabila keberadaan dia jelas dan oleh pihak terdakwa namanya disebut dan diperiksa di persidangan militer. Propam tidak bisa bergerak untuk meminta keterangan dan keberadaan Ibu Syifa [karena] hanya disebut indikasi dan lebih jelas kalau diperiksa oleh polisi militer,” ucap Sugeng kepada wartawan Tirto, Selasa (4/3/2025).

Belakangan, beberapa kasus yang melibatkan anggota keluarga personel Polri memang menjadi sorotan publik. Salah satunya, sebut Sugeng, adalah perkara flexing yang dilakukan anak dari Kapolda Kalimantan Selatan, Rosyanto Yudha Hermawan.

Anak yang bernama Ghazyendha Aditya Pratama itu sempat menjadi buah bibir warganet karena postingan-postingan sosial media pribadinya. Rosyanto sendiri terkena imbasnya sebab dikritik warganet telah menyelenggarakan perayaan ulang tahun mewah di tengah pemangkasan anggaran kementerian/lembaga (K/L).

“[Flexing] Itu tindakan-tindakan bodoh yang sangat fatal akibatnya. Melalui media sosial, menampilkan kehidupan yang mewah di tengah situasi masyarakat yang sangat menderita dan sangat sulit, ini ketidakpekaan. Tapi, tidak serta-merta Kapolda jadi bisa diperiksa,” ujar Sugeng.

Peneliti bidang kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menilai dalam kasus ‘Ibu Bhayangkari’, jika sosok Syifa tersebut bukan peronel Polri, memanggil Propam bukanlah langkah tepat. Namun, penyidik polisi bisa memanggilnya untuk dimintai keterangan.

Hal itu berguna untuk membuktikan indikasi keterlibatan anggota keluarga polisi dalam sindikat pencurian mobil rental ataupun tindak pidana lain.

“Atau sebaliknya, dia tidak tersangkut apa pun. Kepolisian bisa menjelaskan pada publik agar tidak memunculkan asumsi yang merugikan kepolisian,” ucap Bambang kepada wartawan Tirto, Selasa.

Menurut Bambang, Korps Bhayangkara tengah menjadi sorotan publik menyusul kasus-kasus yang berkaitan dengan tindak tanduk anggotanya. Profesionalisme anggota Polri akan selalu menjadi sorotan bila tidak menjalankan tupoksi dengan profesional sesuai kewenangannya.

Penyalahgunaan kewenangan dan pelanggaran hukum yang dilakukan polisi adalah salah satu faktor yang membuat publik tidak percaya pada aparat penegak hukum. Ketidakpercayaan pada penegak hukum adalah salah satu faktor yang bisa mengeroposkan sendi-sendi negara.

Hal itu pun diperparah dengan sikap institusi Polri yang tidak segera melakukan proses pidana bagi personel yang terbukti melakukan tindak pidana.

“Pemerasan, penipuan, dan kekerasan pada warga negara adalah tindak pidana. Tanpa ada proses pidana yang terbuka, sulit rasanya penegakan hukum dilakukan sudah secara benar dan adil,” ucap Bambang.

Polri Jangan Pandang Bulu

Tantangan dalam mewujudkan kenerja Polri yang presisi adalah kultur di dalam tubuh Polri sendiri. Selama ini, solidaritas Korps Bhayangkara sering melampaui batas profesionalitas. Loyalitas kepada anggota seakan lebih diutamakan daripada komitmen pada hukum.

Hal itu harus dipatahkan. Pasalnya, Polri adalah garda depan hukum yang seharusnya berdiri di atas kepentingan publik.

Bambang mengingatkan bahwa ada asas equality before the law. Namun, sayangnya asas itu saat ini seolah tak berlaku bagi kepolisian. Sidang KKEP sebagai mekanisme memproses anggota yang bermasalah kerap mengindikasikan seolah sidang etik internal itu lebih tinggi dibanding peradilan umum yang sudah diamanatkan TAP MPR.

“Hal ini mengonfirmasi bahwa problem personel sudah menjadi problem institusi,” terang Bambang.

Penyalahgunaan kewenangan adalah salah satu efek dari nilai-nilai moral yang berlaku di banyak anggota kepolisian. Fenomena tersebut dilatarbelakangi nilai-nilai materialistik yang salah satunya diperlihatkan lewat gaya hidup hedon.

Bambang mengingatkan bahwa tabiat itu tentu saja berkebalikan dengan nilai yang dianut masyarakat umum. Apalagi, pelaksanaan tugas pokok polisi dalam melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat serta menegakan hukum, masih jauh dari harapan.

Maka wajar publik merasa kesal dengan anggota keluarga personel polisi atau anggota Korps Bhayangkara yang pamer gaya hidup mewah. Pasalnya, publik sudah memberikan gaji bagi anggota kepolisian lewat pajak atau PNBP agar mereka bertugas sesuai mandat UU Polri.

“Jadi, wajar bila kemudian berasumsi pendapatan untuk hedon berasal dari jual-belikan kewenangan. Ironisnya, kepolisian tidak pernah bisa menjawab dari sumber mana biaya hedon anggotanya itu berasal,” ucap Bambang.

Sementara itu, Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) RI, Chairul Anam, menilai Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, sudah melakukan terobosan agar Korps Bhayangkara bisa dengan leluasa dikritik dan diawasi masyarakat. Misalnya, dengan membuka pelaporan daring ke Divisi Propam di seluruh daerah jika ada anggota polisi yang melanggar aturan.

Upaya lainnya, Kapolri memerintahkan jajarannya agar setiap polisi yang berulah diproses secara hukum dan etik. Menurut Anam, upaya ini menunjukan keseriusan Listyo dalam upaya pembenahan institusi.

“Aksi yang tidak tinggal diam ini adalah langkah yang positif,” kata Anam.

Reformasi kepolisian hanya bisa terlaksana jika Polri berhasil mengembalikan kepercayaan publik. Upaya itu dilakukan dengan kesediaan Polri membuka diri terhadap kritik dan perbaikan sistemik. Kapolri harus menyadari bahwa integritas bukan sekadar citra yang bisa dibangun dengan kampanye atau slogan semata.

Hal itu hanya dapat terwujud lewat ketegasan menindak anggota sendiri, transparansi dalam proses hukum, serta keberanian untuk tunduk pada mekanisme pengawasan publik yang lebih luas.

Baca juga artikel terkait POLRI atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi