Menuju konten utama

Adu Kuat Go Food Lawan Foodpanda

Bagi saya yang pemalas tak ada yang lebih menyebalkan daripada bergerak. Bersatunya teknologi dan kemudahan transportasi melahirkan sistem pesan antar. Entah makanan entah barang. Go Food dan Foodpanda dalam hal ini bersaing untuk memuaskan isi perut pelanggan. Bagaimana persaingan dua lini bisnis ini?

Adu Kuat Go Food Lawan Foodpanda
Ilustrasi Foodpanda vs Go-Food. [Grafis/TF Subarkah/Foto/Shutterstock]

tirto.id - Layanan pesan antar makanan kerap jadi penyelamat ketika tengah malam tiba dan Anda belum makan. Layanan ini memungkinkan Anda untuk mendapatkan makanan hangat tanpa keluar rumah. Di Indonesia ada beberapa pilihan layanan pesan antar. Salah satu yang konvensional adalah layanan pesan antar dari perusahaan atau rumah makan terkait, seperti McDonald's atau yang lain. Untuk yang menginginkan beragam makanan, ada Foodpanda dan Go Food yang bisa menyediakannya untuk Anda.

Dengan meningkatnya pengguna ponsel, bonus demografi, dan naiknya kelas menengah di Indonesia, potensi layanan antar makanan ini akan semakin moncer. Bergairahnya e-commerce membuat persaingan semakin hebat. Go Food dan Foodpanda bisa jadi pembanding bagaimana bisnis ini punya potensi yang sangat besar.

Foodpanda tahun ini menginjak usia keempat dan telah menjadi rekanan 1.000 rumah makan, di 40 kota terbesar di dunia. Foodpanda didirikan di Singapura pada 2012, dan sempat mengalami pasang surut. Tanggal 12 Maret 2015, mereka berhasil mendapatkan investasi dana sebesar 110 juta dolar atau sekitar Rp1,4 triliun untuk pengembangan bisnisnya.

Indonesia merupakan salah satu dari 13 negara yang disasar Foodpanda sebagai ladang bisnis. Jumlah penduduk yang tinggi, berkembangnya teknologi informasi, dan meluasnya jaringan internet di Indonesia membuat negara ini pasar yang menggiurkan.

Pada wawancara bersama Daily Social Id tahun lalu, Marketing Manager Foodpanda Indonesia Seliyanthi Rahmat mengaku, selama setahun terakhir terus berupaya mengedukasi masyarakat tentang pemanfaatan teknologi informasi untuk berbelanja secara online. Ini sesuai visi Foodpanda yang ingin menjadi onestop solution bagi mereka yang ingin memesan makanan secara online.

Sebagai terobosoan dan pioner pada mulanya, Foodpanda tidak sekadar menggandeng rumah makan besar, tetapi juga pedagang makanan kaki lima yang memiliki penggemar militan. Saat ini, Foodpanda telah berkembang dari wilayah Jabodetabek ke kota besar Indonesia lainnya seperti Bandung, area Bali, Surabaya, Medan, dan Makassar.

Setelah Foodpanda, hadir Go Food sebagai kompetitor. Bedanya, Go Food hanya sekadar jasa penjemputan makanan. Sementara Foodpanda memang fokus pada kualitas kemasan makanan yang dipesan, mulai dari kotak makanan yang diantar, jenis makanan yang dipesan misalnya panas atau dingin, agar tetap bisa dinikmati secara optimal oleh pelanggan. Itu yang membedakan Foodpanda dengan layanan pesan antar makanan yang lain.

Berbeda dengan Go Food yang tidak peduli dengan jarak tempuh pemesanan makanan. Foodpanda secara khusus mempertimbangkan jarak pengantaran maksimal sejauh lima kilometer. Ini dilakukan untuk menjaga kualitas. Agar makanan yang dipesan tidak dingin ketika sampai ke pelanggan atau berantakan. Dengan mempertimbangkan jarak tersebut, maka pelanggan juga tak perlu menunggu terlalu lama untuk menikmati makanan mereka.

Go Food sejauh ini belum memberikan promo layanan diskon makanan dengan fasilitas perbankan yang ada. Sementara Foodpanda sejak tahun lalu telah memberikan promosi yang bervariasi, mulai dari potongan harga makanan dan diskon paket makanan. Misalnya untuk pengguna kartu kredit bank tertentu pengguna dapat diskon hingga 50 persen. Diskon ini terbukti menaikkan angka pesanan makanan dan membuat penjual makanan menikmati keuntungan berganda.

Pihak Foodpanda pada Daily Social Id, membeberkan rahasia tentang demografi pengguna Foodpanda di Indonesia. Jika pada awalnya pengguna Foodpanda adalah ekspatriat, kini 80 persen penggunanya lokal. Dari sisi gender, kebanyakan layanan ini dimanfaatkan oleh perempuan ketimbang laki-laki, sedangkan mayoritas pengguna berada di rentang 19-35 tahun. Sayangnya kesuksesan di Indonesia ini tidak sejalan dengan kondisi Foodpanda di India dan Hong Kong yang mesti angkat koper.

Sejauh ini kondisi keuangan Foodpanda internasional memang sedang kembang kempis. Seperti yang dikutip dari IdTechAsia, Foodpanda mencatat EBITDA (pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi) negatif senilai 116 juta dolar (sekitar Rp1,5 triliun) pada 2015 dan kas perusahaan senilai 97,5 juta dolar (sekitar Rp1,2 triliun). Sehingga mereka harus mampu meningkatkan margin jika ingin tetap bertahan tanpa menggalang pendanaan yang baru.

Dari laporan keuangan Foodpanda yang dirilis oleh Rocket Internet, ada beberapa hal yang bisa diketahui. Ada peningkatan biaya yang dikeluarkan oleh Foodpanda yang terlihat dari meningkatnya nilai EBITDA. EBITDA minius berarti, pendapatan tidak mampu menutupi biaya yang dikeluarkan. Ketika EBITDA minus, maka perusahaan akan cenderung merugi. Hal ini juga terlihat dari nilai Laba/Rugi Foodpanda yang negatif selama 2014-2015.

Hal ini mengindikasikan, jika Foodpanda tidak menerima suntikan dana lagi, maka perusahaan ini harus mampu meningkatkan margin secara drastis. Meningkatkan margin dapat dilakukan melalui penghematan, antara lain meniadakan diskon/promosi yang sifatnya meningkatkan biaya, mengurangi jumlah pekerja, dan menutup pasar yang tidak berkembang.

Go-Jek sendiri dengan Go Food bukannya tanpa potensi sama sekali. Perusahaan ini memiliki sekitar 200.000 orang pengemudi ojek yang tersebar di banyak kota besar di Indonesia. Dengan jumlah pengendara sebanyak itu pasar Go Food sebenarnya sangat bisa dikembangkan. Sayang sampai hari ini Go Jek masih berfokus pada pengembangan layanan jasa antar manusia. Padahal merujuk pada sebuah data yang dilansir oleh Tech in Asia persentase pertumbuhan pemesanan layanan Go-Jek masih sangat tinggi meski mengalami penurunan pada tahun ini.

Pada Januari 2016, Go-Jek mencatatkan rata-rata 340.000 pemesanan per hari. Angka pesanan harian terus menunjukkan tren positif. Setidaknya kepada kepada Tech in Asia, Go-Jek mengatakan bahwa jumlah pemesanan layanan mereka pada kuartal II-2016 mengalami peningkatan 60 persen. Meski tidak dijelaskan peningkatan ini dibandingkan dengan kinerja pada kuartal berapa, yang jelas pada Juni 2016 Go-Jek berhasil mencatatkan total lebih dari 20 juta booking atau artinya sekitar 667.000 pemesanan per hari.

Meski tidak disebutkan secara jelas berapa persentase pemesanan Go Food pada data tersebut, tetapi potensi Go Food bisa sangat besar. Dengan ongkos kirim terakhir Rp9.000 per pesanan, Go Food kerap menjadi pilihan karena potensi pesanan yang tak terbatas. Seorang pengguna layanan Go-Jek bisa memesan makanan yang tak ada di menu dengan metode pesan beli barang. Sehingga kemungkinan Go Food sebagai layanan jasa antar nyaris tak terbatas.

Proyeksi potensi Go Food bisa dibuat melalui perhitungan kasar. Apabila rata-rata pemesanan per hari Go-jek (seluruh layanan) 667.000 dan diasumsikan Go Food hanya 30% dari jumlah pemesanan, maka:

Jumlah pemesanan Go Food per hari: 30% x 667.000 = 200.000 pesanan per hari Jika biaya rata-rata per pemesanan adalah Rp9.000 (harga partner), maka pendapatan kotor dari Go Food per hari adalah: 200.000 x Rp9.000 = Rp1,8 miliar/hari. Harap diingat, ini adalah angka yang diterima pengemudi Go Food, bukan yang masuk ke kas Go-Jek. Go-Jek sendiri malah masih mengeluarkan uang untuk mensubsidi pengemudinya.

Dengan perhitungan yang masih minus tersebut, sejatinya kondisi Go Food sama dengan Foodpanda yang masih berjuang mencari keuntungan. Untuk mendapatkan pasar yang besar ini, baik Go Food maupun Foodpanda masih harus sama-sama berjuang.

Baca juga artikel terkait FOODPANDA atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Bisnis
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti