tirto.id - Dalam pembangunan dan upaya transisi menuju energi bersih, Indonesia seringkali menghadapi kondisi simalakama. Dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak yang mati. Sebab kondisinya: seringkali pembangunan dan juga industri yang mendorong roda ekonomi bekerja dengan cara yang merusak lingkungan. Kondisi ini seakan menjadi “harga mati”, seolah pembangunan dan industri tidak bisa berdampingan dengan energi bersih yang ramah lingkungan.
Namun sejak lima tahun terakhir, World Resource Institute (WRI), World Wide Fund for Nature (WWF), dan HSBC, berkolaborasi untuk membuat inisiasi bernama Climate Solutions Partnership (CSP). Inisiasi filantropik ini dianggap menjadi “jalan tengah” bagi Indonesia, negara yang masih dalam tahap memerlukan banyak pembangunan, tapi sekaligus ingin melakukan transisi ke energi bersih dan terbarukan serta berkomitmen ikut serta dalam target net zero carbon pada 2050.
Pada Kamis, 12 Juni 2025, WRI, WWF, dan HSBC menggelar acara bertajuk "From Insight to Impact: Embedding Energy Transition into Indonesia's Future" yang menjadi momen refleksi sekaligus perayaan atas inisiatif CSP.
Selama lima tahun, CSP telah membuktikan bahwa transisi energi bukan sekadar wacana. Ia hadir dalam bentuk solusi konkret: mulai dari pendampingan teknis ke sektor industri, penyusunan strategi dekarbonisasi, hingga mendorong kebijakan yang berpihak pada masa depan hijau. Acara ini juga menjabarkan bagaimana penerapan CSP bisa beriringan dengan industri, mulai dari tekstil hingga hotel, pengolahan bandara hingga kawasan industri hijau seperti Rebana, Jawa Barat.
CSP menunjukkan bahwa pembangunan, industri, dan transisi energi bersih tidak selalu harus berseberangan, melainkan berpotensi untuk bisa saling melengkapi dalam praktiknya.
CSP dan Bagaimana Ia Bermula
Sebagai sebuah inisiasi yang dimulai sejak lima tahun silam, bisa dibilang CSP bergerak dalam “sunyi” dan jauh dari lampu sorot. Bahkan seorang tamu undangan dari salah satu Kementerian berkelakar dia tak pernah mendengar inisiasi ini.
Sedikit ironis, mengingat CSP yang sudah dijalankan selama lima tahun ini adalah program yang cukup ambisius dalam melakukan transformasi energi, dan sejak awal memang fokus di kawasan Asia, seperti di Cina, India, Vietnam, Bangladesh dan tentu saja: Indonesia. Negara-negara di Asia ini menyumbang lebih 35 persen konsumsi energi global.
Selain itu, sejak awal mula, penggerak CSP sadar bahwa inisiasi ini harus dijalankan lintas sektor: NGO, kampus, pelaku sektor industri, dan pemerintah. Dalam konteks pemerintah, CSP sudah menggandeng pihak seperti PLN ataupun Angkasa Pura dalam pengurangan emisi.
“Jadi, Climate Solutions Partnership adalah program filantropis lima tahun antara HSBC, WRI, WWF, dan beberapa partner lokal,” ujar Francois de Maricourt, President Director HSBC Indonesia.
Menurut Francois, CSP adalah program yang dibangun berdasarkan pengetahuan finansial dari HSBC, serta pengetahuan teknis dari WRI dan WWF. CSP juga punya fokus pada sektor industri di Asia, terutama di Indonesia, untuk melakukan dekarbonisasi dan berpindah ke transisi ke net zero.
Kenapa CSP fokus ke sektor industri?
Arief Wijaya, Managing Director WRI Indonesia, menjelaskan bahwa sekitar 34 persen emisi gas rumah kaca di Indonesia berasal dari sektor industri. Tapi sektor ini juga penyumbang utama ekonomi nasional—menopang 19 persen dari PDB.
Karena itu, menurutnya, dekarbonisasi industri adalah jalan tengah menuju pertumbuhan ekonomi sekaligus penurunan emisi. Pendekatannya bukan hanya teknis, tetapi juga strategis. CSP, lanjut Arief, melibatkan kementerian, universitas, lembaga riset, hingga pelaku usaha, memastikan bahwa solusi yang ditawarkan tidak hanya relevan, tetapi juga aplikatif dan menarik untuk dikerjakan.
“Hanya dari sektor manufaktur saja, kontribusinya itu sekitar 19% dari total PDB nasional. Artinya industri punya peran yang sangat strategis dalam upaya pemerintah untuk menurunkan emisi. Karena di sini terbentuk sistem produksi dan pola konsumsi kita ke depan,” ujar Arief.
Lima Tahun Penuh Tantangan
Transisi energi tidak bisa dilakukan sendiri. Itu sebabnya, CSP juga menaruh perhatian besar pada pembentukan ekosistem untuk energi bersih dan terbarukan ini. Aditya Bayunanda, CEO WWF Indonesia, menyebut ada tiga tantangan utama industri dalam bertransisi: keterbatasan teknologi, minimnya kapasitas teknis, dan masalah pembiayaan.
Untuk menjawabnya, CSP menawarkan skema green energy as a service (GEAS), yakni model bisnis inovatif di mana perusahaan tidak hanya menyediakan listrik dari energi terbarukan, tetapi juga layanan terkait lainnya. Program ini juga turut serta mengembangkan model pembiayaan berbasis performa yang melibatkan energy service company (ESCO).
“Skema ini memungkinkan industri mengadopsi teknologi tanpa perlu biaya awal yang memberatkan,” jelas Aditya.
Di sisi lain, CSP juga menjalin kerja sama erat dengan Kementerian ESDM dalam menyusun tata kelola biomassa berkelanjutan. Biomassa menjadi sumber energi panas—yang menyumbang 80 persen kebutuhan energi industri—namun penggunaannya harus hati-hati agar tidak menghasilkan emisi baru. Di sinilah pentingnya standardisasi dan verifikasi sumber yang bertanggung jawab.
Menariknya, upaya transisi energi ini ternyata juga disambut oleh sektor industri, dalam hal ini diwakilkan oleh Kamar Dagang dan Industri (KADIN). Transisi energi yang sekilas dirasa “merepotkan” dan memerlukan banyak penyesuaian, ternyata bisa menjadi peluang. Ini tak lepas dari pasar global yang memang sudah mulai mensyaratkan penggunaan energi bersih dan terbarukan dalam produksi barang, serta meningkatnya demand terhadap produk-produk ramah lingkungan.
Di sisi pelaku industri, transisi energi kini dilihat bukan sebagai beban, tapi sebagai peluang strategis. “Kami di KADIN menyambut baik CSP karena transisi ini bukan lagi sekadar wacana, tapi menjadi kunci daya saing,” ujar Anthony Utomo, Ketua Komite Tetap Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi KADIN Indonesia.
Menurut Anthony, banyak perusahaan anggota KADIN telah mendapat manfaat langsung dari CSP—mulai dari penyusunan strategi net zero hingga pelatihan teknis. “Yang penting dari CSP adalah inklusivitasnya. Program ini tak hanya menyasar industri besar, tapi juga skala menengah dan kecil,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa permintaan pasar global kini menuntut praktik hijau.
Tak bisa dipungkiri, mengajak transisi energi di kalangan industri ini penuh tantangan. Nuni Sutyoko, Head of Corporate Sustainability HSBC Indonesia, menyebut bahwa industry players, juga berbagai stakeholders, itu membutuhkan sebuah bukti nyata yang terlihat di lapangan. Jadi tidak sekadar angka dan statistik.
“Selain itu, kita juga perlu mengembangkan bisnis para pelaku industri ini. We need to grow low carbon business and also kita juga melihat, menyadari, bahwa dibutuhkan financial opportunities, financial mechanism, dan juga financial innovation,” ujar Nuni.
Keluar dari Lumbung
Menghadapi aneka tantangan, baik sejak lima tahun lalu hingga menuju target net zero Indonesia di 2050, Arief menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor. Ini artinya, para pemangku kebijakan, pelaku industri, juga akademisi, harus mau keluar dari lumbung (silo) masing-masing, dan mengerjakan PR ini secara bersama-sama
“Karena kita tahu bahwa masalah perubahan iklim, pertumbuhan ekonomi, ini tidak bisa kemudian diselesaikan secara silo pada satu sektor tertentu,” ujarnya.
Dalam diskusi panel, narasumber dari beberapa stakeholder menyambut baik adanya CSP dan juga upaya transisi ke energi bersih dan terbarukan. Mereka juga setuju bahwa pada dasarnya, kolaborasi untuk energi bersih itu pada dasarnya tak terelakkan lagi.
Beberapa stakeholder juga turut menggandeng WRI untuk menyusun berbagai kebijakan dekarbonisasi di sektor industri agar bisa sejalan.
“Kami memang sedang menyusun roadmap di industrial decarbonisation, kebetulan dibantu juga oleh WRI, untuk memenuhi berbagai target dekarbonisasi. Jadi roadmap ini nanti akan jadi acuan bagi industri apa yang harus mereka lakukan dan juga memberikan referensi aksi mitigasi seperti apa yang mereka bisa lakukan. Tentunya juga sekaligus kebutuhan investasinya. Nah, ini juga ada kaitannya dengan berbagai kebijakan kami berikutnya,” tutur Apit Pria Nugraha, Kepala Pusat Industri Hijau Kementerian Perindustrian.
Dari kacamata pelaku industri, green energy ini memang bisa jadi peluang, seperti yang disebutkan oleh Anthony. Menurutnya, sudah ada ratusan perusahaan yang menangkap peluang ini, dan tergabung dalam inisiasi CSP. Anthony menyebut beberapa nama seperti Pan Brothers, Samator, Adidas, dan banyak perusahaan tekstil hingga perhotelan.
“Ada perusahaan karena CSP, mereka jadi punya daya saing yang lebih baik. Karena persaingan kita itu tidak hanya dengan sesama pelaku usaha atau industri di Indonesia, tapi juga dengan pelaku usaha global. Nah dengan CSP ini, Indonesia memiliki chance competitiveness yang lebih baik karena kita punya framework yang tergabung di dalam rantai pasoknya mereka,” kata Anthony.
Perwakilan dari Kementerian Perdagangan dan PLN yang hadir dalam acara ini turut menekankan pentingnya ekosistem kebijakan dan infrastruktur untuk mendukung transisi. Di antaranya adalah pengembangan roadmap dekarbonisasi industri, kebijakan energi hijau, hingga penyediaan green supergrid oleh PLN.
Dari sisi pembiayaan, CSP membuka akses kepada skema-skema inovatif, termasuk potensi pembiayaan dari bank pembangunan multilateral seperti World Bank dan ADB. HSBC sebagai institusi keuangan pun siap mengakselerasi pembiayaan hijau, selama ada kesiapan dari sisi industri dan kebijakan.
Acara lima tahun CSP bukanlah garis akhir atau selebrasi belaka. Bahkan, bisa dibilang peringatan lima tahun CSP ini adalah titik mula dari kerja panjang. Sebuah pengingat bahwa dengan kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, sektor swasta, lembaga keuangan, akademisi, dan masyarakat umum, perubahan besar bisa perlahan dicapai.
Karena perkara transisi energi serta lingkungan adalah urusan semua orang. Dan dalam perjalanan ini, tidak boleh ada yang tertinggal.
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis