tirto.id - Sejak akhir 2017, permukiman dan lahan pendapatan warga yang terkena proyek bandara baru Yogyakarta di Kulon Progo sudah dibongkar paksa oleh pihak PT Angkasa Pura I. Legitimasi yang dipakai Angkasa Pura I memakai alasan "kepentingan umum", sebagaimana alasan yang sama untuk banyak proyek infrastruktur pemerintahan Joko Widodo yang lain.
Teknisnya, operator proyek dianggap "menyelesaikan" urusan konflik lahan setelah membayar ganti rugi lewat mekanisme konsinyasi. Mekanisme ini telah ditetapkan melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2016, yang memuat keterangan proses kompensasi. Caranya, pemerintah menitipkan uang ganti rugi ke pengadilan negeri.
Di Kulon Progo, mekanisme itu memaksa warga bersedia menerima kepentingan proyek. Urusan korban gusuran mengambil atau tidak uang ganti rugi tersebut dianggap bukan masalah bagi pemerintah.
Mekanisme macam itulah yang digenjot pemerintahan Jokowi melalui Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas, yang dibentuk pada 2014 untuk memuluskan proyek-proyek infrastruktur.
“Masalah tanah ini masih menjadi persoalan yang besar dan dapat menghambat pembangunan infrastruktur. Untuk itu perlu ada arahan dan kesepakatan agar para hakim, baik pengadilan negeri maupun tinggi, cukup confidence untuk menyelesaikan masalah konsinyasi sesuai peraturan yang ada,” kata ketua tim pelaksana Komite Wahyu Utomo.
Pembangunan infrastruktur memang jadi konsentrasi pemerintahan Jokowi. Tapi banyak proyek ini berujung konflik agraria. Beberapa di antaranya pembangunan jalan non tol Kuala Namu, PLTA Waduk Cirata, Pembangkit Listrik Panas Bumi Daratei Mataloko, Perluasan Bandara Sultan Hasanuddin, Bandara Dominique Edward Osok, Bandara Kertajati, dan lain-lain.
Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria, ada 659 kasus terkait konflik lahan pada 2017. Padahal penyelesaian konflik agraria menjadi salah satu agenda reforma agraria yang dijanjikan Jokowi.
Empat Tahun Tersendat-sendat
Meski jadi agenda utama pemerintahannya, Jokowi belum mengeluarkan kebijakan progresif terkait reforma agraria selama empat tahun terakhir. Satu-satunya program yang diklaim sebagai keberhasilan reforma agraria adalah pembagian sertifikat tanah atau legalisasi aset, mirip program proyek operasi nasional agraria pada era pemerintahan Soeharto.
Pada 2018, Jokowi sudah memberikan sertifikasi 3,9 juta hektare tanah. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan pada 2017 sebanyak 5,4 juta ha. Legalisasi ini yang kerap digembar-gemborkan oleh pemerintah sebagai bentuk keberpihakan terhadap rakyat. Padahal ini bukanlah agenda utama dari reforma agraria.
Hal itu diakui oleh Usep Setiawan, tenaga ahli utama di Kantor Staf Presiden. Meski demikian, menurutnya, sertifikasi tanah tetap dibutuhkan untuk menghindari sengketa dan konflik tanah.
“Kami mendengar kritik terhadap hal ini. Untuk itu, yang perlu dipercepat selanjutnya adalah redistribusi tanah. Reforma agraria itu untuk mengatasi ketimpangan agraria yang membutuhkan luasnya kegiatan redistribusi tanah objek reforma agraria,” kata Usep kepada Tirto.
Catatan Konsorsium Pembaruan Agraria, selama 2014 hingga 2017, belum banyak tanah yang diredistribusi kepada rakyat. Misalnya, target redistribusi tanah 0,4 juta hektare atas tanah terlantar dan eks-HGU baru tercapai 188,295 ha. Sedangkan redistribusi tanah dari pelepasan hutan baru ditargetkan 4,1 juta hektar, tapi tidak satu hektare pun yang tercapai.
Data Konsorsium ini berkebalikan dengan klaim pemerintah yang menyebutkan reforma agraria sudah mencapai 9,4 juta bidang tanah dan 2 juta ha perhutanan sosial. Data ini dirilis oleh Kantor Staf Presiden bertepatan pada empat tahun pemerintahan Jokowi pada Oktober ini.
Selain itu, penyelesaian konflik agraria pada tahun keempat Jokowi masih jauh panggang dari api: Ada 2.368 konflik agraria dan baru 480 kasus yang selesai, menurut data kementerian agraria dan tata ruang/badan pertanahan nasional pada 2018.
“KSP hampir setiap hari menerima pengaduan konflik dan sengketa tanah. Kami menganalisisnya, merundingkan penyelesaiannya di luar mekanisme pengadilan. Pendekatan mediasi kami kedepankan. Banyak kasus tertangani dan beberapa selesai. Memang banyak yang belum selesai,” ujar Usep.
Harapan pada Perpres 86/2018
Pada September 2018, Jokowi baru mengeluarkan peraturan tentang reforma agraria.
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria Iwan Nurdin mengatakan Perpres ini sudah dinantikan lama sebagai bagian dari janji Nawacita. Namun, realisasinya sangat terlambat karena di pengujung masa jabatannya.
“Kami menyambut baik Perpres ini meski memang harus terus dikawal sampai implementasi, jalannya tetap masih panjang,” kata Iwan kepada Tirto.
Beberapa poin progresif dari perpres adalah memperjelas objek tanah redistribusi dan penyelesaian konflik. Redistribusi tanah nantinya bukan hanya untuk kepentingan pertanian tapi juga untuk pemukiman dan usaha lain.
Tanah yang bisa diredistribusi salah satunya mencakup tanah swapraja. Dalam konteks Yogyakarta, tanah swapraja yang selama ini diklaim sebagai mulik Kesultanan dan Pakualaman bisa menjadi tanah yang diredistribusi untuk warga.
Sedangkan untuk penyelesaian konflik, perpres memandatkan melalui jalur mediasi yang akan dilakukan oleh gugus tugas. Yang disebut terakhir ini melibatkan para kepala daerah. Meski begitu, problem konflik agraria yang berlarut-larut justru karena minim iktikad politik pemerintahan daerahnya sendiri.
“Ini tantangannya," ujar Iwan. "Kami harus mendorong para kepala daerah, gubernur dan bupati, agar bekerja lebih lagi, apalagi ini soal kemauan politik."
Meski ada sisi progresifnya, beberapa poin perpres menimbulkan pertanyaan. Misalnya soal PNS, TNI, polisi yang menjadi subjek penerima redistribusi tanah. Perpres juga tidak memasukkan hak masyarakat adat.
Usep Setiawan dari Kantor Staf Presiden mengatakan PNS, TNI, dan polisi adalah bagian dari upaya untuk menjawab kemiskinan pegawai dan personel berpangkat paling rendah. Mereka nanti berpeluang menerima tanah objek reforma agraria untuk pembangunan rumah dan tempat usaha.
“Akan diatur lebih teknis mengenai mekanisme dan tata cara distribusi tanah non-pertanian melalui peraturan menteri. Jangan khawatir, kami buatkan rambu-rambunya,” katanya.
Sementara soal tidak masuknya masyarakat adat menurut Iwan Nurdin justru mempermudah subjek masyarakat adat dengan membahasakannya secara mudah.
“Jika menggunakan terma masyarakat adat di saat peraturan teknis tentang pengakuan dan perlindungan belum memudahkan, tentu akan mempersulit subjek masyarakat adat. Sebab, di saat yang sama subjek lain hanya membutuhkan KTP, kartu keluarga dan penetapan. Justru masyarakat adat harus mempunyai syarat lain yang memberatkan seperti perda dan permendagri,” jelas Iwan.
“Tahun 2018-2019 ini adalah fase pembentukan kelembagaan, pemantapan regulasi, lalu langsung identifikasi, verifikasi, dan validasi tanah objek reforma agraria,” kata Usep.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam