tirto.id - Diakui atau tidak, suka atau tidak, sebelum nama Jokowi menyeruak ke kancah politik, Indonesia banyak diisi oleh politikus yang tua dan membosankan, atau setidaknya tampak begitu.
Susilo Bambang Yudhoyono hadir dengan gestur kebapakan yang justru malah membuatnya terasa berjarak. Dia kerap dinilai kaku, amat menjaga citra, dan penuh unggah-ungguh, hingga pernah membuat seorang bocah SD tertidur saat mendengar pidatonya. Begitu pula Megawati yang nada bicaranya tidak luwes sama sekali serta punya aura keningratan yang sukar dihilangkan.
Sementara Habibie punya gestur teknokrat yang membuat banyak orang merasa sungkan. Setelah dia membuat buku otobiografi yang lantas difilmkan, baru kemudian ada semacam aura kehangatan yang menjalarinya dan membuat banyak anak muda menjadikannya role model.
Dari tampuk kursi presiden, rasa-rasanya hanya Abdurrahman Wahid yang jauh dari kata kaku, membosankan, birokratis.
Di luar presiden, banyak orang Indonesia sejak dulu disuguhi gaya politikus seperti, misalkan, Fadli Zon yang bahkan di masa mudanya sudah menampakkan gaya menyebalkan dan elitis dengan mengkritik musik metal serta membandingkannya dengan musik klasik. Atau ada pula Andy Mallarangeng tampak mbois dan elegan, sekaligus jelas membedakannya dari rakyat jelata.
Hingga kemudian Jokowi hadir dan kulo nuwun sebagai politikus.
Segala kekakuan politik, dia dobrak. Sejak menjabat sebagai Wali Kota Solo, Jokowi sudah menarik perhatian dengan gayanya yang luwes dan santai. Dia enggan terjebak kekakuan birokrasi. Dia enggan tampil berjarak. Dia mau blusukan, terma yang kemudian populer ketika media mulai mengendus keharuman nama Jokowi di Solo.
Lantas Jokowi makin tajam, karier politiknya makin menanjak. Jadi gubernur Jakarta hingga jadi presiden. Gayanya pun makin khas dan terasa mengambil ceruk khusus: anak muda. Berkali-kali Jokowi menunjukkan gestur dan perilaku yang menunjukkan diri sebagai politikus yang dekat dengan anak muda.
Gestur paling awal: musik. Ketika di Solo, Jokowi rutin mengunjungi festival musik Rock in Solo. Dia nonton nyaris tanpa pengawalan, memakai kaos band metal, juga celana jeans. Di media, namanya disanjung banyak penggemar musik metal karena kerap menyebutkan band-band favoritnya: Judas Priest, Led Zeppelin, Deep Purple, hingga Slayer.
Sebenarnya bukan selera musik metal dan band-band itu yang membuat Jokowi disanjung. Melainkan karena publik nyaris tidak pernah melihat ada pejabat Indonesia, apalagi setingkat wali kota, yang mengaku suka musik metal: genre yang identik dengan anak muda dan pemberontakan.
Sebelum Jokowi datang, nyaris nihil politikus yang membawa musik ke ranah percakapan politik. Padahal politik adalah gurun pasir yang gersang dan panas, sedangkan musik adalah sumber mata air. Tentu saja kita tak akan pernah melupakan SBY yang terang-terangan menampakkan diri sebagai pecinta musik lewat lima album musik yang dibuat ketika menjabat jadi presiden. Namun, mendengar lagu ciptaannya, tampaknya tak banyak jarak yang dipangkas antara dia dan anak muda.
Kondisi ini jauh berbeda dari, katakanlah, Amerika Serikat. Negara adidaya ini pernah punya presiden yang amat dekat dengan musik: Barack Obama.
Presiden kulit hitam pertama dalam sejarah AS ini pernah menyitir sekaligus menyanyikan potongan lirik dari Al Green. Dia menyanyikan lagu Aretha Franklin ketika berada di kampung halaman sang Ratu Soul. Tampil bersama Jimmy Fallon dan The Roots. Menangis ketika menonton Aretha. Tepuk tangan sambil berdiri ketika menonton Hearts menyanyikan “Stairway to Heaven”.
Obama juga tak segan membagikan playlist musiknya. Dia sering memberitahu media apa saja musik dalam iPod-nya. Kemudian, dia juga melakukan salah satu langkah paling brilian yang pernah dilakukan politikus manapun: membuat playlist musim panas via Spotify.
Musik, musim panas, Spotify. Apa yang lebih anak muda ketimbang itu semua?
Obama bahkan dipuji karena selera musiknya tak seperti yang dibayangkan orang tentang musik kesukaan politisi. Ini sekaligus memberitahu dunia bahwa Obama punya cakrawala musik yang luas. Semacam memberi penegasan: seorang presiden paling berkuasa di dunia hendaknya tak hanya wajib punya wawasan politik yang luas, tapi juga selera musik yang oke.
Di luar nama-nama klasik motown dan soul seperti Marvin Gaye, Al Green, atau Aretha; atau nama-nama klasik di jagat rock macam The Rolling Stones, Beach Boys, hingga Bruce Springsteen, Obama juga mendengarkan Sara Bareiles, Jay Z, Damian Marley, hingga nama-nama anyar macam Kendrick Lamar, DJ Khaled, hingga Camila Cabello.
Apa yang dilakukan Obama bisa dibilang adalah hal baru di AS sana, sama seperti yang dilakukan Jokowi di Indonesia. Dua-duanya menghadirkan kebaruan, sifat dan nilai-nilai anak muda. Kehadiran mereka, lengkap dengan gaya cool dan santai, membuat politik tak lagi membosankan bagi anak muda, membuat politik tak hanya jadi obrolan orang tua. Baik Obama dan Jokowi menjelma jadi paman yang menyenangkan.
Maka, tak heran jika para Milenial AS amat menyukai Obama. Dalam studi yang dilakukan Pew Research pada 2016 silam, approval rating dari para Milenial mencapai 73 persen ketika Obama dilantik pada 2009. Ketika hendak menyudahi jabatan presiden kali kedua, 2016 silam, approval rating dari para Milenial memang turun, yakni 63 persen. Angka itu jauh lebih tinggi ketimbang approval rating yang diberikan oleh generasi X (50 persen), Boomer (43 persen), atau Silent (37 persen).
“Selama setahun belakangan, rating Obama di kalangan Milenial telah meningkat, sedangkan rating di kalangan generasi lebih tua (terutama Boomers dan Silents) sedikit berubah,” tulis Samanta Smith dari Pew.
Bagaimana dengan Jokowi?
Jelang setahun masa jabatannya berakhir, Jokowi makin lekat dengan citra anak muda. Dia senang bikin Vlog, pun amat aktif di media sosial. Dia main adu panco dengan anak bungsunya. Tampil kasual dengan jaket denim dan sneakers—bahkan turut menjadikannya tren di kalangan politikus, minum kopi susu kesukaan anak muda Jakarta, dan tetap mengunjungi pelbagai konser dan festival: dari We the Fest hingga Synchronize Festival.
Jokowi juga tak segan-segan mengendarai motor custom. Bahkan di pembukaan Asian Games 2018, dia membintangi iklan menaiki motor sport, lengkap dengan atraksi motor melompat ke udara—diperankan stuntman.
Apa yang dilakukan oleh Jokowi untuk memikat anak muda, turut dilakukan oleh para menteri. Yang paling kentara tentu saja koalisi menteri yang membentuk Elek Yo Band. Dalam pagelaran Java Jazz 2017, band yang beranggotakan Basuki Hadimuljono hingga Sri Mulyani ini mendapat aplaus meriah dari para penonton. Meski penampilannya tak selalu bagus (Jokowi meledek band ini "jelek karena jarang latihan, kerja melulu"), bisa dibilang ini adalah langkah asyik untuk mendekatkan politikus dengan anak muda.
Pertanyannya: apakah yang dilakukan Jokowi ini kemudian bisa memengaruhi anak-anak muda Indonesia untuk memilihnya di Pemilu 2019?
Ini tentu penting, sebab pemilih muda usia 17 hingga 35 tahun akan mencapai 79 juta orang, atau sekitar 42 persen dari total pemilih.
Wasisto Raharjo Jati, peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menilai gaya Jokowi yang dekat dengan anak muda akan membawa pengaruh elektoral.
“Gaya kasual Jokowi yang santai dan tidak berjarak cenderung disukai kalangan anak muda yang lekat dengan informalitas dan egalitarian,” ujar Wasis.
Hal senada pernah diungkap oleh Saiful Mujani Research Center. Pada 2017 silam, SMRC melakukan survei di 34 provinsi dengan melibatkan 1.059 responden. Para pemilih muda banyak memilih Jokowi ketimbang rivalnya Prabowo Subianto.
Dari 4,7 persen responden di bawah 21 tahun, 45 persennya memilih Jokowi, dan 29 persen lain memilih Prabowo. Sedangkan dari 5,2 persen responden usia 22-25 tahun, 40 persen memilih Jokowi, dan 18 persen Prabowo. Sedangkan 33,9 persen pemilih 26-40 tahun, 58 persen memilih Jokowi dan 19 persen pilih Prabowo.
Survei LSI Denny JA juga menampakkan hasil serupa. Dari hasil survei yang dirilis pada Agustus 2018, sekitar 50,8 persen pemilih muda usia 17-39 tahun Jokowi-Ma’ruf, sedangkan Prabowo-Sandi meraup 31,8 persen.
Apakah itu cukup bagi Jokowi untuk menang landai, setidaknya di kalangan pemilih muda?
Tentu saja tidak. Jokowi masih punya banyak pekerjaan rumah, terutama untuk terus menjaga para pemilih muda untuk tetap menyukainya.
Apalagi Jokowi sempat dinilai melakukan “blunder” karena memilih Ma’ruf Amin sebagai wakilnya. Di luar segala kalkulasi politik, dipilihnya Ma’ruf yang sudah berusia 75 tahun menjauhkan Jokowi dari para pemilih muda. Apalagi, blunder ini dilanjutkan oleh banyak klarifikasi yang memaksakan bahwa Ma’ruf Amin adalah Milenial, bukan dari umur, melainkan dari sikapnya.
Secara program, Jokowi dianggap belum mengakomodasi kepentingan anak muda. Meski banyak mendorong anak muda untuk menekuni dunia wirausaha, termasuk memotong Pph jadi sebesar 0,5 persen, segala program Jokowi untuk anak muda jelas kalah gaung dengan kebijakan di sektor “serius”, mulai dari agraria, infrastruktur, hingga pertambangan.
Dalam survei yang dilakukan oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS) pada 2017, anak-anak muda di Indonesia mengalami kesulitan perkara terbatasnya lapangan pekerjaan. Tingginya harga sembako juga menjadi masalah bagi anak-anak muda. Belum lagi bicara pungli di kantor pemerintah, rendahnya daya beli, hingga pelayanan dan biaya kesehatan yang mahal.
Wasis juga memberi catatan bahwa anak-anak muda ini adalah pemilih yang bisa dibilang labil secara sosial dan politik. Suara mereka, ujar Wasis, bisa berubah 180 derajat bila terjadi persekusi dan alienasi. Wasis memberi contoh konkret: aneka macam pembubaran diskusi.
“Dengan kata lain, politik identitas menjadi momok bagi mereka,” kata Wasis.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Fahri Salam