tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan bahwa salah satu dari sepuluh orang yang terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Senin (3/11/2025), adalah Gubernur Riau, Abdul Wahid. Kepastian ini disampaikan langsung oleh Wakil Ketua KPK, Fitroh Rohcahyanto.
“Salah satunya [Gubernur Riau],” ujarnya saat dikonfirmasi pada hari yang sama.
Hingga Selasa (4/11/2025) malam, belum ada informasi lebih lanjut terkait status hukum Abdul Wahid. Meski demikian, politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu telah tiba di Gedung KPK, Jakarta, pada Selasa pagi setelah diamankan dalam operasi tangkap tangan di Riau.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyebut ada sembilan orang lain yang turut dibawa ke Gedung KPK hari itu. Mereka tiba dalam dua kloter, pagi dan siang hari.
“Jadi selain pihak-pihak yang diamankan, ada juga sejumlah uang sebagai barang bukti yang diamankan dalam kegiatan tangkap tangan,” katanya pada Selasa (4/11/2025).
Namun, Budi belum mau menjelaskan terkait kasus yang menjerat pejabat daerah tersebut. Kata dia, hal itu akan disampaikan dalam konferensi pers bersama dengan keterangan konstruksi perkara.
“Terkait dengan perkaranya apa, konstruksi perkaranya bagaimana, nanti kami akan update ya dalam konferensi pers,” kata dia.
Empat Kali Gubernur Riau Terjerat Korupsi
Abdul Wahid tercatat sebagai gubernur pertama yang terjaring OTT KPK di masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Penangkapan ini menjadi catatan kelam, mengingat Abdul Wahid belum genap sembilan bulan menjabat sebagai gubernur.
Mirisnya lagi jika statusnya kelak ditetapkan sebagai tersangka, maka ia akan menjadi Gubernur Riau keempat yang tersandung kasus korupsi.
Sebelumnya, Gubernur Riau pertama yang terjerat kasus korupsi adalah Saleh Djasit, yang memimpin pada periode 1998-2003. Ia dijatuhi hukuman empat tahun penjara pada 2008 karena korupsi dalam proyek pengadaan mobil pemadam kebakaran yang menimbulkan kerugian negara sebesar Rp4,7 miliar. Meski demikian, Saleh dibebaskan bersyarat setelah menjalani hukuman dua setengah tahun.
Gubernur Riau periode 2003-2013 Rusli Zainal turut mengikuti jejak Saleh yang terjerat kasus korupsi. Pengadilan Tipikor Pekanbaru menjatuhkan vonis 14 tahun penjara dan denda Rp1 miliar, subsider enam bulan kurungan. Rusli terjerat kasus korupsi penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) serta penyimpangan dalam sektor kehutanan di Kabupaten Pelalawan dan Siak.
Tongkat estafet korupsi di Riau berlanjut pada penerusnya, Annas Maamun, yang menjabat Gubernur Riau periode 2014–2019. Pada tahun 2015, ia divonis enam tahun penjara dan denda Rp200 juta karena korupsi alih fungsi lahan dengan kerugian negara sebesar Rp5 miliar.
Presiden Joko Widodo kemudian memberikan grasi yang mengurangi masa hukumannya menjadi enam tahun. Annas dibebaskan pada September 2020, namun pada 2022 ia kembali ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap pengesahan RAPBD-P Tahun Anggaran 2014 dan RAPBD Tahun Anggaran 2015 Provinsi Riau.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Mhd Zakiul Fikri, menjelaskan bahwa hingga kini Gubernur Abdul Wahid masih berstatus sebagai terperiksa oleh penyidik KPK. Meski demikian, ia menegaskan bahwa OTT merupakan tindakan hukum yang dilakukan secara langsung terhadap seseorang yang sedang atau baru saja melakukan tindak pidana korupsi.
“Kalau itu terjadi dan Abdul Wahid ini benar terjaring dalam operasi tersebut, maka ini duka mendalam bagi warga Riau tentunya,” ujarnya kepada Tirto, Selasa (4/11/2025).
Menurut Fikri, apabila Abdul Wahid nantinya ditetapkan sebagai tersangka, maka hal ini akan mempertegas persoalan sistemik dalam tata kelola pemerintahan di Riau. Ia menilai kasus ini menunjukkan lemahnya mekanisme pengawasan internal, rendahnya budaya kepatuhan hukum, serta adanya tekanan struktural yang mendorong perilaku koruptif di kalangan pejabat eksekutif daerah.
“Dari perspektif hukum, kondisi ini menurut saya menekankan perlunya reformasi birokrasi dan transparansi pengelolaan anggaran, terutama anggaran publik, serta transparansi pengelolaan sumber daya lainnya di tingkat provinsi Riau,” ujarnya.
Fikri yang juga menjabat sebagai Direktur Hukum Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menambahkan, belum adanya kejelasan apakah kasus yang menjerat Abdul Wahid terkait langsung dengan tata kelola sumber daya alam (SDA) di Riau.
Menurutnya, kekayaan sumber daya alam seperti sawit, hutan, dan tambang di Riau memang menjadi risiko tersendiri untuk memacu korupsi. Namun, itu tak menjadi penyebab tunggal. Dia tetap menyoroti mekanisme pengawasan yang lemah dan kewenangan pejabat tinggi tidak dibatasi secara ketat oleh hukum.
“Kekayaan SDA di Riau bukan penyebab tunggal, melainkan faktor struktural yang memperbesar risiko praktik rente dan korupsi, terutama ketika pengawasan lemah dan diskresi pejabat tinggi tidak dibatasi secara hukum,” ujar Fikri.
Apa akar masalah struktural yang menyebabkan korupsi Gubernur Riau terus berulang?
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, menyebut biaya politik yang tinggi di Riau menjadi salah satu penyebab kasus korupsi yang menimpa pejabat publik di daerah tersebut seakan terus berulang.
“Ada biaya politik yang besar yang dikeluarkan oleh kepala daerah ketika Pilkada berlangsung untuk memenangkan kontestasi. Setelah mereka menjabat, muncul keharusan untuk menebus biaya politik tersebut, menutupi ongkos yang telah dikeluarkan, serta merawat jejaring patronasenya. Tidak jarang, biaya ini juga digunakan untuk memperluas dan mengamankan posisi mereka selama menjabat,” ujarnya kepada Tirto, Selasa (4/11/2025).
Ia menambahkan, jika melihat kasus-kasus korupsi yang menjerat sejumlah Gubernur Riau sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa tidak pernah ada perbaikan yang berarti dalam tata kelola pemerintahan di daerah tersebut. Pola yang sama terus berulang, menandakan bahwa persoalan korupsi di Riau sudah menjadi masalah struktural yang belum tersentuh secara serius oleh reformasi birokrasi maupun pengawasan politik.
“Kita ingat ada beberapa kasus sebelumnya yang menjerat Gubernur Riau dan ini menunjukkan bahwa tidak pernah ada perbaikan yang berarti di dalam tata kelola pemerintahan,” ujarnya.

Pengamat politik dan Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Islam Riau, Agung Wicaksono, menilai berulangnya kasus korupsi di tingkat gubernur menunjukkan adanya “kutukan politik” di Riau.
“Jika kita lihat ke belakang, kasus serupa menimpa beberapa gubernur sebelumnya. Namun penyebabnya tidak bisa hanya dilihat dari sisi moral atau pribadi pejabat. Ada akar struktural yang kuat,” ujarnya saat dihubungi oleh Tirto, Selasa (4/11/2025).
Agung mengidentifikasi tiga faktor utama yang menyebabkan praktik korupsi terus berulang di Riau. Pertama, tingginya biaya politik dalam kontestasi elektoral di tingkat daerah yang mendorong kandidat untuk mengeluarkan modal besar selama kampanye.
“Setelah terpilih, ada dorongan kuat untuk “mengembalikan modal” melalui berbagai akses rente kekuasaan,” ujarnya.
Kedua, lemahnya tata kelola pemerintahan daerah, khususnya dalam aspek transparansi proyek dan pengelolaan sumber daya alam, membuka ruang negosiasi informal antara pejabat, pengusaha, dan elite politik lokal.
“Ketiga, budaya patronase politik di daerah kaya sumber daya alam (SDA) juga memperkuat praktik transaksional. Jabatan publik sering kali dipandang sebagai sumber ekonomi, bukan amanah publik,” ujarnya.
Kekayaan SDA Riau Bak Pedang Bermata Dua
Agung yang saat ini juga menjadi Research Fellow di Corvinus Institute for Advanced Studies, Corvinus University of Budapest menjelaskan, kekayaan sumber daya alam (SDA) Riau menjadi faktor tak terpisahkan yang berkontribusi terhadap terjadinya korupsi.
Riau, menurutnya, merupakan contoh klasik bagaimana kekayaan alam dapat menjadi pedang bermata dua: di satu sisi membawa peluang besar bagi kemakmuran masyarakat, tetapi di sisi lain membuka ruang bagi praktik political rent-seeking atau perebutan rente politik.
“Tanpa tata kelola yang kuat, kekayaan itu justru menciptakan political rent-seeking. Sawit, tambang, dan hutan menjadi sumber ekonomi sekaligus sumber rente,” ujarnya.

Ia menambahkan, banyak kebijakan publik di Riau yang seharusnya berpihak pada kepentingan masyarakat justru dikendalikan oleh kepentingan ekonomi elite. Akibatnya, kekuasaan politik di Riau sering kali berubah menjadi arena perebutan sumber daya alam, bukan sarana untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Agung menilai, pelajaran penting dari berulangnya kasus korupsi di Riau adalah bahwa persoalan tersebut bukan semata-mata akibat perilaku individu, melainkan cerminan dari kegagalan sistemik dalam tata kelola pemerintahan daerah. Kasus demi kasus menunjukkan bahwa korupsi di Riau telah menjadi masalah struktural yang berakar pada lemahnya pengawasan, tingginya biaya politik, serta budaya patronase yang menormalisasi praktik rente kekuasaan.
“Kasus ini seharusnya menjadi refleksi kolektif yakni bahwa kita menghadapi kombinasi kegagalan sistem dan kegagalan individu. Dua hal yang harus segera dicari jalan keluarnya agar tidak terulang lagi, bukan hanya untuk Riau namun juga daerah-daerah lainnya,” ujarnya.
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































