tirto.id - Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Zaenur Rohman angkat bicara terkait bebasnya sejumlah napi koruptor pada Selasa, 6 September 2022 kemarin.
Menurut Zaenur, banyaknya napi koruptor yang bebas bersyarat setelah mendapat remisi menunjukkan bahwa korupsi tidak lagi dianggap sebagai extraordinary crime.
"Korupsi tidak dianggap lagi sebagai extradinary crime, karena seorang terpidana korupsi sebentar saja menjalani pidana kemudian sudah dapat pembebasan bersyarat," kata Zaenur saat dihubungi, Rabu, 7 September 2022.
Zaenur menceritakan kemudahan pemberian remisi terhadap napi koruptor akibat putusan Mahkamah Agung yang membatalkan PP nomor 99 tahun 2012 tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi napi koruptor untuk mendapatkan remisi.
"Remisi itu bisa didapatkan oleh seorang terpidana korupsi karena tahun 2021 Mahkamah Agung membatalkan PP nomor 99 2012 yang memberi batasan pemberian remisi kepada terpidana korupsi. PP nomor 99 2012 itu ada dua syarat utama seorang terpidana korupsi mendapatkan remisi. Yang pertama, menjadi Justice collaborator atau pelaku yang bekerja sama membongkar kasus korupsi yang dilakukan. Yang kedua, sudah membayar lunas denda dan uang pengganti. Ketika dibatalkannya PP nomor 99 2012, maka semua terpidana korupsi itu berhak mendapatkan remisi," jelas Zaenur.
Untuk itu, Zaenur mengusulkan 3 solusi jika pemerintah serius ingin melakukan upaya pemberantasan korupsi.
Pertama, memperketat pidana badan dengan meminimalisir pemberian remisi kepada napi koruptor.
"Kalau mau ada pidana badan, perlu diatur didalam Undang-Undang Pemasyarakatan mengenai syarat-syarat untuk mendapatkan remisi termasuk salah satunya mengadopsi pengaturan di dalam PP nomor 99 2012 itu syaratnya harus misalnya sudah mengembalikan kerugian, atau juga sudah bersedia menjadi justice collaborator," urai Zaenur.
Zaenur menyebut bahwa sebenarnya pemerintah tidak melakukan pelanggaran apa pun jika tidak memberi remisi kepada napi koruptor.
"Sebenarnya tanpa remisi pun, ya, kalau negara tidak memberikan remisi sama sekali misalnya, itu juga tidak ada hak yang dilanggar di situ," katanya.
Yang kedua, Zaenur mendorong pemerintah untuk mengesahkan RUU Perampasan Aset. Hal tersebut bertujuan untuk memiskinkan koruptor sehingga pelaku tidak lagi menganggap bahwa potensi keuntungan melakukan korupsi itu lebih tinggi daripada resikonya.
"Maka segera sahkan RUU Perampasan Aset yang di dalamnya terdapat banyak fitur banyak pengaturan yang akan sangat mendukung perampasan aset tersebut," ujar Zaenur.
"Nanti jika diperlakukan perampasan aset, yang harta yang tidak dapat dijelaskan asal-usulnya itu kemudian harus akan dirampas oleh negara," imbuhnya.
Solusi ketiga yang diusulkan Zaenur untuk memberikan efek jera bagi koruptor adalah pemberlakuan denda 3 kali lipat dari nilai korupsinya.
"Seorang yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi, misalnya, harus didekati dengan pendekatan diberikan denda 3 kali dari ini korupsinya. Baik itu berupa kerugian keuangan negara maupun berupa suap atau gratifikasi. Jadi selain hasil korupsinya disita atau juga dibebankan uang pengganti tetapi juga dendanya juga harus banyak," tandas Zaenur.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) mengumumkan 23 napi koruptor yang dinyatakan bebas bersyarat pada Selasa, 6 September 2022.
Napi koruptor yang mendapat pembebasan bersyarat berasal dari Lapas Kelas IIA Tangerang, Banten dan Lapas Kelas I Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.
"Adapun narapidana tindak pidana korupsi yang sudah dikeluarkan Surat Keputusan PB sebanyak 23 orang, yang langsung menjalani Pembebasan Bersyarat pada tanggal 6 September 2022, yaitu 4 (empat) narapidana dari Lapas Kelas IIA Tangerang dan 19 narapidana dari Lapas Kelas I Sukamiskin," kata Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjen PAS, Rika Aprianti dalam keterangan resminya, Rabu (7/9/2022).
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Fahreza Rizky