tirto.id - Uang, kesehatan mental dan politik. Ini adalah faktor-faktor yang dinilai mempengaruhi kebahagiaan menurut World Happiness Report yang kembali dirilis oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Laporan ini dibuat sebagai cara mengevaluasi kualitas hidup masyarakat lebih dari sekadar angka-angka kuantitatif dari statistik pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, laporan ini mengukur enam variabel yaitu: pendapatan per kapita, ekspektasi kehidupan hidup sehat, keberadaan sistem pendukung sosial (berhubungan dengan kesehatan mental), kebebasan untuk memilih dan kepercayaan terhadap institusi (tingkat korupsi di bisnis dan pemerintah).
Laporan ini menemukan beberapa temuan menarik. Misalnya, Amerika Serikat yang tahun 2007, berada di peringkat ketiga dalam daftar negara paling bahagia turun ke peringkat 19. Penyebabnya adalah tergerusnya sistem penyokong kesejahteraan dan korupsi. Namun, menurut American Psychological Association (APA) berdasarkan survei online terhadap 3.440 orang berumur 18 tahun ke atas, ada banyak hal yang menyebabkan tingkat kebahagiaan orang Amerika Serikat turun. Misalnya, uang (62 persen) dan pekerjaan (61 persen) memang masih menjadi penyebab stres dan kegelisahan sehari-hari. Namun, 63 persen mempersoalkan masa depan bangsa sebagai alasan mereka tak begitu bahagia—pikiran penuh tekanan. Stres perihal masa depan bangsa ini dipicu oleh beberapa isu mulai dari asuransi kesehatan (43 persen), situasi ekonomi (35 persen), kepercayaan terhadap pemerintah (32 persen) sampai kejahatan kebencian (31 persen).
Baca juga: Alasan Orang Kota dan Lajang Lebih Bahagia
Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
Dalam penelitian The Key Determinants of Happiness And Misery, oleh Clark et al untuk World Happiness Report 2017 menganalisis faktor yang memengaruhi kepuasan hidup di Indonesia sebagai negara berkembang dibandingkan dengan Australia, Inggris, Amerika Serikat. Salah satu temuannya, di Amerika Serikat, Australia dan Inggris, gangguan kesehatan mental yang telah didiagnosa lebih berpengaruh dibandingkan pendapatan, pekerjaan, dan kesehatan fisik. Sementara di Indonesia, kesehatan mental tetap penting, tetapi pendapatan masih lebih berpengaruh terhadap kepuasan hidup.
Penelitian itu juga menemukan, di empat negara tersebut, mengurangi permasalahan depresi dan gangguan kecemasan memiliki efek yang paling signifikan dalam mengurangi tingkat kesedihan sebagai sebuah kondisi yang mengurangi tingkat kebahagiaan. Walaupun begitu pengurangan angka kemiskinan, pengangguran dan penyakit fisik juga tetap memiliki mengurangi tingkat kesedihan.
Secara internal, Indonesia juga telah melakukan perhitungan soal kebahagiaan dengan memperhatikan tiga indikator: dimensi perasaan (seperti tidak tertekan atau gelisah), kepuasan hidup baik personal atau individu, dan dimensi makna hidup (pengembangan diri dan hubungan dengan orang lain). Hasil Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK), Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan Indeks Kebahagiaan Indonesia Tahun 2017 mencapai 70,69 pada skala 0-100.
Baca juga: Gen-Z dari Negara Mana yang Merasa Bahagia dan Tidak?
Menurut laporan ini, dimensi keharmonisan keluarga (indikator kepuasan hidup sosial) memiliki nilai yang paling tinggi sebesar 80,05. Sementara itu, dimensi pendidikan dan keterampilan dengan skor 59,9 mendapatkan skor terendah. Maluku Utara menjadi provinsi dengan skor indeks kebahagiaan tertinggi (81,33) adalah kepuasan terhadap aspek kehidupan sosial seperti keharmonisan keluarga, ketersediaan waktu luang dan hubungan sosial.
“Dilihat dari ketiga dimensi penyusun Indeks Kebahagiaan, penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan secara konsisten memiliki indeks yang lebih besar dibanding di wilayah pedesaan,” jelas Kepala BPS K. Suhariyanto dalam keterangan resmi yang dilansir situs resmi Sekretaris Kabinet Republik Indonesia. Walaupun tidak nilai indeksnya tidak jauh, 71,64 dibanding 69,57 peningkatan kualitas hidup untuk warga desa tetap harus dilakukan.
Salah satu solusi untuk menciptakan pembangunan inklusif yang merangkul daerah pedesaan menurut Menteri PPN/Kepala Badan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brojonegoro adalah dengan menciptakan keterbukaan pemerintah di daerah. “Karena saya bayangkan begini, dana desa misalkan satu daerah terima 1 miliar masyarakat harus tahu 1 miliar itu akan dipakai untuk apa dalam satu tahun. Kepala desanya harus komunikatif masyarakat juga harus tanya apa manfaat dari 1 milyar ini," jelas Bambang seusai membuka acara Asia Pacific Leaders Forum on Open Government di Jakarta pada minggu lalu (14/12/2017).
Riset soal kebahagiaan yang telah melihat berbagai variabel yang dapat mengevaluasi berbagai aspek hidup individu dan masyarakat memang patut untuk diapresiasi. Akan tetapi, kebahagiaan jika berlebihan juga patut untuk dipersoalkan.
Matthew Hutson, mantan editor Psychology Today, dalam tulisannya Beyond Happiness: The Upside of Feeling Down, menjelaskan bahwa emosi negatif tidak selalu memberikan dampak negatif terhadap individu. Misalnya dalam kasus emosi "negatif" seperti kemarahan, ini tidak serta merta memberikan dampak yang buruk. Sebaliknya, kemarahan adalah perasaan yang muncul dari diri manusia untuk menolak berada dalam situasi eksploitatif. Selain itu, kemarahan juga memotivasi manusia untuk mengambil sebuah tindakan.
Emosi lain seperti rasa takut dan kegelisahan, tidak selamanya perasaan ini negatif. Perasaan ini akan membantu Anda untuk menjadi waspada dan tidak mengambil keputusan berisiko yang tidak berdasarkan kalkulasi untung-rugi yang kritis. Misalnya, jika Anda ingin melakukan investasi terhadap Bitcoin, ketakutan akan membuat Anda kritis; apakah harganya yang tinggi hanya sebuah anomali yang menipu atau memang peluang investasi?
Untuk itu kebahagiaan dan rasa sakit adalah dua rasa yang tak bisa dipisahkan. Seperti pemikiran dari seorang filsuf Inggris, Jeremy Bentham “Alam telah menempatkan manusia dibawah pemerintahan yang terdiri dari dua penguasa yang berdaulat yaitu rasa sakit dan kegembiraan” (The Principle of Morals and Legislation, 1988:20).
Penulis: Terry Muthahhari
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti