tirto.id - Percaya tak percaya, kondisi yang nampak saat kamu berdiri di depan cermin adalah refleksi dari kesehatanmu. Semakin kurus, bertambah gemuk, wajah pucat nan lesu…
Coba pandangi sekali lagi dan ajukan pertanyaan ini, “Apa saja yang selama ini sudah aku makan?”
Voilà! Jawabanmu akan menjadi kesimpulan atas apa yang kamu lihat: "you are what you eat"—makanan itulah cerminan atas dirimu.
“Betul sekali, apa yang kita makan akan mencerminkan gambaran kesehatan diri kita ke depannya, dan dampaknya akan timbul baik jangka pendek maupun jangka panjang,” terang dokter spesialis gizi klinik, dr. Elfina Rachmi, M.Gizi, Sp.GK.
Nutrisi dari makanan yang kita konsumsi memberikan fondasi bagi struktur, fungsi, dan keutuhan setiap sel kecil dalam tubuh—mulai dari kulit dan rambut hingga otot, tulang, pencernaan, dan sistem kekebalan tubuh.
Kita mungkin tidak merasakannya, namun tubuh akan terus-menerus melakukan proses perbaikan dan penyembuhan sel-sel yang rusak.
Pengalaman Nunu (44) berikut dapat memberi sedikit gambaran. Nunu baru saja pulih dari usus buntu akut. Penyakit ini pertama terdeteksi pada Lebaran 2023, sempat dinyatakan hilang sendiri, namun kembali muncul pada awal September silam sehingga Nunu sampai perlu dioperasi.
“Penyebab paling umum sih, kekurangan serat. Saya waktu muda memang kurang makan serat dan suka makan pedas. Kata dokter, makanan pedas bisa memicu radang di usus, dan merembet jadi radang usus buntu. Sekarang sudah memperbaiki pola makan dengan banyak makan serat, mengurangi makan pedas, mengonsumsi suplemen prebiotik, minum air putih minimal dua liter sehari. Dan, buang air besar itu mesti setiap hari, lho,” aku Nunu.
Berkaca dari mindset “you are what you eat” dan kisah Nunu, apa saja yang dapat dilakukan untuk mewujudkan versi terbaik—dan tentunya paling sehat—pada dirimu?
Membiasakan makan dengan penuh kesadaran—kerap disebut mindful eating—bisa jadi awalan yang bagus.
Kebiasaan ini mendorong kita untuk berpikir sungguh-sungguh sebelum mengonsumsi sesuatu karena paham bahwa efeknya akan terasa hingga ke masa depan.
Setelah membekali diri dengan kesadaran tersebut, langkah selanjutnya adalah mengatur pola makan sesuai kebutuhan.
Petama, saran dr. Rachmi, adalah menentukan kebutuhan gizi individu. Ini disesuaikan dengan faktor usia, jenis kelamin, dan tingkat aktivitas masing-masing.
“Ada juga diet untuk memelihara atau menjaga kesehatan atau dalam kondisi tertentu karena ada penyakit penyerta seperti diabetes melitus (DM), hipertensi, asam urat, atau gangguan ginjal,” tambah dr. Rachmi.
Pola makan merupakan perilaku paling penting yang dapat memengaruhi keadaan gizi. Sebab, kuantitas dan kualitas makanan-minuman yang dikonsumsi akan memengaruhi asupan gizi. Gizi seimbang adalah susunan asupan sehari-hari yang jenis dan jumlah zatnya sesuai dengan kebutuhan tubuh.
Sedari muda, Rachma (57) sudah menggencarkan pola makan khusus. Kini, menjelang usia kepala enam, ia nampak awet muda. Pipinya selalu bersemu merah segar, rambutnya hitam berkilau minim uban, dan gerakannya tetap gesit. Apa rahasianya?
“Usia 20-an, makan saya nggak terlalu dijaga. Apa saja dimakan. Tapi sejak usia itu, saya sudah rajin olahraga. Ternyata, nggak bikin sehat juga karena di usia 27 tahun kolesterol sudah di angka 280. Harus dipantau terus oleh dokter dan diberi obat,” aku Rachma.
Semakin bertambah usia, Rachma mengalami kolesterol tinggi, hipertensi, dan asam urat. Padahal, porsi olahraga bertambah—setiap hari jalan kaki atau lari di gym plus fitball, yoga, dan pilates.
Rachma kemudian memutuskan untuk memperbaiki pola makan dengan menghindari berbagai tepung, sayuran berwarna hijau tua, produk fermentasi, dan buah-buahan tertentu. Ia tak lagi mengonsumsi daging bebek dan daging merah tinggi lemak seperti sapi dan kambing.
“Anak perempuan saya usia hampir 19 tahun, menjalani diet yang berbeda, tapi pada intinya sama, nggak mengonsumsi berbagai tepung karena ia merasakan sakit pada otot-otot ketika makan terigu. Yang dibolehkan adalah tepung beras/ nasi, kentang/ tepung kentang, ubi, jagung/ tepung jagung. Ia juga nggak mengonsumsi minuman dan makanan fermentasi. Efeknya, badannya slim, nggak pernah mengeluh pegal-pegal sehabis menari atau berenang. Ia juga bangga karena berat badannya stabil, nggak gemuk, dan emosinya lebih terkendali,” cerita Rachma.
Survei daring Global Future of Food Survey 2022 oleh biro konsultansi manajemen McKinsey pada 8.000 orang di AS, Inggris, Prancis, dan Jerman mengungkapkan, sebanyak 70 persen responden ingin menjadi lebih sehat.
Makanan dipandang penting untuk mencapai tujuan tersebut: sekitar 50 persen responden dari seluruh kelompok usia menyatakan makan sehat sebagai prioritas utama mereka.
Dari survei di atas, terungkap juga bahwa sebagian besar generasi Milenial (28-43 tahun) dan Gen Z (14-27 tahun) sudah menyadari pentingnya menjadi lebih sehat dengan mengonsumsi makanan bergizi. Sayangnya, mereka belum paham cara terbaik untuk melakukannya.
Nah, buat kamu yang punya kesadaran tinggi untuk menjaga kesehatan lewat makanan namun masih kebingungan caranya, coba ikuti tips dari dr. Rachmi berikut.
Terkait “Jumlah”, coba kurangi porsi karbohidrat dan lemak jahat. Meski begitu, tetaplah konsumsi protein dan serat tinggi. Pastikan jumlah kalori yang dimakan sesuai kebutuhan dan jangan lupa lakukan aktivitas fisik atau olahraga sehari-hari.
Kemudian, untuk “Jenis”, usahakan hindari jenis karbohidrat sederhana seperti gula pasir, gula aren, karamel, atau sirup. Sebagai gantinya, pilih sumber karbohidrat lain yang memiliki kandungan serat lebih tinggi dibandingkan nasi, seperti beras merah, singkong, nasi jagung, kentang, atau bihun.
Intinya, jenis makanan yang dikonsumsi harus bervariasi jenisnya agar kebutuhan karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, serat, dan cairan tetap tercukupi.
Selanjutnya tentang “Jadwal”. Sesibuk apa pun kamu, usahakan agar makan teratur dan tidak melewatkan waktu makan. Biasakan tiga kali makan utama, yakni 30 persen dari kebutuhan kalori per hari di sarapan, 40 persen di makan siang, dan 30 persen di makan malam. Imbangi dengan olahraga, istirahat cukup, dan jauhi stres!
Terakhir, “Jurus” memasak. Kurangi gorengan atau makanan yang diolah dengan teknik digoreng. Gantilah dengan makanan yang dikukus, direbus, ditim, atau dipanggang.
“Paling aman, lakukan pola makan atau diet seimbang. Perhatikan semua komponen zat gizi. Seperti tercukupinya makronutrien (energi, protein, lemak, dan cairan), dan mikronutrien (vitamin dan mineral). Hindari melakukan diet ekstrem,” tambah dr. Rachmi.
Penting diingat, konsumsi makanan sehat tak mesti berasosiasi dengan lifestyle yang edgy atau mahal.
Artinya, kamu tetap bisa makan seperti biasa: tiga kali makan utama (komplet ada nasi atau pengganti nasi, plus lauk dan wajib sayur) dengan 2-3 kali selingan (sebaiknya buah-buahan).
Tidak terlalu rumit, bukan? Yang utama, awali dengan niat dan kesadaran untuk menjadi lebih sehat. Selamat memulai journey-mu!
Penulis: Glenny Levina
Editor: Sekar Kinasih