tirto.id - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta akhirnya memvonis mantan anggota Komisi II DPR, Miryam S Haryani lima tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi berupa memberikan keterangan tidak benar dalam persidangan kasus korupsi e-KTP.
“Mengadili, menyatakan terdakwa Miryam S Haryani terbukti melakukan tindak pidana korupsi yaitu dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar,” kata Ketua Majelis Hakim Frangki Tumbuwun dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (13/11/2017).
Vonis tersebut lebih rendah dibanding dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang meminta agar Miryam divonis delapan (8) tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider enam bulan.
“Terdakwa dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang benar padahal kewajiban bagi saksi adalah untuk memberikan keterangan yang benar. Keterangan dianggap keterangan palsu bila tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Dari yang terungkap di persidangan, bahwa terdakwa pada hari Kamis, 23 Maret 2017 diajukan sebagai saksi, disumpah," ungkap anggota majelis hakim Anwar.
Saat itu, Miryam disumpah sebagai saksi untuk persidangan terdakwa mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto dalam perkara korupsi KTP-Elektronik.
Miryam mencabut BAP miliknya yang menerangkan antara lain adanya penerimaan uang dari Sugiharto dengan alasan pada saat pemeriksaan penyidikan telah ditekan dan diancam oleh 3 orang penyidik KPK padahal alasan yang disampaikan terdakwa tersebut tidak benar.
Keterangan itu tertuang dalam, BAP 1 Desember 2016, BAP tanggal 7 Desember 2016, BAP tanggal 14 Desember dan BAP tanggal 24 Januari 2017 yang diparaf dan ditandatangi Miryam.
Selanjutnya, pada Kamis, 30 Maret 2017 JPU menghadirkan kembali Miryam di persidangan bersama 3 penyidik yaitu: Novel Baswedan, MI Susanto dan Ambarita Damanik. Setelah dilakukan pengambilan sumpah terhdap ketiga saksi verbal lisan, hakim menyakan kepada para penyidik KPK mengenai adanya tekanan dan ancaman yang dilakukan kepada terdakwa pada saat pemeriksaan penyidikan sebagaimana diterangkan dalam persidangan sebelumnya.
“Penyidik menyatakan tidak pernah memaksa dan mengancam tapi terdakwa tetap merasa ditekan dan diancam penyidik dan terpaksa menandatangani BAP dan menyatakan mencabut BAP sebagai saksi tersebut. Bahwa pernyataan terdakwa yang mengatakan ditekan adalah berbanding terbalik dengan apa yang disampaikan ketiga penyidik. Serta memeriksa terdakwa diberikan kesempatan istirahat atau makan siang, diberikan kesempatan baca membaca dan mengoreksi,” kata Anwar.
Pada sidang selanjutnya diberikan kesempatan kepada Miryam untuk pemeriksaan lanjutan yaitu dengan memeriksa video rekaman pemeriksaan sebanyak 4 kali yang diajukan sebagai alat bukti elektronik.
"Dilakukan analisis psikologis untuk mengetahui adanya kondisi tertekan dan oleh tim psikologi forensik dan asosiasi forensik menunjukkan tidak menemukan adanya tekanan karena banyak pertanyaan pendek penyidik dan dijawab panjang lebsr. Ahli mengatakan dapat disimpulkan tidak ditemukan tekanan. Tapi dalam hal mengingkari sebagai suatu keterangan yang benar maka menunjukkan ada indikasi kebohongan bahwa keterangan terdakwa yang diberikan saat penyidikan yang mengatakan ditekan dan diancam adalah keterangan yang tidak benar," ungkap Anwar.
Artinya, menurut hakim, keterangan Miryam yang membantah menerima uang adalah berbanding terbalik dengan apa yang dikatakan Irman, Sugiharto, Yosef Sumartono dan Vidi Gunawan yaitu pemberian uang 100 ribu dolar AS, 100 ribu dolar AS, 500 ribu dolar AS miliar dan Rp5 miliar. Uang diantarkan Sugiharto ke rumah Miryam.
Atas putusan itu, Miryam menyatakan pikir-pikir, namun ia keberatan dengan vonis itu.
"Saya secara pribadi keberatan, nanti akan berpikir dengan tim lawyer saya. Jangankan vonis lima tahun, jadi tersangka saja saya keberatan," kata Miryam.
Sedangkan JPU KPK juga menyatakan pikir-pikir selama tujuh hari.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz