tirto.id - Sejumlah babi dan peternak babi di Kota Ipoh, negara bagian Perak, Malaysia dilaporkan mengalami penyakit pernapasan dan radang otak pada 1998. Awalnya mereka diduga terinfeksi ensefalitis yang virusnya berasal Jepang, tetapi setelah penelitian lebih lanjut, ternyata terinfeksi virus Nipah.
Awalnya 15 orang meninggal dunia akibat virus ini, lalu bertambah setelah babi-babi yang sakit ternyata telah terjual ke Sikamat, Sungai Nipah, Bukit Pelanduk, negara bagian Bukit Sembilan. Virus kadung menyebar. Sebanyak 265 orang terjangkit dan 105 di antaranya meninggal dunia.
Selain Malaysia, India dan Bangladesh pernah beberapa kali diserang virus Nipah sepanjang 2001-2011. Kelelawar yang terinfeksi diduga terbang ke perkebunan kurma dan mengambil sari buahnya, kemudian buang air kecil di pot penampungan. Penduduk yang tidak tahu membelinya pada hari berikutnya dari pedagang kaki lima setempat, meminumnya, dan terinfeksi. Total 196 orang terdeteksi terinfeksi virus ini dan 150 orang di antaranya meninggal.
Ancaman virus Nipah tidak hilang meski kasus-kasus tersebut telah terjadi sekian tahun lalu. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memasukkan infeksi virus Nipah sebagai salah satu dari 10 penyakit menular dari 16 penyakit yang dianggap sebagai risiko kesehatan terbesar masyarakat. Dalam kategori itu juga ada Sars dan Mers.
Jayasree K. Iyer, Direktur Eksekutif Access to Medicine Foundation, sebuah lembaga nirlaba yang berbasis di Belanda, menyoroti tingginya tingkat kematian akibat infeksi virus Nipah yang mencapai 75 persen. Bahkan menurutnya infeksi virus Nipah berpotensi jadi pandemi berikutnya seperti COVID-19.
Harus Diantisipasi
Walaupun virus Nipah belum terdeteksi di Indonesia, bukan berarti masyarakat bisa bernapas lega. Beberapa penelitian menunjukkan ada kelelawar buah bergerak secara teratur dari Semenanjung Malaysia ke Pulau Sumatera, khususnya Sumatera Utara Mereka potensial membawa virus berbahaya itu.
Pakar mikrobiologi dari FKKMK UGM Tri Wibawa mengatakan semua virus yang dapat menular dari hewan ke manusia kemudian dari manusia ke manusia potensial menjadi pandemi. Namun ada beberapa faktor penting yang menentukan, antara lain virulensi virus, cara penularan, angka mortalitas, dan mortalitas penyakit yang ditimbulkan. Selain itu, ada faktor respons imun manusia, perilaku manusia, kesiapan surveilans kesehatan, dan kesiapan sistem kesehatan untuk merawat pasien.
Untuk mengantisipasi virus ini, otoritas kesehatan harus meningkatkan surveilans epidemiologi penyakit menular. Dalam kegiatan itu juga mesti dilakukan analisis secara sistematis dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah kesehatan dan kondisi yang memengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit. Tujuannya agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien.
Surveilans dan segala upaya tersebut semakin penting karena virus Nipah tidak memiliki gejala klinis yang khas, bahkan dalam beberapa kasus tidak bergejala. “Sehingga tidak mudah untuk dibedakan dengan gejala penyakit infeksi umumnya,” kata Tri Wibawa dalam keterangan tertulisnya, Senin (1/2/2021).
Di samping itu, untuk mencegah penularan virus dari hewan ke manusia, Tri mengingatkan semua pihak untuk menjaga keharmonisan antara manusia, hewan, dan lingkungan.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan Didik Budijanto mengatakan selain lewat kelelawar buah yang bergerak dari Malaysia ke Sumatera, virus Nipah juga bisa berasal dari “perdagangan babi yang ilegal dari Malaysia ke Indonesia.”
Untuk itu Kemkes telah mendorong pencegahan perdagangan babi ilegal. Menurut Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia, pemerintah Indonesia hanya menerima kiriman yang disertai sertifikat kesehatan dari Departemen Layanan Hewan Malaysia.
Selain itu, untuk mencegah penyakit zoonosis secara umum, dilakukan pendekatan dari berbagai disiplin ilmu secara lokal, nasional, dan global. Untuk itu Kemkes berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, salah satunya melalui integrasi sistem informasi surveilans.
“Di samping itu juga melakukan kolaborasi dalam perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi program pencegahan penanggulangan penyakit,” kata Didik dalam keterangan tertulis, Selasa (2/2/2021).
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino