Menuju konten utama

Video Capaian Prabowo di Bioskop, Strategi Komunikasi Usang

Strategi ini setidaknya menegaskan kecenderungan negara kembali ke metode indoktrinasi kasar, alih-alih mencari cara kreatif membangun komunikasi publik.

Video Capaian Prabowo di Bioskop, Strategi Komunikasi Usang
ilustrasi nonton bioskop. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Johan (26), diliputi kebingungan ketika tiba-tiba wajah presiden Prabowo Subianto muncul di layar bioskop. Jumat (12/9/2025) malam itu, Johan memang sengaja berkunjung ke bioskop sepulang kerja untuk menyegarkan pikiran. Namun beberapa menit sebelum film dimulai, ia terheran-heran ketika tiba-tiba muncul video berisi potongan program-program pemerintah.

Agenda Johan menyegarkan pikiran di salah satu mall wilayah Jakarta Selatan itu, diakuinya sempat terdistraksi sebab peristiwa tersebut.

“Saya pikir waktu itu Pak Prabowo udah mau nyapres lagi,” kata Johan setengah berkelakar saat mengobrol dengan Tirto lewat pesan langsung di platform X, Senin (15/9/2025).

Johan tidak begitu mengingat isi dari potongan video capaian pemerintahan Prabowo yang melintas di layar sebelum film dimulai itu. Ia hanya ingat salah satu adegannya menunjukkan kedekatan Prabowo dengan anak sekolah serta menyebut-nyebut program makan bergizi gratis (MBG).

Ia mengaku tidak begitu memedulikan penayangan video tersebut di bioskop yang saat ini menjadi polemik di dunia maya. Namun, secara pribadi, kata dia, penayangan video tersebut terasa tidak cocok untuk ruang hiburan seperti bioskop. Apalagi, banyak orang merasa telah lelah dengan berbagai obrolan politik yang menyangkut kinerja pemerintah.

“Janggal sebetulnya ya karena terlalu dipaksakan kesannya. Saya sih nggak terlalu gimana gitu, cuma langsung kayak mengerutkan jidat aja ‘ini apa lagi sih’, orang mau nonton [film],” ujar Johan.

Keheranan yang sama juga menyergap Lyn (21), bukan nama sebenarnya, ketika tiba-tiba muncul video capaian pemerintahan Prabowo di layar bioskop yang akan ditontonnya. Saat itu Lyn hendak menonton sebuah film horor di salah satu mall di Jakarta Barat, Rabu (10/9/2025), sore. Ia memilih menonton di Cinema XXI yang kebetulan tersedia di mall tersebut.

Namun sesaat sebelum film dimulai, Lyn terkejut karena biasanya tidak ada video iklan soal capaian program pemerintahan. Meskipun tak mengganggu pengalamannya menikmati film, Lyn merasa penempatan iklan pemerintah di bioskop itu kurang cocok. Ia tak merasa ada urgensi untuk memamerkan capaian program pemerintah ke khalayak yang ingin menikmati film.

Ilustrasi Bioskop

Ilustrasi Bioskop. FOTO/iStockphoto

“Jujur awalnya bingung ya, kenapa kok, tiba-tiba, mau nonton, iklannya tentang pemerintah. Sebenarnya dibilang mengganggu enggak juga, tapi kalau dibilang suka ya saya juga enggak suka. Lebih ke aneh dan bingung aja urgensinya apa,” ucap Lyn lewat fitur pesan langsung di platform X, kepada wartawan Tirto, Senin (15/9/2025).

Warganet media sosial memang sedang ramai mempersoalkan penayangan video capaian pemerintah Prabowo di bioskop sebelum film dimulai. Beberapa orang menyebut ini sebagai propaganda pemerintah, bahkan mengaitkan metode komunikasi yang dipilih Prabowo dan anak buahnya ini laiknya propaganda era Soeharto ketika Orde Baru.

Video pendek berdurasi sekitar satu menit itu memperlihatkan Prabowo yang berkomitmen mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Lantas, disebut pula klaim pencapaian pemerintahan Prabowo selama menjabat sebagai presiden selama sekitar 11 bulan ini, termasuk program-program pemerintah yang dianggap berhasil.

Beberapa capaian yang dibahas adalah produksi beras nasional hingga Agustus 2025 sebanyak 21.760.000 ton; pembukaan lahan sawah baru sebesar 225.000 hektar; MBG yang diluncurkan sejak 6 Januari 2025 menjangkau 20 juta penerima manfaat; pembentukan Koperasi Desa Merah Putih mencapai 80.000; hingga pembangunan Sekolah Rakyat.

Penerima manfaat program MBG di Jawa Timur

Sejumlah pelajar menikmati makanan bergizi program Makan Bergizi Gratis (MBG) di SMP Negeri 13 Surabaya, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (22/8/2025). Pemerintah Provinsi Jawa Timur mencatat per 20 Agustus 2025 penerima program MGB di Jawa Timur sebanyak 1,9 juta penerima manfaat dengan 714 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang memproduksi makanan bergizi gratis dan pendistribusiannya tersebar di Jawa Timur. ANTARA FOTO/Didik Suhartono/rwa.

Usai menjadi polemik di masyarakat, Cinema XXI buka suara terkait dengan penayangan video kinerja pemerintahan Presiden Prabowo Subianto di jaringan bioskopnya. Corporate Secretary Cinema XXI Indah Tri Wahyuni menjelaskan bahwa penayangan materi tersebut merupakan bagian dari iklan layanan masyarakat (ILM) yang disediakan oleh pihak bioskop.

Lebih lanjut Indah menegaskan, bahwa penayangan iklan kinerja kabinet Prabowo Subianto itu hanyalah berlaku selama satu minggu, dari 9-14 September 2025.

"Adapun penayangan materi seputar kinerja sosial kabinet Presiden Prabowo merupakan ILM yang ditayangkan selama satu minggu, yakni 9-14 September 2025,” ujar Indah dalam keterangan tertulis, Senin (15/9/2025).

Sementara itu, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO) Hasan Nasbi, mewajarkan penayangan video iklan Presiden Prabowo di layar bioskop. Menurutnya, pemerintah pusat hendak mensosialisasikan program yang selama ini telah dikerjakan melalui iklan di jaringan bioskop.

"Layar bioskop, sebagaimana televisi, media luar ruang, dan lain-lain, juga ruang publik yang bisa diisi dengan berbagai pesan, termasuk pesan komersial. Kalau pesan komersial saja boleh, kenapa pesan dari pemerintah dan presiden nggak boleh?" ujar Hasan kepada wartawan, Minggu (14/9/2025).

Baru-baru ini Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) juga ikut pasang badan terkait video capaian Prabowo di bioskop yang dipersoalkan masyarakat. Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi), Meutya Hafid, mengatakan, penayangan cuplikan program Prabowo di bioskop merupakan bagian dari upaya komunikasi sekaligus transparansi publik. Dia menilai komunikasi publik akan lebih baik jika dijalankan di berbagai ruang.

Meutya Hafid

Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi), Meutya Hafid, setelah penandatanganan kerja sama dengan kementerian lain mengenai rencana aksi implementasi PP No. 17 Tahun 2025, di TMII, Jakarta Timur, Kamis (31/7/2025). Tirto.id/Ayu Mumpuni

Meutya menyebut bahwa penayangan ini juga bertujuan agar publik mengetahui program pemerintah yang sudah berjalan dan pelaksanaannya. Saat ditanyakan apakah penayangan itu merupakan perintah langsung Prabowo, ia hanya menjawab bahwa upaya komunikasi publik dilakukan secara terintegrasi oleh berbagai pihak.

“Pada prinsipnya komunikasi publik harus dijalankan dalam berbagai ruang, beragam ruang ya, kami juga melihat ini dalam bentuk transparansi publik,” kata Meutya kepada wartawan, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (16/9/2025).

Cara Lama ala Orba

Rakhmat Hidayat merasa ada nostalgia yang tak terlalu sedap di dadanya ketika mendengar kabar video pencapaian program pemerintahan Prabowo diputar di jaringan sinema. Sejurus kemudian sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu langsung mengingat masa kecil saat masih duduk di bangku sekolah pada awal medio tahun 90-an.

Masa itu, kata dia, siswa sekolah diwajibkan untuk datang ke bioskop menonton karya film yang disponsori oleh rezim Orde Baru. Misalnya trilogi karya Arifin C. Noer, terdiri dari film Pengkhianatan G30S/PKI, Serangan Fajar, dan Djakarta 66. Rakhmat masih ingat, sesaat sebelum film berlangsung, muncul potongan iklan pendek yang juga menampilkan capaian progam pemerintah dan pembangunan era Soeharto.

“Anak-anak sekolah itu wajib menonton di bioskop terdekat di kampung. Dan seperti biasa sebelum tayangan dimulai, ada pesan-pesan yang memang ditayangkan. Program-program yang dianggap adalah keberhasilan Soeharto di era Orde Baru, misal ada Kelompencapir, kemudian Keluarga Berencana, dan seterusnya,” tutur Rakhmat kepada wartawan Tirto, Senin (15/9/2025).

NOBAR G30S/PKI DI ACEH

Warga nonton bareng (nobar) pemutaran film pengkhianatan G30S/PKI di Lapangan Hiraq Lhokseumawe, Aceh (23/9) malam. ANTARA FOTO/Rahmad.

Rakhmat melihat kesinambungan yang jelas, ketika mendengar yang dilakukan Prabowo saat ini. Negara, katanya, selalu membutuhkan medium untuk menyebarkan narasi keberhasilan dan melegitimasi kekuasaan. Bioskop, dengan sifatnya sebagai ruang publik, sejak lama menjadi salah satu saluran tersebut.

Bedanya, jika dulu publik tidak punya pilihan selain menonton, audiens atau masyarakat hari ini lebih otonom, kritis, dan amat beragam. Menurut Rakhmat, di situlah muncul risiko besar. Bagi penonton yang datang ke bioskop mencari hiburan, sisipan politik terasa mengganggu.

Alih-alih memperkuat citra pemerintah, iklan capaian pemerintah justru dapat menimbulkan resistensi, hanya mengulang pola lama Orde Baru.

Bagi publik kiwari, sinema adalah pengalaman kultural, sebuah waktu luang yang intim dan personal. Bila ruang itu dikooptasi oleh propaganda, efek paradoks bisa muncul: pemerintah kehilangan simpati, sementara industri film terjebak dalam bayang-bayang politik.

"Mereka bayar tiket untuk menonton film, bukan iklan negara," kata Rakhmat.

Sementara bagi pengamat sinema Hikmat Darmawan, propaganda lewat layar lebar bukan sebuah hal baru. Dalam sejarah sinema dunia, praktik ini lazim dilakukan negara, terutama saat krisis.

Namun, menurutnya, ini merupakan cara lawas yang sudah ketinggalan zaman.

“Sebetulnya ini jenis propaganda yang lumayan kasar dan biasanya muncul dalam saat krisis karena penting untuk penggalangan warga. Apakah sekarang dianggap suasananya lagi segitu krisisnya? Krisis apa sebetulnya?” kata Hikmat pada wartawan Tirto, Senin (15/9/2025).

Persoalannya, konteks hari ini jauh berbeda dari masa lalu. Jika dulu publik relatif pasif dan kanal media mudah dikontrol, kini warganet bisa merespons dan mengkritik secara spontan. Video Prabowo yang diputar di bioskop bukan hanya dikritik, malah segera menjadi lelucon di media sosial.

BIOSKOP

ilustrasi foto/shutterstock

Strategi ini setidaknya menegaskan dua hal. Pertama, kecenderungan negara kembali ke metode indoktrinasi kasar, alih-alih mencari cara kreatif membangun komunikasi publik. Hal ini juga menandakan, pemerintah cenderung memilih pola-pola usang di era keterbukaan.

“Memang itulah yang dihadapi oleh para rezim yang ingin menggunakan cara-cara usang atau cara-cara lama berkampanye atau cara-cara yang tidak kreatif, ya, dan kemudian orang bisa cerewet terhadap kualitas teknis segala macem,” ucap Hikmat.

Pengamat komunikasi politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, memandang langkah pemerintah menayangkan video capaian program Prabowo di bioskop berhubungan dengan menurunnya kepercayaan publik. Menurut Kunto, propaganda pemerintah bertujuan memengaruhi sikap dan perilaku masyarakat agar mendukung program pemerintah.

Sayangnya, efektivitas pesan sangat bergantung pada momen dan strategi penyampaian. Ia menilai reaksi negatif publik menunjukkan bahwa tingkat kesadaran politik sedang tinggi.

“Mereka ke bioskop kan sebenarnya menghindari berita politik, sebenarnya ingin mencari hiburan tapi kalau justru disitu ada informasi politik kan mungkin mereka akan alert. Nah, tinggi lagi tingkat defensifnya dan kemudian menjadi sangat sadar dan persuasi itu jadi tidak efektif gitu propagandanya,” ujar Kunto kepada wartawan Tirto, Senin (15/9).

Kunto setuju penggunaan bioskop sebagai saluran propaganda justru memperkuat kesan propaganda ala Orde Baru. Bahkan mulai beredar ajakan sederhana untuk menghindarinya, yakni sengaja telat masuk ke ruang bioskop.

“Ini cara berkomunikasi orang tahun 90-an, bukan cara berkomunikasi orang tahun 2020. Harusnya pemerintah meningkatkan kapasitas komunikasi pejabat lewat media sosial atau ruang diskusi langsung, bukan satu arah ala boomer,” tutur Kunto.

Pemerintah Prabowo seharusnya belajar dari sejarah. Propaganda yang dipaksakan lewat ruang intim publik sering kali kontraproduktif. Alih-alih memperkuat citra, justru menegaskan pemerintah tidak percaya diri dengan kualitas komunikasinya.

Baca juga artikel terkait KOMUNIKASI atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News Plus
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Farida Susanty