Menuju konten utama

Vaksinasi Mandiri COVID-19: Upaya Borong Vaksin di Siang Bolong

Pengusaha mendorong vaksinasi mandiri yang bisa dibilang mengambil jatah orang lain. Vaksin COVID-19 masih terbatas sehingga mesti ada prioritas penerima.

Vaksinasi Mandiri COVID-19: Upaya Borong Vaksin di Siang Bolong
Bidan mempersiapkan vaksin COVID-19 Sinovac tahap kedua untuk disuntikkan tenaga medis, di Puskesmas Kecamatan Sawah Besar, Jakarta, Selasa (2/2/2021). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/hp.

tirto.id - Para pengusaha terus mendorong pemerintah menyediakan vaksin mandiri atau vaksin gotong royong meski sempat ditolak mentah-mentah oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Rosan Roeslani belakangan mengklaim aturan mengenai ini tengah digodok dan diperkirakan akan rampung pekan ketiga Februari.

Vaksinasi melalui program ini menurutnya akan dimulai pada kuartal 1 tahun 2021 sampai kuartal 2 tahun 2021. Dia juga menyatakan vaksin yang dipakai bukanlah vaksin Sinovac atau merek lain yang dipakai pemerintah.

Rosan mengatakan program telah dikoordinasikan dan disosialisasikan kepada para pelaku usaha. "Dan ternyata antusiasme swasta dari berbagai sektor sangat tinggi," khususnya oleh pengusaha sektor perbankan, manufaktur, tekstil, dan logistik, kata Rosan dalam keterangan tertulis, Selasa (9/2/2021). Rosan mengatakan lebih efisien bagi perusahaan untuk menggelontorkan uang demi vaksinasi daripada tes antigen atau tes reaksi rantai polimerase (PCR) secara terus menerus.

Dia memperkirakan sekitar 20 juta pekerja akan mengikuti program dan sekarang pendaftarannya telah dibuka.

Pada akhirnya dia berharap dengan vaksin karyawan bisa kembali bekerja seluruhnya dan produktivitas kembali meningkat.

Koordinator LaporCovid19 Irma Hidayana tidak sepakat dengan ambisi swasta ini. Pasalnya, vaksinasi mandiri berpotensi mengambil jatah orang-orang yang lebih rentan terpapar COVID-19 oleh mereka yang mampu membayar. Hal ini tidak lain disebabkan sampai sekarang vaksin COVID-19 masih merupakan komoditas yang terbatas dengan produsen yang bisa dihitung jari.

Karena dasar itu pula produksi vaksin saat ini hanya diberikan untuk pemerintah. "Karena dunia ini dalam krisis kesehatan masyarakat, krisis pandemi COVID-19, maka dunia itu mengutamakan pemerintah [untuk] memastikan warganya sehat," kata Irma kepada reporter Tirto, Rabu (10/2/2021).

Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin Dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19 menyatakan pengadaan vaksin hanya melalui tiga skema: 1. Penugasan kepada BUMN PT Bio Farma dan anak usahanya; 2. Penunjukan langsung badan usaha penyedia oleh Kementerian Kesehatan; dan 3. Kerja sama dengan badan/lembaga internasional. Lalu Peraturan Menteri Kesehatan 28/2020 tentang Pelaksanaan Pengadaan Vaksin Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19 menyatakan skema kedua dilakukan jika PT Bio Farma belum mampu memenuhi kebutuhan nasional. Sementara sampai hari ini, pemerintah mengklaim sudah memesan dosis yang cukup untuk vaksinasi 70 persen populasi Indonesia.

"Swasta itu hanya bisa membeli vaksin dari pemerintah, padahal pemerintah itu beli vaksin untuk disuntikkan secara gratis ke masyarakat. Kalau perusahaan diizinkan, artinya mereka membeli, mengambil vaksin jatah rakyat," tambah Irma.

Pelbagai studi pun menunjukkan keterlibatan swasta gagal membuat akses vaksin menjadi lebih merata. Studi yang tersedia di laman WHO menunjukkan swasta hanya menjangkau masyarakat di perkotaan dengan kondisi ekonomi menengah-atas.

Direktur Kebijakan Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) Olivia Herlinda mengatakan jika pemerintah memesan lagi untuk memenuhi keinginan pengusaha, artinya mereka mengambil jatah milik negara lain yang kemungkinan besar akan digunakan untuk memvaksin warga rentan di negaranya. Dia juga tak sepakat dengan rencana ini.

Olivia menilai tidak ada gunanya pemerintah membuang energi untuk melobi lagi produsen vaksin hanya untuk memenuhi keinginan kelompok yang bukan prioritas. Semestinya, pemerintah fokus pada vaksinasi kelompok rentan yang saat ini masih berjalan lamban sekaligus memperbaiki kendala distribusi di lapangan.

Per 9 Februari kemarin, dari 1,46 juta sasaran vaksinasi tenaga kesehatan, baru 845.407 orang yang menerima suntikan pertama dan 221.453 orang menerima suntikan kedua. Bloomberg bahkan menyebut Indonesa perlu waktu sampai 10 tahun untuk menyelesaikan vaksinasi, jika berdasarkan kecepatan saat ini.

"Kami belum dengar rencana dan evaluasi pemerintah melihat pengalaman dua bulan terakhir [vaksinasi] ke tenaga kesehatan. Tidak mungkin, kan, kelompok lansia diminta ke GBK untuk vaksinasi massal?" kata Olivia.

Irma Hidayana menyarankan alih-alih bernafsu memperoleh vaksin, swasta bisa ikut bergotong royong dengan menawarkan solusi bagi kendala-kendala teknis. Salah satu kendala yang pernah muncul adalah sulitnya pendaftaran secara online. Beberapa perusahaan telah melakukan ini. Misalnya Microsoft yang membangun sistem pelacakan vaksinasi; IBM membuat perangkat lunak rantai pasokan untuk memastikan ketepatan suhu dan penanganan vaksin; dan Everbrite yang bekerja sama dengan pemerintah membangun sistem registrasi.

Semakin cepat program berjalan, maka swasta pula yang diuntungkan karena pada dasarnya vaksinasi tidak lain ditujukan untuk mencapai kekebalan komunitas atau herd immunity, bukan sekadar kekebalan individu.

Baca juga artikel terkait VAKSIN COVID-19 atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino