Menuju konten utama

UU Adminduk Digugat, Pemohon Minta MK Izinkan Warga Tak Beragama

Para Pemohon mengalami kerugian hak konstitusional karena harus mengisi kolom agama dengan memilih agama atau kepercayaan, padahal mereka tidak beragama.

UU Adminduk Digugat, Pemohon Minta MK Izinkan Warga Tak Beragama
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) didampingi hakim konstitusi (dari kiri-kanan) Arsul Sani, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, Enny Nurbaningsih, Saldi Isra, Anwar Usman, Arief Hidayat, M. Guntur Hamzah, dan Ridwan Mansyur berfoto bersama di depan pilar konstitusi seusai mengikuti upacara peringatan HUT ke-21 Mahkamah Konstitusi di Gedung MK, Jakarta, Selasa (13/6/2024). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/rwa.

tirto.id - Raymond Kamil dan Indra Syahputra mengajukan permohonan pengujian materi Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) mengenai biodata penduduk yang memuat keterangan agama yang dianut atau kepercayaan dalam Kartu Keluarga (KK) maupun Kartu Tanda Pengenal (KTP).

Para Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi (MK) memperbolehkan warga tidak menganut agama. Gugatan kedua Pemohon teregister dengan nomor perkara 146/PUU-XXII/2024. Sidang pemeriksaan pendahuluan perkara ini mulai digelar Senin (21/10/2024).

“Pada kenyataannya tidak memeluk salah satu dari tujuh pilihan dan yang tidak beragama dipaksa keadaan untuk berbohong atau tidak dilayani,” kata pendamping para Pemohon, Teguh Sugiharto, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat.

Para Pemohon mengaku tidak memeluk agama dan kepercayaan manapun termasuk agama dan kepercayaan yang telah diakui negara Indonesia. Para Pemohon menyatakan telah mengalami kerugian hak konstitusional karena harus mengisi kolom agama tersebut dengan memilih agama atau kepercayaan, padahal dirinya ingin diinput tidak beragama.

Para Pemohon menyebut telah mengalami diskriminasi karena petugas Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil menolak agar kolom agama dalam KK maupun KTP dituliskan “tidak beragama”.

Menurut para Pemohon, ketentuan yang diuji mewajibkannya untuk memeluk agama atau kepercayaan tertentu. Para Pemohon mengatakan isian kolom agama tidak bersifat isian terbuka melainkan pilihan tertutup yang memaksa.

Selain itu, Raymond selaku Pemohon I mengaku mendapat penolakan untuk tidak mengikuti pendidikan agama dari petugas dinas pendidikan. Raymond juga berkeinginan untuk menikah kembali, tetapi dirinya tidak mungkin memenuhi hak konstitusional dimaksud kecuali melakukan kebohongan mengaku sebagai penganut agama tertentu yang diakui.

Dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan pasal-pasal yang diuji tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai secara positif dan negatif, yaitu setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan bebas untuk tidak memeluk agama dan kepercayaan, serta kebebasan untuk mengikuti atau tidak mengikuti pendidikan agama.

Nasihat Hakim

Perkara ini disidangkan Majelis Hakim Panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Arsul Sani, didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih. Menurut Enny, posita permohonan menjadi ruang Pemohon untuk meyakinkan sembilan hakim konstitusi agar mengabulkan permohonan.

Enny mengatakan, UUD menegaskan Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, termasuk putusan MK yang diawali dengan kalimat demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun, para Pemohon belum dapat menguraikan pertentangan norma yang diuji untuk meyakinkan para hakim konstitusi mengenai konstitusionalitas tidak beragama tersebut.

“Silakan Saudara bangun argumentasi pertentangannya itu karena di sini saya buka-buka yang memang tidak tampak apa yang dimaksud di sini, kecuali Saudara mengatakan berkali-kali diulangi di sini bahwa ini harus dimaknai tidak beragama,” kata Enny.

Sebelum menutup persidangan, Arsul mengatakan para Pemohon memiliki waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Berkas perbaikan permohonan paling lambat diterima Mahkamah pada 4 November 2024.

Baca juga artikel terkait KOLOM AGAMA DI KTP atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Hukum
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Irfan Teguh Pribadi