tirto.id - Melegalkan pernikahan beda agama semakin sulit setelah adanya SEMA No. 2 Tahun 2023. Apa yang perlu kita pahami terkait surat edaran tersebut?
Pasangan JEA dan SW boleh jadi adalah pasangan beda agama yang paling beruntung di Indonesia saat ini. Sebab, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada awal Juli lalu mengabulkan permohonan mereka untuk dapat mencatatkan perkawinan beda agama mereka di Kantor Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Jakarta Pusat.
Memang pasangan JEA dan SW ini bukanlah satu-satunya pasangan beda agama yang permohonan pencatatannya dikabulkan pengadilan. Tapi hampir dapat dipastikan bahwa mereka adalah pasangan terakhir yang bisa merengkuh pengakuan negara dalam bentuk akta perkawinan. Pangkal sebabnya adalah Mahkamah Agung pada tanggal 17 Juli 2023 mengeluarkan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2023 (SEMA).
SEMA yang lengkapnya berjudul Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan antar Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan, itu sendiri ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dan Ketua Tingkat Banding. Dengan demikian SEMA tersebut berlaku untuk internal hakim pada pengadilan di bawah Mahkamah Agung.
Walaupun memang tidak berlaku dan mengikat langsung kepada masyarakat umum, namun SEMA itu dipastikan akan berdampak pada masyarakat umum juga. Khususnya mereka para pasangan beda agama yang bermaksud mengajukan permohonan pencatatan pernikahan mereka ke pengadilan. Mereka hampir pasti akan gigit jari jika mengajukan permohonan penetapan pencatatan ke pengadilan.
Empat cara populer
Selama ini, ada empat cara populer yang kerap dilakukan pasangan beda agama. Sebagaimana dikutip dari hukumonline, empat cara tersebut adalah pertama, menikah di luar negeri. Nanti mereka akan mencatatkan pernikahannya setelah kembali ke Indonesia.
Cara kedua, yang jamak dilakukan adalah penundukan sementara pada salah satu hukum agama. Dengan cara salah satu pihak menundukan diri kepada hukum agama pasangannya dengan berpindah agama.
Cara ketiga adalah dilakukan menurut masing-masing agama. Misalnya pagi hari menikah dengan cara hukum agama Islam, lalu sore harinya menikah lagi di gereja.
Dan terakhir adalah meminta penetapan pengadilan. Khusus untuk yang melalui jalur penetapan pengadilan, Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 1400K/Pdt/1986 tanggal 20 Januari 1989 disebut-sebut sebagai putusan pengadilan pertama yang mengakui adanya pernikahan beda agama.
Jalur penetapan pengadilan menjadi lebih “legal” setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk). Pasal 35 dan Penjelasan Pasal 35 UU Adminduk menyebutkan bahwa perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama adalah perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan.
Ketentuan lebih detail kemudian dituangkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 108 Tahun 2019. Di dalam Pasal 50 ayat (3) Permendagri tersebut dijelaskan bahwa pencatatan perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama dilaksanakan asalkan salah satunya ada salinan penetapan pengadilan.
Atas dasar ketentuan UU Adminduk dan Permendagri di atas maka kemudian para pasangan beda agama berbondong-bondong datang ke pengadilan. Sebagian besar beroleh hasil manis dengan dikabulkannya permintaan mereka untuk mencatatkan pernikahan. Meskipun ada juga hakim yang menolak mengabulkan permohonan pencatatan pernikahan beda agama.
Namun dengan terbitnya SEMA, bisa jadi tak akan ada lagi hakim yang mau mengabulkan permohonan pencatatan pernikahan beda agama. Sebab, SEMA itu salah satunya bertujuan untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum.
Keabsahan vs Pencatatan
Pada kalangan praktisi dan pegiat hukum ada pula diskursus yang menyatakan bahwa SEMA tersebut hanya mengatur pelarangan bagi hakim untuk mengabulkan pencatatan perkawinan beda agama. Namun tidak serta-merta SEMA tersebut menyatakan pernikahan beda agama agama tidak sah.
Apakah benar? Menurut penulis, kita harus kembali kepada ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
Sementara pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku.
Dari dua ketentuan pasal 2 UU Perkawinan di atas dapat kita lihat bahwa ada dua peristiwa hukum di sana,yaitu perkawinan dan pencatatan perkawinan. Hanya ada dua kombinasi dari dua peristiwa hukum tersebut.
Pertama, adanya perkawinan yang sah dan perkawinan tersebut dicatat. Ini yang jamak terjadi di masyarakat Indonesia. Misalnya, bagi kalangan muslim, setelah memenuhi syarat dan rukun nikah, kemudian perkawinan tersebut tercatat di KUA setempat. Bagi masyarakat beragama Kristen, setelah mendapatkan pemberkatan di gereja serta akte perkawinan di gereja, lalu tercatat juga di kantor kependudukan dan pencatatan sipil setempat.
Kedua, adanya perkawinan yang sah namun perkawinan tersebut tidak dicatat. Di masyarakat ini lebih dikenal dengan istilah nikah siri atau nikah bawah tangan. Perkawinan ini hanya dilakukan di depan pemuka agama berdasarkan syarat dan rukun dari masing-masing hukum agama. Tanpa ada pencatatan ke KUA maupun kantor pencatatan sipil.
Dengan adanya SEMA tersebut, kalaupun ada hukum agama yang membolehkan kawin beda agama, maka para pasangan tersebut akan berada pada situasi kedua.
Manfaat vs Mudharat
Jika pasangan beda agama tetap nekat melanjutkan hubungan mereka tanpa ada pencatatan seperti situasi nomor dua di atas, ini akan memiliki dampak atau risiko hukum lainnya seperti masalah administrasi kependudukan. Contoh yang paling kecil adalah mengurus kartu keluarga bagi pasangan beda agama. Lalu ketika mereka memiliki keturunan, maka si anak di dalam akta kelahirannya hanya disandarkan kepada ibu.
Kondisi yang makin memprihatinkan adalah jika terjadi perceraian/perpisahan. Sulit bagi si ibu untuk menuntut haknya sebagai istri maupun hak anak atas nafkah dari ayahnya. Pengadilan juga dipastikan akan mempersulit tuntutan tersebut kalau tidak ada bukti adanya perkawinan.
Kondisi lainnya adalah jika salah satu pihak meninggal. Bagaimana dengan penentuan mengenai ahli waris, hukum waris yang digunakan, dan pembagian harta warisan. Sebab urusan waris antara pihak yang satu agama saja bisa terjadi sengketa. Bagaimana jika sistem hukum warisnya saja berbeda? Misalkan A laki-laki Islam menikah dengan B perempuan Hindu. Saat A meninggal dunia dia meninggalkan B, anak-anak mereka, dan orang tua dari A. Penyelesaian sengketa warisnya akan sangat rumit.
Dr Fahruddin Faiz, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dikutip dari hukumonline, menjelaskan beberapa kemungkinan mudharat pernikahan beda agama. Antara lain ketidaknyamanan karena harus menjalani hidup dengan pasangan yang menurut umum “salah” sebagai konsekuensi dari mempertahankan dan menjalani agamanya masing-masing.
Sebagai penutup, walaupun SEMA sudah menutup peluang untuk melegalkan pernikahan beda agama, tapi masih ada tiga jalur lain yang bisa ditempuh. Namun pasangan beda agama sebaiknya mempertimbangkan dan berkomitmen terlebih dulu mengenai keluarga seperti apa yang dibangun dan bagaimana mewujudkannya.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.