tirto.id - Direktorat Jenderal Bea dan Cukai bikin ramai media sosial setelah mengunggah infografik pada Rabu, 16 Oktober 2019. Di sana, mereka menunjukkan bagaimana caranya bijak bermedia sosial.
Yang mereka maksud bijak di antaranya tidak mengunggah, share, like, konten pornografi, radikalisme, terorisme, pelecehan, dukungan LGBT, isu SARA; informasi rahasia pekerjaan, negara atau informasi yang belum dipublikasikan secara resmi oleh pihak yang berwenang; dan konten keberpihakan politik termasuk pemilihan presiden.
Kasi Humas Ditjen Bea Cukai, Sudiro, mengatakan unggahan tersebut ditujukan untuk karyawan di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu)--meski unggahan itu jelas-jelas bisa dibaca semua orang karena diunggah di media sosial.
“Itu imbauan untuk internal pegawai Kemenkeu,” tutur Sudiro kepada reporter Tirto, Senin (22/10/2019) malam.
Karena itulah dalam unggahan yang sama Ditjen Bea Cukai juga mengajak warganet untuk melaporkan pegawai Kemenkeu yang melanggar poin-poin yang disebutkan.
Mempersempit Ruang Gerak ASN
Unggahan ini segera dipertanyakan sejumlah pihak. Salah satunya Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati. Menurutnya, aturan itu mengekang kebebasan berpendapat Aparatur Sipil Negara (ASN).
“Ini menunjukkan semakin banyak kontrol kepada ASN. Padahal mereka, kan, punya kebebasan berpendapat,” kata Asfin saat dihubungi reporter Tirto.
Implikasi terjauh dari pengekangan kebebasan ini adalah ASN dididik untuk jadi orang yang tidak kritis, dan pada akhirnya akan melanggengkan korupsi dan penyalahgunaan wewenang di lingkungan kerja.
Kemudian, kata Asfin, hal-hal yang diatur dalam cuitan itu tak memiliki parameter yang jelas.
“Misalnya dia bilang radikalisme, bisa saja kita bilang orang yang tidak suka dengan orientasi seksual berbeda itu radikal. Juga misalnya rahasia pekerjaan. Apa itu rahasia pekerjaan? Kita punya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, selama dalam batas-batas tertentu, itu hak orang untuk mengetahui apa yang dilakukan bea cukai, dan lain-lain,” tegasnya.
“Kecuali rencana operasi membongkar penyelundupan untuk menghindari bea. Itu baru rahasia.”
Melarang Diskriminasi, tapi Mendiskriminasi
Asfin juga mengatakan Dirjen Bea dan Cukai diskriminatif, padahal dalam cuitan itu jelas-jelas mereka mengatakan kalau pegawai Kemenkeu dilarang diskriminatif. Ini tertera dalam larangan menyebarkan konten dukungan terhadap LGBT.
“Itu pernyataan bisa diskriminatif karena selama tidak ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang, itu hak orang (punya orientasi seksual berbeda),” tutur Asfin.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (PDF) telah tegas melarang siapa saja diskriminatif.
Dalam beleid itu, pengertian diskriminasi dijelaskan panjang lebar, yaitu, “setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung atau tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik,
yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.”
Magdalena Sitorus, Komisioner Komnas Perempuan, meringkat definisi itu dengan mengatakan “non-diskriminasi berarti tidak boleh melakukan pembedaan.”
Menurut Magdalena, jika Kemenkeu memang mau menerapkan prinsip non-diskriminasi, maka mereka tak boleh eksplisit ofensif terhadap kelompok tertentu, termasuk LGBT.
Dia menegaskan kalau semua pihak harus menghargai perbedaan orientasi seksual dan identitas gender.
“Itu (orientasi seksual dan identitas gender) sesuatu hal yang butuh pengakuan dari yang bersangkutan. Itu kan urusan saya. Kalau ada pengakuan dia LGBT, terus kenapa? Kita kan harus menghargai kejujuran orang,” kata Magdalena kepada reporter Tirto.
Dan melarang orang mendukung LGBT adalah bentuk diskriminasi itu sendiri.
Penulis: Widia Primastika
Editor: Rio Apinino