tirto.id -
Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) Universitas Gadjah Mada menyatakan, moda transportasi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) belum optimal mendukung pengembangan pariwisata. Semestinya moda transportasi ini bisa menjadi sarana pelengkap dan penguat sebagai kota budaya, wisata, dan pendidikan.
"Masih sedikit yang mampu menjangkau dan menghubungkan objek wisata satu ke objek wisata lainnya yang lebih jauh," kata Peneliti Pustral Universitas Gadjah Mada, Lilik Wachid Budi Susilo di Yogyakarta, Jumat, (1/4/2016).
Lilik mengatakan, Bus Trans Jogja dengan trayek yang masih terbatas belum bisa mendukung pengembangan pariwisata. Moda transportasi tersebut baru ada di dalam “ring road” sehingga wisatawan masih perlu menyewa kendaraan jika ingin menjangkau objek wisata yang lebih jauh.
"Banyak calon penumpang di lokasi-lokasi strategis, namun jika ingin menggunakan Trans Jogja masih harus berjalan jauh menuju shelter," kata Lilik.
Idealnya, menurut Lilik, Bus Trans Jogja tidak hanya sebagai sarana transportasi reguler perkotaan saja, melainkan juga sebagai transportasi wisata. Peran moda transportasi dalam konteks Yogyakarta semestinya bisa menjadi sarana pelengkap dan penguat Yogyakarta sebagai kota budaya, wisata, dan pendidikan, bukan sekadar menjalankan fungsi sebagai transportasi publik.
"Seluruh moda transportasi yang ada di Yogyakarta harus menjadi bagian dari Yogyakarta sebagai kota wisata. Tentunya dengan standar wisata yang ada," kata dia.
Untuk itu, Lilik menyarankan agar pemangku kebijakan terkait dapat mengevaluasi kembali mengenai ketersediaan moda transportasi yang tepat menuju destinasi yang tersebar di lima kabupaten/kota.
Tidak hanya Bus Trans Jogja, tetapi juga peran transportasi tradisional, seperti andong dan becak juga harus lebih dioptimalkan.
"Becak dapat ditempatkan di objek-objek wisata tertentu dengan rute yang disesuaikan dengan alur cerita yang berkaitan objek wisata tersebut," kata Lilik.
Agar lebih optimal dalam mendukung pariwisata, Lilik menginginkan becak dilengkapi dengan citra dan cerita yang memiliki keterkaitan dengan objek wisata tertentu di Yogyakarta.
“Dengan demikian, pengguna moda transportasi yang ada di Yogyakarta bukan hanya akan membayar berdasarkan jasa, melainkan juga dari aspek nilai budayanya,” kata Lilik. (ANT)