tirto.id - Air minum dalam kemasan bukan hal baru di Indonesia. Lebih dari seabad silam, produk ini sudah ada di Indonesia. Koran terkemuka Hindia-Belanda, Soerabaijasch Handelsblad punya satu edisi soal air minum dalam kemasan itu. Soerabaijasch Handelsblad (08/12/1903) menurunkan reportase mereka ke sebuah pabrik pengolahan air mineral di Semarang. Sang reporter begitu terkesan dengan pabrik tersebut.
“Sebuah pabrik yang sangat unik, di dalamnya pencahayaan sangat baik, dengan lantai pabrik adalah ubin-ubin dari Eropa, dindingnya dilapisi ubin-ubin mengkilap yang sangat bersih. Di sepanjang pabrik, sebuah konveyor menghantarkan botol-botol dari satu mesin ke mesin yang lainnya,” tulis ini koran.
Penyaringan air minum ini tak main-main. “Pabrik ini memiliki sebuah mesin bilas, dengan tiga mesin bilas yang berbeda-beda, mesin ini digunakan untuk mencuci botol-botol supaya lebih steril.” Itu semua harus dilakukan. “Sebelum diisi dan dikirim ke mesin lainnya untuk diberi label.”
Pabrik air minum kemasan itu adalah Hygeia. Ia dianggap sebagai pabrik air minum yang pertama ada di Hindia Belanda. Pendirinya seorang pemuda Eropa kelahiran Echten, Negeri Belanda pada 1870, bernama Hendrik Freerk Tillema. Apoteker jebolan sebuah sekolah di Groningen ini, sebelum hijrah ke Nusantara pernah bekerja dulu di sebuah apotek di Kota Bolsward, Belanda. Barulah di tahun 1896 dia hijrah. Tak hanya jadi apoteker, tapi juga terjun ke dunia usaha.
Baca juga:
D.M.G Koch, dalam bukunya Batig Slot, Figuren uit het oude Indie, menyebut Tillema mula-mula bekerja di perusahaan R. Klaasesz and Co, sebuah perusahaan farmasi dan punya pabrik minuman limun. Dalam waktu tiga tahun, Tillema sukses mengakuisisi perusahaan ini. Dia kemudian fokus pada pengolahan minuman kemasan. Menurutnya, R. Klaasesz & Co unggul untuk urusan itu. Tillema yang pekerja keras dan penuh ide pun sukses mengembangkan beragam minuman berkarbonasi. Hygeia adalah produk unggulannya.
Dengan pemasarannya yang masif, Hygeia segera menarik perhatian para khalayak Hindia Belanda. Bermacam reklame produk Hygeia terpampang di berbagai lokasi, mulai dari taman-taman kota, stasiun-stasiun kereta api, bahkan dari angkasa— dengan sebuah balon udara menghamburkan selebaran-selebaran produk Hygeia ini. Promosi masif itu membuat Hygeia menjadi produk yang dikenal luas. Pemasarannya tak hanya Semarang saja, tapi juga sampai Surabaya, Banjarmasin, Samarinda, Riau, dan lainnya.
Jika Anda berkunjung ke Pasar Ikan Hias di daerah Jurnatan, Semarang, masih terlihat bangunan tua yang warna catnya kusam. Di atas terpal-terpal lapal pedagang ikan hias itu, terlihat di dinding sebuah tulisan lawas: Faberik Hygeia. Gedung itu, menurut buku yang mengulas sejarah Semarang, Semarang, Beeld van Een Stad, adalah bangunan dengan konstruksi beton pertama kali di Semarang. Sayangnya, gedung itu belum tercatat dalam daftar bangunan cagar budaya Kota Semarang.
Tak banyak orang yang berlalu lalang di gang selebar enam meter itu. Tak banyak pula warga Kota Semarang yang tahu bahwa dahulunya, di gedung yang dibangun tahun 1901 itu, pernah ada pabrik air minum dalam kemasan yang besar dan terkenal.
Tillema sendiri tak hanya dikenal sebagai pengusaha. Tahun 1910, tiga tahun setelah Hygeia berdiri, Tillema duduk sebagai anggota dari Gemeente Raad (Dewan Kotapraja) Semarang. Sebagai orang yang dekat dengan pengelolaan air, Tillema menyuarakan banyak ide soal kebersihan lingkungan. Dia mengusulkan pembangunan sarana air ledeng dari sumber mata air di Gunung Pati, Semarang.
Selain urusan air bersih, Tillema juga mengusulkan penataan kampung-kampung di Semarang. Ia mengusulkan pembukaan kawasan pemukiman di daerah perbukitan di kawasan Candi Baru, Semarang. Tak heran jika di kawasan Candi Baru terdapat Tillema Plein (Taman Tillema), untuk mengenang pemikirannya untuk Kota Semarang. Taman itu belakangan hilang. Tak ada lagi nama Tillema, karena sudah ganti nama jadi Taman Sudirman. Masyarakat lebih suka menyebutnya sebagai Taman Gajahmungkur—karena terletak di Kecamatan Gajahmungkur.
Baca juga:
Pada tahun 1914, Tillema menjual Hygeia. Ia mendapatkan 500 ribu gulden dari penjualan itu. Setelah tak lagi menjadi pengelola Hygeia, Tillema punya kegiatan yang dianggapnya seru. Dengan uang yang melimpah, Tillema yang gandrung pada dunia fotografi, berkeliling Hindia-Belanda. Dia memotret beragam suasana sosio-kultur masyarakat pribumi. Perjalanan keliling Hindia Belanda itu, dimulai pada 1915. Hasil dari perjalanan itu dihimpun dalam buku Kromoblanda. Tentu saja dia punya banyak koleksi foto, yang kala itu bukan barang murah. Hingga tahun 1938, Tillema telah mengoleksi 5.000 foto karyanya sendiri. Negatif dari foto-foto itu disimpan di Museum Antropologi Nasional di Leiden.
Masyarakat ilmu pengetahuan di Negeri Belanda juga menghormatinya. Pada 9 November 1940, Tillema dihadiahi gelar doktor kehormatan bidang kedokteran dari Universitas Groningen, almamaternya, atas komitmennya pada kesehatan publik di Hindia-Belanda. Dengan sisa-sisa uangnya yang masih melimpah itu pula, Tillema kembali Negeri Belanda. Dia tinggal di Bloemendal, Groningen. Laki-laki yang meninggal dunia pada 1952 ini, membangun villa di sana dan dinamainya: Semarang.
Penulis: Muhammad Yogi Fajri
Editor: Petrik Matanasi