tirto.id - Baru-baru ini, Bytedance, perusahaan induk TikTok, mengumumkan akan merogoh investasi senilai 8,8 miliar dolar Amerika Serikat (AS) untuk pembangunan pusat data di Thailand, melansir Reuters. Jumlah ini kalau dirupiahkan sekitar Rp130 triliun. Jumlah yang fantastis dan ironis, mengingat pengguna TikTok terbanyak di dunia berada di Indonesia.
Investasi ini dikabarkan akan dikucurkan selama lima tahun ke depan. Vice President Kebijakan Publik TikTok, Helena Lersch, mengumumkan rencana tersebut saat kunjungannya ke Bangkok, Jumat (28/2/2025).
Sementara itu, mengutip Bangkok Post, Lersch juga menyampaikan rasa terima kasihnya kepada Pemerintah Thailand atas kebijakan yang memfasilitasi rencana investasi mereka. Dia menegaskan komitmen TikTok untuk bekerja sama dengan pemerintah dan semua pihak untuk mendorong Negeri Gajah Putih lebih maju lagi di era digital ini.
Pusat penyimpanan data ini diharapkan akan meningkatkan pengelolaan data pengguna aplikasi tersebut di Thailand dan Asia Tenggara. TikTok juga menyatakan tujuannya untuk menjadikan Thailand sebagai pusat teknologi regional.
Kondisi ini menjadi ironi tersendiri bagi Indonesia. Memang, Thailand, dengan pengguna sebanyak 50 juta orang, adalah salah satu pangsa pasar terbesar TikTok lainnya. Tapi, Indonesialah negara dengan pengguna TikTok terbesar di dunia, setidaknya berdasar data Juli 2024. Jumlah pengguna TikTok di Indonesia mencapai 157 juta, tiga kali lipat di atas Thailand, dan telah melompati Amerika Serikat.
Jika mau tarik mundur lagi, pada Juni 2024 lalu, Bytedance juga lebih memilih melakukan investasi untuk pusat data di Malaysia. Nilai investasinya kala itu sekitar 2,1 miliar dolar AS (sekitar Rp34 triliun).
Regulasi dan Insentif Pajak Tidak Bersaing
Asosiasi Penyelenggara Data Center Indonesia (Indonesia Data Center Provider Organization, IDPRO) menyayangkan keputusan Bytedance untuk berinvestasi di Thailand. Sebab, Indonesia sebenarnya punya potensi yang sangat besar untuk bisnis pusat data.
Menurut Ketua Umum IDPRO, Hendra Suryakusuma, berdasar forecast sejumlah lembaga internasional, Indonesia punya potensi investasi pusat data mencapai 2,3 gigawatt pada tahun 2030. Sementara saat ini, pemenuhannya baru sekitar 300 megawatt.
“(Investasi pusat data TikTok di) Thailand itu seharusnya jadi alarm keras kalau menurut saya bagi kita untuk bisa memperbaiki regulasi, insentif, serta sarana pendukung juga ya," ujar Hendra kepada Tirto, Jumat (7/3/2025).
Dia menjabarkan, investasi untuk 1 megawatt saja akan memerlukan dana sekitar 10 juta dolar AS. Dengan hitung-hitungan kasar, terdapat investasi hampir 900 megawatt yang justru lari ke Thailand.
Menurut Hendra, investasi pusat data TikTok di Thailand ini tidak bisa dilepaskan dari Keputusan Kerajaan (Royal Decree) terkait Kode Pendapatan yang baru saja disahkan. Dekrit tersebut menerapkan pengurangan pajak dalam rangka menarik investasi ke sana.
“Jadi peraturan baru di Thailand itu menyampaikan bahwa tidak ada lagi tax dan juga import duty untuk chipset Nvidia. Jadi ini insentif investasi yang jauh lebih menarik ya,” terangnya.
Jika membandingkan dengan Indonesia, keuntungan bebas pajak dan beban biaya impor tersebut baru bisa dirasakan di Kawasan Ekonomi Khusus, Nongsa Digital Park di Batam. Hendra mengatakan kalau pemerintah Thailand menerapkan kebijakan tersebut setelah melihat Malaysia, yang investasi digitalnya bertumbuh dengan sangat cepat.
“Tapi mereka (Thailand) memang insentifnya menarik banget. Kalau bicara dari kacamata investor, itu adalah langkah yang sangat organik gitu ya untuk mereka investasi ke sana,” tambah Hendra lagi.
Lebih lanjut, Hendra menjelaskan tiga parameter umum terkait pertimbangan pemilihan investasi data center. Pertama terkait regulasi, kemudian faktor kedua dan ketiga adalah tarif listrik dan ketersediaan tenaga ahli, serta kemampuan perusahaan dalam melakukan pembangunan data center.
Untuk dua faktor terakhir, menurut Hendra Indonesia sebenarnya masih bersaing. Tarif listrik Indonesia dibanding negara tetangga masih kompetitif. Pun, dengan kemampuan sumber daya, pada Oktober 2024 lalu saja, salah satu perusahaan Indonesia, Bersama Digital Data Centres (BDDC), penyedia pusat data dalam kota, baru meresmikan JST1, Pusat Data Tier IV.
Namun terkait regulasi, menurutnya, masih banyak yang harus dibenahi. Setidaknya ada dua aturan yang perlu disesuaikan agar Indonesia bisa bersaing. Pertama, terkait dengan kedaulatan data.
"Kita jauh ketinggalan. Karena bicara di Malaysia, Thailand, Vietnam, mereka semua sudah punya onshoring data regulation," ujar Hendra.
Adanya aturan tersebut akan memaksa perusahaan teknologi yang beroperasi di negara-negara tersebut untuk menyimpan dan mengelola data yang terkumpul di dalam negeri.
Di Indonesia, yang memberi kebebasan perusahaan teknologi untuk menyimpan data di luar negeri, muncul potensi ketergantungan terhadap regulasi negara lain dalam mengakses data. Padahal, dalam Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) sudah diatur bagaimana data seharusnya diproses dan disimpan.
“Dan juga dampaknya terhadap ekosistem digital nasional. Jadi yang menikmati justru negara lain gitu ya, sementara konsumen mereka di Indonesia. Jadi Indonesia hanya dijadikan negara konsumen. Sementara peluang investasinya, pencipta lapangan kerjanya, atau pengembangan infrastruktur dan juga teknologinya, kita nggak bisa menikmati,” tutur Hendra.
Penyesuaian regulasi kedua, adalah terkait insentif di bidang keuangan. Di Indonesia, masih ada penetapan pajak sekitar 15 persen. Bandingkan dengan di Thailand dan Malaysia yang memberi kemudahan, dengan tak adanya beban pajak.
"Contohnya kemarin ya, Indosat menjadi Nvidia Cloud Partner untuk Nvidia. Itu artinya ada billing commitment mereka untuk membeli 250 juta dolar chipset-nya Nvidia. Nah, ditambah 15 persen saja sudah berapa ratus miliar pajak yang harus dibayarkan Indosat,” tutur Hendra.
Dia juga menambahkan, dibanding dua negara tetangga, kemudahan berbisnis di Indonesia masih buruk. Belum lagi proses perizinan yang membebankan biaya tambahan serta harus berurusan dengan kelompok-kelompok tertentu yang dapat mengganggu proses pembangunan.
“Ini yang akan membuat, walaupun Indonesia adalah pasar digital terbesar, gitu ya, di Asia Tenggara, tapi investor ini reluctant. Mereka merasa kayak, ‘wah ribet nih regulasinya tidak fleksibel, mungkin dari aspek insentif pajaknya kurang, proses perizinan dan birokrasi juga panjang gitu’,” ujar Hendra.
Keluhan Hendra terkait regulasi kontrol data dan insentif pajak ini juga menjadi keluhan pelaku usaha. Salah satu pengusaha pusat data yang menjadi sumber Tirto, menyebut tidak adanya aturan yang memaksa perusahaan digital untuk menaruh sistemnya di Indonesia, membuat persaingan dengan negara seperti India, China, Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Thailand menjadi tidak berimbang.
"Mereka itu punya peraturan yang mewajibkan bahwa semua data warga mereka disimpan dan diproses di dalam negara mereka. Enggak boleh di luar. Nah, kita ini memang agak aneh Indonesia ini. Saya juga nggak ngerti kenapa pemerintah mengizinkan data orang Indonesia itu diproses dan disimpan di luar negeri,” ujar sumber yang meminta namanya dirahasiakan.
Kemudian, terkait pajak juga, Indonesia berada di posisi yang tidak diuntungkan. Aturan baru Thailand memberikan perusahaan berbasis teknologi untuk memasukkan barang bebas pajak sampai 10 tahun. Di Malaysia, kebijakannya juga serupa.
“Jadi pemerintah (Indoensia) itu masih melihatnya, apa pun kalau bisa dipajakin, dipajakin. Kalau menurut saya sih sebenarnya harus ada pertimbangan ya, kalau memang tujuannya untuk meningkatkan investor,” tambahnya.
Senada, Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Muhammad Arif Angga, juga berpendapat soal kepastian hukum di Indonesia sebagai salah satu pertimbangan perusahaan seperti TikTok memilih tidak investasi lebih besar di Indonesia.
“Data center ini kan bisnis yang long term, puluhan tahun. Saya rasa investor pasti butuh kepastian hukum, apakah negara kita sudah memberi kepastian hukum dan tidak bakal berubah-ubah regulasi dalam jangka waktu lama, saya rasa ini sangat penting,” tuturnya dalam pesan singkat kepada Tirto, Jumat (7/3/2025).
Selain itu menurut Angga, Indonesia juga bisa mencoba memberikan tarif khusus untuk listrik. Mengingat itu adalah komponen terbesar dalam mendukung operasi pusat data.
“Pemerintah mungkin juga bisa memberi insentif-insentif, misalnya free tax, untuk bahan baku modal data center itu juga sangat membantu dan menjadi pertimbangan untuk memilih suatu negara tujuan investasi,” pungkas Angga.
Penulis: Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Farida Susanty