tirto.id - Seto tersenyum. Ia menampakkan wajah gembira saat seorang pewarta memberinya sebuah amplop. Sudah saban tahun, Seto menerima amplop yang memang diberikan sebagai hadiah buat berlebaran.
Amplop itu berisi uang hasil patungan wartawan yang terbiasa bertugas di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat. Pria 48 tahun asal Cilacap, Jawa Tengah, tak bisa menutupi rasa senangnya. Ia terharu masih ada orang lain yang mau memperhatikan dirinya.
“Bukan [karena] nilainya, tapi perhatiannya,” ucap Seto, Kamis malam (8/7/2018).
Wartawan yang biasa bertugas di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, tak asing dengan nama Seto. Ia salah seorang pesuruh honorer di pengadilan. Seto punya tugas mulai dari mempersiapkan ruang sidang, memperbaiki sound system di ruang sidang, hingga memberitahukan jadwal sidang kepada wartawan.
Jumlah penghasilan yang diterimanya memang tak besar. Sebagai pesuruh, Seto mendapat gaji sebesar Rp 2,5 juta per bulan. Jauh di bawah angka upah minimum DKI Jakarta sebesar Rp 3,6 juta. Besaran THR yang ia terima pun sama dengan gaji bulanannya.
Ia bersyukur hadiah dari pewarta di Tipikor yang sudah diterimanya sejak 2010 bisa membantunya pulang ke kampung bersama istri dan dua anaknya. “Alhamdulillah. Cukup untuk pergi pulang dan beli makan di jalan,” kata Seto.
Kerap Dapat ‘Imbalan’
Seto mengaku gaji yang diterimanya dari pengadilan memang kecil. Terkadang, ia kehabisan ongkos berangkat kerja lantaran gajinya sudah habis untuk menutupi kebutuhan hidup. Meski begitu, kata Seto, rezeki datang tanpa dinyana. Terkadang, ada hakim atau jaksa yang memberinya ongkos.
“Kalau ada orang yang ngasih, tapi yang kira-kira enggak berbahaya, ya saya terima,” ucap Seto.
Konteks bahaya yang dimaksud Seto tak lain merujuk pada para pihak yang berperkara, terutama dari kubu terdakwa dan penasihat hukum. Seto mengaku sangat berhati-hati menerima pemberian dari penasihat hukum karena takut dengan dampaknya kelak.
Ia mencontohkan seorang pengacara yang meminta bantuannya untuk bertemu dengan hakim seraya memberi imbalan. “Saya sudah enggak mau duluan. Saya tolak itu,” tutur Seto.
Selama hampir 10 tahun bekerja menjadi bagian supporting persidangan, Seto paham karakter penasihat hukum yang berbahaya. Biasanya, kata Seto, penasihat hukum tersebut akan meminta tolong seraya memberikan jumlah duit yang tak wajar alias jumlahnya banyak. “Sudah mengarah ke yang beresiko, aku baru mundur,” kata Seto.
Kesalahan Mahkamah Agung
Cerita Seto yang bergaji kecil dan kerap mendapat persekot dari sejumlah pihak yang berkepentingan di pengadilan memang bukan cerita baru. Menurut Ketua Divisi Advokasi Yayasan Bantuan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnu, praktik tersebut bukan hal baru. "Tak sepatutnya pekerja honorer menerima uang dari pihak berkepentingan," ujar Isnur.
Isnur menyebut permasalahan ini merupakan kesalahan Mahkamah Agung yang membiarkan pegawai honorer digaji kecil. Keberadaan pegawai honorer ini bisa menjadi celah munculnya mafia peradilan.
"Bukan cuma hakim, bukan cuma panitera, bahkan Office Boy atau satpam bisa jadi pemain dalam setan mafia peradilan,” kata Isnur kepada Tirto.
Kabiro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Abdullah bersilang pendapat dengan Isnur. Ia enggan MA disalahkan karena masalah pegawai honorer yang rentan dimanfaatkan ini.
Abdullah juga menilai bahwa pekerja honorer sah menerima THR atau hadiah lainnya selama tidak berkaitan dengan perkara. Ia pun memberi saran “para honorer harus berhati-hati bila menerima sesuatu. Banyak orang yang memberi memanfaatkan momen-momen seperti ini dengan berbagai dalih.”
Abdullah mengaku dirinya memahami perasaan para pekerja honorer yang kekurangan uang THR, terlebih beban kerja mereka cukup berat dan gajinya kecil. Oleh sebab itu, ia tidak memasalahkan pemberian THR karena dirinya pun kerap urunan memberikan THR tambahan kepada honorer.
“Sebagian yang kami terima kami bagikan kepada mereka. Biar sama-sama ketawa,” kata Abdullah.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Mufti Sholih