tirto.id - Jakarta dalam kepala seorang Timo Tjahjanto adalah kota yang kaya kebrutalan: bisnis narkoba, perang antar gangster, polisi korup, pengkhianatan, hingga pembalasan dendam. Jakarta tak ubahnya medan perang. Darah manusia muncrat dan mengalir di mana-mana; di jalanan macet, rumah susun, tempat jagal hewan, sampai pelabuhan utama di kawasan utara kota. Tak ada gambaran yang baik karena nyawa tak dihargai.
Mimpi buruk itu ditawarkan Timo dalam The Night Comes for Us (selanjutnya The Night), sebuah film Indonesia pertama yang diproduksi oleh Netflix. Sebelum resmi dipegang Netflix, sebagaimana diwartakan Variety, The Nightjadi buruan banyak rumah produksi, dari Radius (anak perusahaan The Weinstein Company) hingga Lantern Capital.
RumahDara adalah film yang dahsyat dengan cerita yang tak cukup lazim dijumpai di bioskop-bioskop Indonesia: sebuah keluarga yang rajin menjalankan ritual membantai, memutilasi, dan mengkonsumsi manusia agar panjang umur serta awet muda. Ritual itu merembet jadi bisnis keluarga dengan deretan klien yang cukup luas, dari pejabat sampai sosialita, yang semuanya ingin menolak tua dan tampil rupawan dengan makan daging manusia.
Tentu ada darah, yang bahkan dirayakan. Sepanjang film, saya tak henti-hentinya merasa ngilu menyaksikan Dara (Shareefa Daanish) beserta anak-anaknya meracuni, menyiksa, dan berusaha memangsa tamu mereka. Seorang tamu digergaji, yang lain diinjak bola matanya dengan sepatu hak tinggi, ada pula yang cukup beruntung karena 'cuma' ditusuk. Rumah Dara adalah gold standard sinema slasher Indonesia.
Sadisme dan darah terus dipertahankan oleh Timo, baik ketika solo karier maupun berduet dengan Kimo. Killers (2013) dan Sebelum Iblis Menjemput (2018) adalah salah dua contohnya. Timo juga menggarap film pendek “Safe Heaven” yang tergabung dalam seri V/H/S/2 (2013) produksi Bloody Disgusting. (Ingat adegan di mana Epi Kusnandar berdiri tanpa busana, tubuhnya penuh darah, dan kemudian tertawa licik setelahnya? Memorable!)
Cerita The Night, film anyar Timo, cukup sederhana. Tokoh utamanya adalah Ito (Joe Taslim), seorang anggota Six Seas, kelompok pembunuh bayaran elite yang berafiliasi dengan kelompok gangster Triad Hong Kong. Six Seas terdiri dari enam orang yang tugasnya menjaga alur bisnis hitam, khususnya perdagangan narkoba, di perbatasan Thailand, Laos, dan Myanmar.
Suatu hari, Ito ditugaskan untuk menghabisi seisi desa karena beberapa penduduknya mencuri barang dagangan Triad. Misi itu dijalankan Ito tanpa kesulitan berarti, hingga akhirnya ia bertindak di luar perintah: menyelamatkan seorang anak perempuan. Six Seas, yang tahu kabar di lapangan, langsung murka dan memburu Ito.
Kekuatan—sekaligus jualan utama—dari The Night terletak pada adegan laga dengan koreografi yang berkualitas. Sejak menit awal sampai akhir film, penonton dimanjakan oleh baku hantam, perang senjata tajam, dan terjangan peluru yang menembus dada, perut, dan kepala. Bungkusan tiap adegan sangat detil, rapi, dan terkonsep.
Beberapa bagian amat membekas di benak saya. Adegan di rumah potong hewan milik Yohan (Revaldo), misalnya. Di rumah jagal itu, Ito, yang berupaya mengambil kembali uangnya, bertarung melawan anak buah Yohan. Ruang potong sapi yang pengap jadi saksi bagaimana Ito seorang diri secara harafiah menghancurkan bawahan Yohan dengan cara-cara brutal. Memecah kepala dengan daging sapi yang digantung, mengiris tulang kaki dengan mesin potong, dan berkali-kali menusuk rahang dengan pisau dapur yang luar biasa tajam. Tak bisa dibedakan mana darah sapi, mana darah manusia.
Pertarungan antara The Operator (Julie Estelle) melawan Elena (Hannah Al Rashid) dan Alma (Dian Sastrowardoyo) menjelang film berakhir juga tak kalah dahsyat. Usus terburai, jari putus, leher terlilit senar, dan laga yang keras. Tak sekadar ngotot membunuh, tiap karakter adalah mesin pembunuh yang sangat kalkulatif; mereka semua mampu memperhitungkan kapan harus menyerang, kapan mesti bertahan.
Barangkali tak berlebihan untuk menyebut The Night sebagai versi laga dari waralaba Final Destination. Tiap alat di sekitar karakter bisa berubah fungsi sebagai perkakas maut, entah itu dasi, potongan tubuh sapi, hingga bongkahan kayu berukuran kecil.
Membunuh, dalam The Night, di lain sisi adalah sesuatu yang tak jarang ironis. Jika Anda tak percaya, simaklah adegan saat Fatih (Abimana Aryasatya) diberondong puluhan peluru di dalam sebuah mobil yang memutar lagi “Benci Untuk Mencinta” milik Naif.
Banyak Celah
Koreografi laga, pengambilan gambar, dan musik latar The Night brilian belaka. Di sisi lain, belum terlihat kebaruan dalam karakter dan plot. Ia mengulangi apa yang pernah disajikan dalam Headshot (2016), ketika karakter utama berupaya lari dari masa lalunya, dianggap pengkhianat, lantas diburu karena dianggap berbahaya. Motivasi karakter utama dalam dua film Timo ini pun sama: cinta lokasi dengan orang baru.
Di Headshot, karakter utama bertemu dokter muda (Chelsea Islan), seketika jatuh hati, dan akhirnya komitmen untuk berhenti bertindak jahat demi memulai hidup baru. Sementara di The Night, Ito berubah karena Reina (Asha Kenyeri Bermudez) yang urung ia bunuh pada sewaktu ia membantai seisi desa.
Killers, yang dibikin dua tahun sebelum Headshot, cukup menawarkan kebaruan di samping sukses mengolah konflik dalam cerita. Killers menyajikan kisah tentang seorang psikopat asal Jepang yang tak sengaja memicu sisi gelap jurnalis asal Jakarta untuk melakukan hal yang sama: membunuh. Keduanya terhubung lewat internet dan punya ikatan yang rumit.
Barangkali Timo belum puas menjajaki tema dan gaya Headshot. Namun, sayangnya, karakterisasi dalam The Night pun tak dikembangkan secara maksimal oleh Timo. Ada karakter yang sebetulnya bisa dikembangkan dan sayangnya malah dipinggirkan. Contohnya Chien Wu (Sunny Pang), pentolan Six Seas. Dengan kapasitasnya sebagai bos biro pembunuh elit, Chien Wu cuma jadi pelengkap. Ia muncul beberapa kali untuk semata meracau tentang pentingnya arti loyalitas kepada Arian (Iko Uwais), konco kenthel Ito yang berubah jadi musuh.
Di saat bersamaan, Timo malah mengusung tokoh tanpa background sebagai pahlawan, sebutlah karakter yang dimainkan Julie Estelle. Sejak pertama muncul, karakter Julie Estelle tak terlihat punya motivasi yang jelas dan tiba-tiba saja membantu Ito.
Darah dan kekerasan dalam The Night akhirnya memang bikin kenyang. Sayangnya, celah-celah di dalamnya justru yang tak bikin puas.
Editor: Windu Jusuf