tirto.id - Pasangan capres-cawapres fiktif Nurhadi-Aldo yang viral di media sosial lewat kampanye dagelan semakin sering muncul di media arus utama. Beberapa waktu lalu, sosok asli Nurhadi—seorang tukang pijat dari Kudus—bahkan diundang dalam talk show Kompas TV yang dipandu Rosiana Silalahi.
Acara tersebut sebenarnya biasa saja. Yang dibicarakan juga itu-itu saja. Sesi yang cukup menarik muncul ketika Rossi menelepon kreator meme koalisi fiktif yang mengusung Nurhadi-Aldo, Koalisi Tronjal-Tronjol, yang dipanggil Edwin.
Secara tersirat, Edwin menyampaikan bahwa salah satu tujuan dari munculnya pasangan fiktif Nurhadi-Aldo adalah mendukung gerakan golongan putih (golput) alias tidak memilih salah satu paslon yang bertarung dalam pilpres.
Hal ini lantas direspons warganet. Mereka menyalahkan posisi tersebut, termasuk Ulin Yusron, seorang pesohor di Twitter. "Ternyata Nurhadi Aldo dan tim tengah bekerja untuk mengajak golput. Mulai sekarang berhenti share, retwet, regran, copas konten mereka. Beritahu semua netizen yuk,"katanya.
Advokat publik Alghiffari Aqsa mengatakan bahwa logika bahwa kampanye golput itu bermasalah, apalagi bisa membuat seseorang dijerat penjara, salah total. Sebab, dalam Undang-undang Pemilu, perbuatan yang bisa dipidanakan adalah menghalang-halangi seseorang sehingga membuat orang tersebut kehilangan hak suaranya.
Lagipula, dalam sistem pemilihan umum, orang diperbolehkan untuk abstain/tidak menggunakan hak suaranya. Golput, menurut Alghiffari, adalah bentuk lain dari itu.
"Kampanye golput sepanjang tidak ada penghalangan, tidak ada pemaksaan, seperti yang disampaikan Nurhadi Aldo itu sah-sah saja. Bahkan kalau itu disampaikan secara terang-terangan," ujarnya.
Tindakan menghalang-menghalangi yang bisa dikategorikan ke dalam tindakan pidana Pemilu, menurut Alghiffari, misalnya, "kalau perusahaan menyuruh kerja di waktu pemilihan, sehingga karyawan akhirnya kehilangan hak untuk memberikan suara."
Golput adalah ekspresi ketidakpercayaan warga terhadap partai politik serta politikus, kata Alghiffari. Golput justru menegaskan bahwa masyarakat masih punya kekuatan untuk menghukum politikus yang tak memenuhi janjinya.
"Hak untuk golput juga kan sebenarnya dilindungi Undang-Undang, Dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, konvensi internasional tentang hak sipil dan politik (ICCPR) itu juga diatur. Bahkan kalau itu disampaikan secara terang-terangan, ya enggak masalah," imbuh mantan direktur LBH Jakarta tersebut.
Bagi Alghiffari, jika golput dipidanakan, maka logika yang sama harusnya juga bisa diterapkan pada orang-orang yang mengkampanyekan anti-golput.
Faktanya angka golput sebelum kemunculan Nurhadi-Aldo memang sudah tinggi. Pada era reformasi, puncak golput terjadi pada Pileg 2009. Angkanya mencapai 29,1 persen. Fenomena golput bahkan sudah ada sejak pemilu pertama tahun 1955.
Komisioner KPU RI Viryan Azis yakin kehadiran Nurhadi-Aldo tak bakal meningkatkan angka golput. Capres-cawapres fiktit Nurhadi-Aldo hanya pengingat bahwa pemilu kita kali ini masih kurang "riang gembira."
"Itu hadir sebagai warna baru, menyegarkan publik, mengingatkan banyak pihak termasuk kami dan peserta pemilu akan pentingnya fokus pada substansi pemilu itu sendiri," katanya, Selasa (8/1/2019).
Penulis: Hendra Friana
Editor: Rio Apinino