tirto.id - Syarat masuk untuk rekrutmen Kepolisian RI alias Polri diminta paling rendah sarjana strata satu (S1). Hal ini diusulkan Leon Maulana Mirza Pasha dan Zidane Azharian Kemalpasha yang mengajukan uji materiil Pasal 21 ayat (1) huruf d. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) terhadap UUD Republik Indonesia 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut kedua pemohon, polisi lulusan SMU sederajat memiliki pemahaman hukum minim atau bersumber daya manusia (SDM) rendah.
Disebutkan oleh Leon bahwa ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf d menetapkan pendidikan minimal bagi calon anggota kepolisian minimal SMU atau sederajat. Hal ini menurut para pemohon mengabaikan korelasi esensial antara latar belakang pendidikan dan kompetensi substantif yang diperlukan dalam menjalankan fungsi kepolisian secara profesional dan bertanggung jawab.
Menurut mereka, fungsi kepolisian tidak lagi hanya bersifat fisik dan administratif, tetapi juga menuntut penguasaan keilmuan yang bersifat khusus, seperti ilmu hukum, kriminologi, psikologi, sosiologi, teknologi informasi, hingga komunikasi publik sebagaimana dilakukan dalam pendidikan S1.
Jika pasal a quo tetap dipertahankan, menurut mereka, maka bertentangan dengan Pasal 30 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Sebab, Pasal 30 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 telah mengamanatkan peran Kepolisian sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat yang bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
Namun di lapangan, masih ditemukan ketidaktahuan terhadap norma-norma hukum acara pidana, ketidaktepatan menilai unsur-unsur tindak pidana, hingga kekeliruan prosedural yang berulang dilakukan polisi.
“Sering kali menyebabkan laporan yang sah secara hukum menjadi terhambat atau tidak ditindaklanjuti sebagaimana mestinya," tulis permohonan keduanya seperti diberitakan Tirto, Rabu (13/8/2025).
Leon menyatakan penyidik yang kerap menindaklanjuti laporan masyarakat kebanyakan berpangkat bintara. Dengan demikian, anggota pembantu penyidik itu merupakan lulusan SMA atau sederajat yang berasal dari jurusan bahasa, IPA, atau IPS.
Leon menilai lulusan SMA tidak membuat anggota penyidik itu terbekali dengan kerangka berpikir yuridis maupun pemahaman sistematis hukum. Hal itu dinilai membuat kesenjangan pemahaman teknis dan konseptual saat menafsirkan hukum.
Perlu Legal Standing untuk Memperkuat Tuntutan
Sementara itu, Ratu Eka Shaira sebagai Kuasa Hukum para Pemohon, memandang sejatinya tamatan SMA tidak buruk. Tetapi belum matang mengemban tugas berat karena pendidikan saat SMA hanya berfokus pada kewarganegaraan, lembaga negara, budi pekerti. Sehingga belum mempelajari lebih dalam soal perbandingan hukum, hak konstitusional, analisis delik pidana dan sebagainya.
“Artinya persyaratan pendidikan minimal SMA, sulit untuk memastikan kompetensi yang diperlukan dalam menjalankan tugas kepolisian yang begitu kompleks,” jelas Ratu Eka.
Menanggapi permohonan ini pada agenda sidang pendahuluan, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur mengatakan perlu bagi para Pemohon untuk melihat kembali alasan persyaratan minimal S1 yang dikatakan akan mampu menghapus kekhawatiran. Ia turut menyarankan para Pemohon memeriksa putusan-putusan MK sebelumnya yang relevan.
Wakil Ketua MK Saldi Isra menyebutkan para Pemohon harus memperhatikan kedudukan hukum (legal standing) dalam petitum mereka. Menurut Saldi, jika syarat SMU sederajat itu diubah menjadi sarjana, bagaimana cara membangun legal standing tuntutan tersebut.
“Itu sesuatu yang harus dicari logika kuat untuk membenarkannya. Kecuali norma itu menyebabkan Saudara tidak bisa mendaftar menjadi polisi, kalau tak bisa menguraikan kausalitasnya bagaimana legal standing, Anda pada permohonan ini,” saran Saldi.
Karenanya, dia mengatakan bahwa Pemohon diberikan waktu selama 14 hari menyempurnakan permohonan. Naskah perbaikan bisa diserahkan selambat-lambatnya Selasa (26/8/2025) ke Kepaniteraan. MK bakal menjadwalkan sidang kedua dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan Pemohon.
Pendidikan yang Lebih Tinggi Buat Polisi Lebih Profesional
Diskursus meningkatkan syarat pendidikan untuk rekrutmen Polri memang sempat disoroti publik. Di luar negeri, kajian-kajian terkait tingkat pendidikan dengan performa polisi dalam melakukan penegakan hukum sudah banyak dibahas.
Dalam negeri sendiri, diskursus ini tak bisa lepas dari derasnya kritik masyarakat terhadap performa Polri yang masih terus disoroti dalam bingkai penegakan hukum represif, pelayanan masyarakat, hingga netralitas institusi.
Dalam studi akademis berjudul “The Effect of Higher Education on Police Behavior” karya Jason Rydberg dan William Terrill (2010) didapati hasil, pendidikan yang lebih tinggi tidak memengaruhi intensitas petugas polisi melakukan penangkapan atau penggeledahan dalam interaksi dengan tersangka. Namun, pendidikan perguruan tinggi secara signifikan menurunkan kemungkinan petugas menggunakan kekerasan dalam bertugas.
Tujuan utama penelitian ini adalah menguji seberapa besar pengaruh pendidikan perguruan tinggi terhadap perilaku petugas polisi, khususnya dalam tiga keputusan penting meliputi penangkapan (arrest), penggeledahan (search), dan penggunaan kekerasan (use of force).

Sementara hasil studi berjudul “The Politics of Higher Police Education: An International Comparative Perspective” (Terpstra & Schaap, 2021) juga menyoroti dampak positif dari pendidikan tinggi polisi. Studi yang menganalisis muatan politis pada kebijakan pendidikan tinggi bagi polisi di Norwegia, Finlandia, serta North Rhine-Westphalia (Jerman) ini, mengungkap pendidikan tinggi bagi rekrutmen kepolisian menimbulkan perdebatan. Tetapi keputusan memperkenalkan pendidikan tinggi untuk semua petugas kepolisian dengan sendirinya bukan kebijakan kontroversial.
Justru, hal ini dihargai karena beberapa alasan: mempromosikan tingkat profesional polisi yang dibutuhkan dalam masyarakat yang semakin kompleks, untuk tetap selaras dengan meningkatnya tingkat pendidikan kelompok profesional lainnya dan masyarakat umumnya, dan untuk meningkatkan citra dan kondisi kerja petugas kepolisian.
Peneliti bidang kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menilai memang diperlukan anggota kepolisian terutama penyidik dan pembantu penyidik dengan kemampuan yang lebih mumpuni dari segi akademik dan literasi. Namun, bagi dia, tidak semua bidang kepolisian mesti diwajibkan lulusan S1.
Misalnya, satuan teknis lapangan seperti Brimob cukup lulusan SMA, karena pekerjaan lebih menekankan kemampuan fisik dan penindakan. Tetapi untuk bidang khusus, penyidik, serta penyelidik mutlak membutuhkan lulusan sarjana ditambah sertifikasi profesi.
Bambang menilai, tuntutan pemohon di MK yang menginginkan pendidikan tinggi menjadi prasyarat masuk polisi patut diapresiasi. Namun, penerapannya akan sulit jika berlaku untuk semua golongan polisi.
Perlu penguatan kompetensi pendidikan polisi
Ia menegaskan bahwa tidak semua polisi penyidik, tetapi semua penyidik adalah polisi. Oleh karena itu, jabatan penyidik maupun pembantu penyidik diwajibkan memiliki pendidikan minimal S1 agar memiliki nalar kritis, logis, dan kemampuan analitis yang mumpuni.Sayangnya, kata dia, masih banyak juga polisi hanya mengejar gelar S1 untuk kepentingan penyetaraan pangkat atau jabatan, tanpa memperhatikan kualitas pendidikan tinggi. Maka amat diperlukan sistem meritokrasi yang jelas di internal Polri agar syarat pendidikan tinggi yang dijaring mampu meningkatkan kompetensi, bukan sekadar formalitas.
Lebih dari sekadar gelar sarjana, Bambang menekankan pentingnya sertifikasi khusus yang harus diperluas dan dipercepat Polri. Sertifikasi bisa membangun standar kompetensi yang lebih baik.
Selain itu, kurikulum pendidikan polisi harus diperpanjang (lebih dari 5 bulan) dengan fokus pada penguatan kemampuan kognitif dan akademik, bukan hanya fisik.
“Tapi porsi kurikulumnya lebih menambah porsi terkait dengan kemampuan kognitif maupun akademis personel,” ucap Bambang.
Bagaimana Peraturan Pendidikan Polisi di Indonesia?
Di Indonesia sendiri, dalam konteks syarat pendidikan, secara umum Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pada Pasal 21 ayat (1), menyatakan bahwa pendidikan minimal SMA/sederajat untuk calon pendaftar. Namun pada pelaksanaannya, syarat pendidikan disesuaikan dengan jalur/golongan.
Polri membuka empat jalur utama, yaitu Akademi Kepolisian (Akpol), Sekolah Inspektur Polisi Sumber Sarjana (SIPSS), Bintara, dan Tamtama. Masing-masing jalur memiliki fokus berbeda: seperti pendidikan perwira ke arah manajerial kepemimpinan, rekrutmen lulusan sarjana keahlian khusus, hingga jalur operasional anggota kepolisian di tingkat lapangan.
Untuk Akpol, menerima lulusan SMA/MA jurusan IPA atau IPS dengan pendidikan sekitar 4 tahun di Akademi. Pendidikan Akpol akan menghasilkan para perwira dan calon petinggi di institusi Polri.
Kemudian ada jalur Sekolah Inspektur Polisi Sumber Sarjana (SIPSS) bagi lulusan D4, S1, atau S2 yang ingin bergabung dengan Polri lewat jalur perwira keahlian. Pendidikan SIPSS berlangsung selama 6 bulan di Lemdiklat Polri, Semarang.

Selanjutnya jalur Bintara yang merupakan jenjang menengah dalam struktur kepolisian dan berperan sebagai penghubung antara perwira dan tamtama. Pendidikan selama 5 bulan dan menghasilkan lulusan Brigadir Polisi Dua (Bripda). Jalur ini boleh diikuti lulusan SMA dan sederajat, kecuali jurusan Tata Busana dan Kecantikan, serta lulusan Diploma dan Sarjana.
Terakhir, jalur Tamtama yang merupakan calon anggota kepolisian dengan tugas di bidang operasional teknis dan lapangan. Pendidikan berlangsung selama 5 bulan di Pusdik Brimob atau Pusdik Polair. Dibuka untuk lulusan SMA/MA/SMK.
Peningkatan Pendidikan Polisi untuk Perbaikan Kualitas Penegakan Hukum
Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menilai gagasan peningkatan level pendidikan bagi anggota Polri adalah langkah positif. Menurutnya, perbedaan kualitas antara lulusan SMA dengan perguruan tinggi sangat signifikan. Pada level SMA hanya ada dua yang dibentuk, pengetahuan yang sifatnya umum dan pembentukan karakter.
Sementara di perguruan tinggi, kata Sugeng, pendidikan memberikan spesialisasi, pendalaman pengetahuan, dan penguatan keterampilan. Perguruan tinggi juga mengembangkan cara berpikir kritis dan analitis. Ini sangat penting di dalam profesi polisi.
Namun, Sugeng menekankan ada dilema desain pendidikan Polri saat ini. Bintara dididik untuk menjadi pelaksana, sementara perwira yang berasal dari Akademi Kepolisian (Akpol) atau jalur sarjana menduduki posisi komando. Jika Bintara dinaikkan syarat pendidikannya hingga sarjana, ia khawatir akan muncul ketegangan struktural.
“Problemnya, kalau sebagai pelaksana kemudian lebih pintar atau setara dengan komandannya, apakah tidak akan menimbulkan masalah? Pada level pelaksana, dia harus siap menjalankan perintah,” kata Sugeng.
Sugeng menilai, jika Bintara wajib sarjana, maka pendidikan perwira juga harus ditingkatkan setingkat lebih tinggi, misalnya S2. Namun jika terjadi, hal itu bakal berdampak besar pada kultur organisasi Polri.
“Kalau pelaksana Bintara sarjana, maka Polri bukan lagi menjadi kultur hirarkis perintah, tetapi kultur kerja profesional. Pertanyaannya, apakah ini bisa jalan?” katanya.

Di sisi lain, Wakil Koordinator Bidang Eksternal KontraS, Andrie Yunus, menilai pada level proses penegakan hukum dalam konteks peradilan pidana yang sering kali bersinggungan dengan kerja KontraS sebagai pendamping korban, urgensi menaikan syarat S1 bagi calon anggota Polri menjadi sangat penting.
Terutama bagi para calon polisi yang sejak awal menjadi penyidik atau pembantu penyidik dalam kerangka proses peradilan pidana. Para anggota Polri yang berhadapan dengan kerja penegakan hukum penting mempelajari ilmu hukum secara komprehensif hingga mendapat gelar Sarjana Hukum.
“Mengingat dalam praktik, kami kerap menemukan masalah substansial baik soal hukum materil maupun formil (hukum acara) yang tidak dipahami penyidik/pembantu penyelidik, mereka berdalih 'ini perintah atasan,' padahal yang diperdebatkan mengenai teori hukum dan HAM,” terang Andrie kepada wartawan Tirto, Jumat (15/8).
Karenanya, KontraS mendukung kenaikan syarat pendidikan polisi bagi calon anggota, tapi mereka belum cukup yakin syarat itu mampu memperbaiki kualitas penegakan hukum.
Lebih dari itu, terdapat kultur militeristik polisi dalam setiap jenjang pendidikan Polri maupun pendidikan kekhususan seperti di bidang reserse. Karena masih terdapat kultur militeristik, KontraS menilai masalah itu menjadi penyebab kekerasan aparat polisi ketika menjalankan kewenangannya melakukan proses penegakan hukum.
“Oleh karena itu, penaikan syarat ini harus dibarengi dengan upaya perombakan total sistem pendidikan internal Polri. Selain itu, penguatan pengawasan harus terus dilakukan,” ujar Andrie
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































