Menuju konten utama
Gearbox

Suzuki Shogun: Simbol Inovasi Suzuki yang Kebablasan?

Suzuki Shogun lahir sebagai pendobrak, bahkan pendongkrak popularitas jenamanya di Indonesia. Tapi seiring waktu, ia memudar perlahan, lantas lesap.

Suzuki Shogun: Simbol Inovasi Suzuki yang Kebablasan?
Shogun FD 110 CDT. foto/Shogun

tirto.id - Gelaran Japan Mobility Show (JMS) 2025 yang saat ini digelar di Tokyo, Jepang, dimanfaatkan oleh Suzuki untuk memperkenalkan logo sekaligus slogan baru. Emblem "S" yang sebelumnya berdesain 3D, kini menggunakan desain flat yang lebih jelas dan terlihat lebih modern. Selain itu, slogan "Way of Life" yang sudah digunakan sejak 2008 pun turut diubah menjadi "By Your Side".

"Industri mobilitas saat ini sedang menghadapi perubahan besar.... Namun, apa pun eranya, jawaban kami tetap sama: berdiri di sisi Anda dan memecahkan berbagai tantangan kehidupan sehari-hari di seluruh dunia. Itulah By Your Side," jelas Toshihiro Suzuki, Representative Director and President Suzuki Motor Corporation, dalam pidatonya di JMS 2025.

Dari pernyataan tersebut, tampak jelas bahwa Suzuki memosisikan dirinya sebagai konstanta, yakni sesuatu yang tetap di tengah segala perubahan. Sikap itu tidak salah. Toh, Suzuki memang jenama klasik yang sudah begitu lama menemani perjalanan umat manusia. Namun, penggunaan slogan tersebut seakan-akan membuat Suzuki terasa makin jauh dari yang dulu pernah identik dengan mereka.

Sebelum "Way of Life", ada dua slogan yang membuat Suzuki terasa dan terdengar seperti merek penuh gebrakan. Slogan pertama, "Inovasi Tiada Henti", lahir pada dekade 1990-an. Sementara itu, slogan "Ride the Wind of Change" mulai dikumandangkan pada awal dasawarsa 2000-an. Kedua slogan itu sama-sama menonjolkan sifat inovatif Suzuki yang, memang, ketika itu begitu dominan terasa, terutama dalam produk-produk sepeda motornya.

Dan rasanya, tidak ada produk Suzuki yang mewakili spirit inovasi itu sebaik Shogun.

Evolusi Shogun yang Legendaris

Shogun hadir ke tengah-tengah masyarakat Indonesia ketika sepeda motor 4-tak masih dikuasai Honda dengan klan Astrea-nya. Pada 1995, hanya setahun setelah merilis Suzuki Tornado, Suzuki mengeluarkan versi 4-tak dari Tornado dengan nama Shogun.

Shogun disebut sebagai versi 4-tak dari Tornado karena bodinya memang mirip sekali. Desain lampu depan dan belakangnya sama persis. Bedanya hanya di bagian knalpot karena, tentu saja, mesin kedua sepeda motor itu berlainan.

Namun, Shogun bukan sekadar versi 4-tak dari Tornado. Ia hadir dengan sejumlah keunggulan ketimbang kompetitornya, yaitu klan Astrea milik Honda.

Pertama, dengan desain bodi sama dengan Tornado (dan kelak juga diadopsi Satria generasi pertama), ia tampak lebih sporty.

Kedua, Shogun merupakan motor underbone/bebek 4-tak pertama di Indonesia yang dibekali mesin 110cc (carbon copy).

Ketiga, mesin Shogun dikenal galak karena mampu menghasilkan 9,8 tenaga kuda pada 7.000 rpm (revolutions per minute). Ia mampu digeber hingga kecepatan 120 km/jam.

Keempat, Shogun generasi pertama dibekali CDI (Capacitor Discharge Ignition) yang, bahkan, hingga kini masih diburu karena tidak memiliki limiter dan mampu membuat putaran mesin menembus 13.000 rpm. Angka itu jauh lebih tinggi dibanding bebek lain yang rata-rata ada di angka 8.000-9.000 rpm.

Terakhir, yang tak kalah penting, meskipun bermesin powerful dan sanggup diajak kebut-kebutan, konsumsi bahan bakar Shogun terbilang irit. Dengan satu liter bensin, ia sanggup diajak berkelana hingga 16 kilometer.

Shogun Kebo--begitu ia disebut oleh beberapa pengguna di Indonesia--bertahan selama lima tahun. Pada 2000, Suzuki memperbarui tampilan motor bebek flagship-nya dengan merilis New Shogun 110 R. Sebenarnya, untuk urusan mesin, versi baru tersebut kerap dianggap downgrade dari Shogun Kebo. Akan tetapi, New Shogun tetap memiliki keunggulan.

New Shogun merupakan jawaban Suzuki atas diluncurkannya Supra oleh Honda. Oleh karena itu, bodi New Shogun lebih ramping dan ringan (seperti Supra), membuatnya lebih mudah dikendarai oleh siapa pun. Selain itu, ia ditawarkan dengan berbagai pilihan warna menarik, mulai dari hitam, perak, merah, biru, hingga hijau toska yang membuatnya lain dari yang lain, tak seperti Shogun Kebo yang cuma tersedia dengan warna hitam dan hijau tua.

Suzuki Shogun 110R

Suzuki Shogun 110R. wikimedia/オーバードライブ83

Bisa dibilang, New Shogun sama ikoniknya dengan Shogun Kebo dengan kapasitas berbeda. Jika Shogun Kebo hadir sebagai pendobrak, New Shogun lahir sebagai pendongkrak popularitas. Total jenderal, menurut seorang sumber Suzuki Indomobil, dalam kurun 2000-2004, New Shogun terjual hingga 900 ribu unit!

Namun, kesuksesan New Shogun tak membuat Suzuki lantas terlena. Itulah masa ketika mereka mulai memasuki era "Ride the Wind of Change" atau "Jadilah Bagian dari Perubahan". Pada masa itu, Suzuki memutuskan mengeutanasia New Shogun sekaligus melahirkan Shogun versi baru dengan desain yang benar-benar segar dan kapasitas mesin lebih besar lagi.

Jika sebelumnya Suzuki mendahului Honda di segmen 110cc, pada masa berikutnya Honda-lah yang tampil lebih dulu. Pada 2003, Honda merilis Kirana dan Karisma, pelopor bebek 125cc di Indonesia. Tak mau kalah, setahun berselang, Suzuki menyetop New Shogun, lalu menggantikannya dengan Shogun 125 R. Di sisi lain, untuk segmen 110cc, Suzuki sudah memiliki Smash "Si Gesit Irit" yang diluncurkan pada 2002.

Bodi Shogun 125 R lebih panjang dibanding New Shogun, tetapi tetap ramping dan tidak bongsor seperti Shogun Kebo. Versi terbaru juga tampil dengan striping sporty, serta dibekali fitur bagasi luas dan pengaman kunci magnet. Namun, ia hanyalah batu loncatan dari puncak evolusi Shogun yang dirilis pada 2005, yaitu Shogun 125 SP.

Shogun 125 SP (Sports Production), bisa dikatakan, merupakan Shogun terbaik yang pernah ada. Warna dan striping dibuat lebih sporty. Desain pelek cast wheel-nya pun sangat fenomenal, sampai-sampai ditiru oleh pabrikan aftermarket. Ia juga sudah dilengkapi rem cakram ganda berukuran besar.

Ke-sporty-an Shogun 125 SP makin tampak dengan penggunaan kopling tipe manual dan ketiadaan electric starter. Mengapa ketiadaan electric starter menambah tingkat ke-sporty-an motor tersebut? Selain karena memang tidak ada motor balap yang pakai electric starter, keberadaan dinamo starter ternyata menambah beban kruk as. Alhasil, tanpa electric starter, motor ini jadi terasa lebih responsif dan ringan untuk melahap rpm tinggi.

Titik Balik Kemunduran

Meskipun 125 SP bisa dikatakan sebagai puncak dari evolusi Shogun, tak berlebihan pula menyebutnya sebagai titik balik peruntungan seri Shogun ke arah negatif.

Dari sisi teknologi dan desain, Shogun 125 SP memang andal. Namun, ketiadaan electric starter dianggap merepotkan. Selain itu, saat ia diluncurkan, Honda sudah memiliki motor 125cc yang lebih irit bernama Supra X 125. Dengan meluncurkan 125 SP, Suzuki seakan-akan membatasi segmentasi Shogun hanya untuk para pencinta kecepatan, sementara Honda sanggup merangkul semua kalangan.

Evolusi Shogun selanjutnya pun tidak mampu mengubah peruntungan tersebut. Pada 2007, Suzuki memperbarui Shogun dengan merilis versi yang dikenal sebagai Shogun Robot--karena garis-garis desainnya kaku.

Sebetulnya, Shogun Robot sudah berusaha merangkul semua dengan menyediakan versi untuk tiap jenis pengguna. Akan tetapi, citra Shogun saat itu sudah telanjur "rusak" akibat Shogun 125 SP yang "segmented" dan "boros". Inovasi Suzuki berikutnya lewat Shogun 125 FI pun jadi tiada artinya.

SHOGUN FL125

SHOGUN FL125. foto/https://suzukicdn.com/

Pada 2008, Shogun Robot mendapat pembaruan dalam bentuk teknologi injeksi. Sistem injeksi yang dijejalkan Suzuki pun sebetulnya bisa dibilang canggih dan lengkap karena dilengkapi tujuh sensor sekaligus: Engine Temperature Sensor (ET), Intake Air Pressure (IAP) Sensor, Intake Air Temperature Sensor (IAT), Throttle Position Sensor (TPS), juga Crank Position Sensor (CPS), dan Tip-Over Sensor (TO).

Selain itu, sistem injeksi Shogun yang bernama Discharge Pump Fuel Injection (DCP-FI) punya kelebihan utama. Pompa bensinnya menyatu dengan injektor sehingga tidak perlu tekanan bensin tinggi untuk disemprot ke ruang bakar. Akan tetapi, perpaduan antara buruknya reputasi Shogun dan meningkatnya minat masyarakat pada skuter matik membuat Shogun FI jadi seri yang terlupakan.

Mati Pelan-Pelan dan Usaha Bereinkarnasi

Sampai akhirnya, Shogun benar-benar menemui ajalnya ketika merilis varian pemungkasnya, Axelo.

Desainnya serba nanggung. Bentuknya mirip dengan Shogun Robot tapi garis-garisnya tak lagi tegas. Headlamp-nya terlalu besar sehingga kesan sporty seakan-akan lenyap. Sudah begitu, motor ini juga dikeluhkan karena kualitas knalpot menurun dan suaranya tidak segaring varian sebelumnya.

Alhasil, Axelo pun menjadi titik mati yang pahit bagi seri sepeda motor yang sebenarnya punya sejarah inovasi panjang dan, bisa dibilang, monumental bagi pasar Indonesia.

Pada 2014, tiga tahun setelah Axelo dirilis, Suzuki secara resmi menyetop produksi Shogun yang sudah bertahan selama 19 tahun. Shogun memang berhasil di awal. Akan tetapi, Suzuki bisa dibilang terlalu bernafsu membuat "Sang Jenderal" jadi sepeda motor beperforma tinggi, sampai-sampai melupakan hakikat motor bebek sebagai motor sejuta umat.

Hingga kini, belum ada lagi motor Suzuki yang mampu menandingi Shogun dari sisi inovasi maupun performa penjualan, terutama karena pabrikan ini memang sedang menjalani masa sulit di Indonesia. Praktis, hanya Satria yang masih mampu berbicara banyak, padahal segmen pasar terbesar di Indonesia adalah skuter matik.

Belakangan, Suzuki mulai bangkit lewat skutik Burgman Street 125-nya. Penjualan motor itu, pada 2025, bahkan diklaim naik 10 persen ketimbang tahun lalu. Namun, dengan penjualan yang masih berkutat di angka belasan ribu per tahun, peruntungan Suzuki masih sangat jauh jika dibandingkan ketika Shogun masih dapat diandalkan.

Baca juga artikel terkait MOTOR SUZUKI atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Gearbox
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadli Nasrudin