Menuju konten utama

Stop Stigmatisasi, Pencegahan Bunuh Diri Sudah Saatnya Diperkuat

Negara berperan kunci dalam pencegahan bunuh diri, sebab punya kendali kebijakan, pendanaan, dan pengembangan layanan.

Stop Stigmatisasi, Pencegahan Bunuh Diri Sudah Saatnya Diperkuat
Ilustrasi Empati. (FOTO/iStockphoto)

tirto.id - Peringatan: Artikel ini memuat informasi terkait bunuh diri. Informasi dalam artikel ini tidak bertujuan untuk menginspirasi siapa pun melakukan tindakan serupa. Jika Anda, teman, kerabat, atau keluarga memiliki kecenderungan bunuh diri, segera hubungi bantuan profesional melalui psikolog, psikiater, atau dokter kesehatan jiwa di puskesmas atau rumah sakit terdekat. Layanan dari Kementerian Kesehatan dapat pula dihubungi di nomor 119 ext 8 atau healing119.id.

=========

Awal 2025 masih diwarnai dengan maraknya pemberitaan tentang kasus-kasus bunuh diri. Fenomena ini tak mengenal latar belakang, siapa pun bisa menjadi pelakunya. Entah itu pria atau wanita, tua-muda, masyarakat biasa maupun pejabat, akademisi, hingga pesohor berpotensi melakukannya.

Bahkan, beberapa kasus bunuh diri akhir-akhir ini terjadi pada satu keluarga penuh, tidak lagi dilakukan secara individual.

Angka kasus bunuh diri yang sudah tergolong tinggi pun berkecenderungan meningkat. Dari pantauan Pusiknas Polri, pada 2024 terjadi sebanyak 1.105 kasus bunuh diri di Indonesia. Angka kasus itu hanya turun tipis dibandingkan 2023 yang mencapai 1.288 kasus.

Sebelumnya, kasus bunuh diri juga memiliki tren meningkat sebab pada 2022 tercatat 902 kasus. Lebih tinggi dari 2021 dengan kasus bunuh diri sebanyak 629 kasus dan 2020 sebanyak 640 kasus.

Per 23 Januari 2025, jumlah kasus bunuh diri tercatat sebanyak 91 kasus. Ini perlu menjadi perhatian serius semua pihak karena angka tersebut menunjukkan potensi kasus bunuh diri kembali meningkat.

Beberapa kasus bunuh diri yang terjadi bulan ini, misalnya, di Bandung pada Kamis (23/1/2025), dilakukan seorang pria berusia 20 tahun. Pria tersebut diduga mengakhiri hidup dengan melompat dari gedung sebuah mall.

Kasus lain terjadi di Tambun, Bekasi, sehari (22/1) sebelumnya. Seorang pria mengakhiri hidupnya di kontrakan dengan gantung diri.

Kasus yang cukup menyita perhatian publik adalah bunuh diri yang dilakukan seorang anggota TNI di Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada 12 Januari 2025. Pelaku diduga melakukan bunuh diri sebab urusan mahar.

Namun, harus dipahami bahwa kasus bunuh diri bukan sekadar statistik angka dan data. Bunuh diri adalah fenomena serius yang sebetulnya bisa dicegah dengan memupuk pemahaman, rasa tulus, kepekaan sosial, dan komitmen negara.

Kesehatan mental–yang sering kali menjadi faktor umum kasus bunuh diri–tidak bisa dipandang sebelah mata, apalagi menjadi stigma.

Stigma sebetulnya masalah laten yang masih mengakar di masyarakat kita. Sandersan Onie dan rekan-rekan dalam penelitian bertajuk “Indonesia’s First Suicide Statistics Profile: An Analysis of Suicide and Attempt Rates, Underreporting, Geographic Distribution, Gender, Method, and Rurality” (Februari 2024) mengungkap bahwa data tentang bunuh diri di Indonesia sangat terbatas.

Hasil penelitian Onie dkk. menemukan bahwa Indonesia punya tingkat bunuh diri tidak tercatat sebesar 859,10 persen. Lima provinsi dengan angka bunuh diri tertinggi adalah Bali, Kepulauan Riau, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Kalimantan Tengah.

Lalu, analisis gender mengungkapkan rasio 1:2,11 untuk kasus bunuh diri perempuan dan laki-laki. Sementara itu, kasus bunuh diri di pedesaan 4,47 kali lebih banyak dibandingkan jumlah kasus di perkotaan.

Berempati kepada Sesama

Peneliti bidang sosial The Indonesian Institute (TII), Dewi Rahmawati Nur Aulia, menyatakan bahwa pencegahan bunuh diri membutuhkan kesadaran kolektif dan kemampuan untuk mengenali risikonya. Langkah utama yang membantu masyarakat menekan kecenderungan bunuh diri individu adalah memupuk empati terhadap sesama.

Keadaan sulit yang dialami orang-orang terdekat merupakan pintu masuk untuk memahami sesama, alih-alih melakukan penghakiman. Dewi mengingatkan bahwa problematika orang lain bukanlah bahan untuk melakukan perundungan. Terlebih, di tengah keruhnya stigma dan konstruksi sosial yang membuat individu bermasalah menjadi semakin terisolasi.

Misalnya, kata Dewi, fenomena bunuh diri usia remaja dan pria di Indonesia yang menonjol sebab adanya interseksi dari berbagai aspek, seperti sosial, budaya, dan psikologis.

Kalangan remaja rentan mengalami bunuh diri bisa disebabkan dari adanya tekanan akademis, sulitnya mencapai harapan masyarakat, dan perilaku perundungan yang sering terjadi di kalangan remaja,” ucap Dewi kepada wartawan Tirto, Jumat (24/1/2025).

Demikian pula yang terjadi pada kategori gender pria. Perilaku bunuh diri rentan dialami oleh pria akibat kompleksitas peran sosial yang dilakoni. Sebagai kepala rumah tangga, misalnya,ia dihadapkanpada tanggung jawab tentang bagaimana menyediakan kehidupan yang layak bagi keluarga.

Sedangkan, dalam ruang komunal, pria dituntut untuk memenuhi ekspektasi masyarakat. Termasuk, menjalankan peran di masyarakat dengan tegar dan tanpa keluhan. Gangguan beban dapat terjadi pada pria apabila mereka tidak dapat memenuhi perannya tersebut.

Namun, bukan berarti persoalan tersebut tidak dialami perempuan. Tuntutan untuk menjadi sempurna dan sesuai konstruksi sosial yang membebani pikiran juga terus berdatangan. Hal ini diperparah dengan masyarakat yang kental dengan pandangan patriarki.

Seperti disebut sebelumnya, urusan gangguan kesehatan mental bisa menyerang siapapun tanpa terkecuali.

Dewi menilai, stigma masyarakat memang memperburuk fenomena bunuh diri. Anggapan bahwa terjadinya bunuh diri karena iman yang lemah dapat memperburuk kondisi kesehatan mental individu. Padahal, seharusnya dipahami bahwa persoalan kesehatan mental adalah hal yang kompleks dan multidimensi.

Dengan kata lain, ucap Dewi, bunuh diri dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Artinya, ini menuntut masyarakat tidak tebang pilih dalam membantu sesama individu. Salah satunya membantu memperoleh akses bantuan pertolongan dari profesional kesehatan jiwa.

Menuntut Peran Negara

Pemerintah sebetulnya sudah mengeluarkan aturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 lewat lahirnya PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang UU Kesehatan. Di dalamnya, tercantum peran pemerintah untuk melakukan pencatatan setiap kejadian bunuh diri dengan kebijakan registri bunuh diri sebagai upaya pencegahan bunuh diri. Ketentuan itu termaktub dalam Pasal 155 Ayat 1 PP Kesehatan.

Pemerintah dimandatkan membuat sistem pencatatan percobaan bunuh diri dan kematian akibat bunuh diri. Registri tersebut memuat setidaknya data jenis kelamin, usia, metode dan faktor risiko, latar belakang, alasan, dan/atau penyebab bunuh diri. Sumber data itu berasal dari catatan Polri, kependudukan dan sipil, serta lembaga pemerintah nonkementerian.

PP itu mengamanatkan menteri di bidang kesehatan sebagai pelaku penyelenggara registri bunuh diri. Selain melakukan pencatatan lewat sistem registri bunuh diri, PP Kesehatan juga mengatur mengenai proses mitigasi dan upaya preventif bunuh diri.

Pasal 154 menyebutkan bahwa pencegahan bunuh diri bisa dilakukan dengan pengaturan pemberitaan yang benar dan bertanggung jawab di media massa dan media sosial.

Bagi terduga pelaku bunuh diri, Pasal 154 Ayat 4 menginstruksikan pemerintah untuk membatasi akses terhadap alat, bahan, dan fasilitas yang dapat digunakan untuk bunuh diri. Pemerintah juga harus menyediakan akses pelayanan konseling melalui saluran siaga, memberikan dukungan melalui kelompok penyintas, dan penanganan fisik dan jiwa akibat percobaan bunuh diri.

Namun, pertanyaan dasarnya, apakah upaya-upaya itu sudah dilaksanakan secara efektif atau baru sebatas aturan di atas kertas? Cukup sulit menjawabnya di tengah tingginya kasus bunuh diri saban tahun.

Pemerintah dan seluruh pihak terkait seharusnya memandang permasalahan kesejahteraan psikologis warganya sebagai persoalan yang perlu diurus secara holistik. Pasalnya, Negara memegang peran kunci dalam pencegahan bunuh diri, sebab punya kendali atas kebijakan, pendanaan, dan pengembangan layanan.

Ini termasuk layanan kesehatan jiwa dan fasilitas sarana dan prasarana yang memadai tentang kesehatan jiwa, seperti tenaga kesehatan dan rumah sakit atau klinik,” ucap Dewi.

Data dari Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan bahwa prevalensi depresi tertinggi terjadi pada kelompok usia 15-24 tahun. Di antara kelompok muda yang mengalami depresi, sebanyak 61 persen memiliki pemikiran untuk mengakhiri hidup.

Temuan itu seolah menebalkan temuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2017 yang menyebut 3,9 persen dari 8.899 remaja Indonesia pernah melakukan percobaan bunuh diri. Percobaan tersebut setidaknya dilakukan sekali selama 12 bulan terakhir saat survei dilakukan.

SKI 2023 juga menyebut bahwa Indonesia menduduki peringkat kelima di Asia Tenggara dengan 3,7 kematian per 100 ribu penduduk. Peringkat tertinggi dipegang Thailand dengan 12,9 kematian per 100 ribu penduduk.

Peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, menilai bahwa kasus bunuh diri sering kali menarik perhatian masyarakat setelah peristiwa terjadi. Namun, langkah pencegahan komunal justru terabaikan. Untuk mencegah bunuh diri, penting agar kita lebih peka terhadap tanda-tanda yang mungkin menunjukkan seseorang sedang berada dalam krisis.

Meski tidak selalu jelas, ucap Wawan, beberapa perubahan perilaku bisa diamati, seperti menarik diri dari interaksi sosial, menunjukkan perasaan putus asa, atau berbicara tentang keinginan untuk menyerah. Menanyakan secara langsung tentang kondisi individu dengan tanda-tanda itu akan krusial.

Hanya dengan bertanya apakah mereka merasa ingin menyakiti diri sendiri, dapat membuka ruang bagi mereka untuk berbagi.

Hal ini tidak akan memperburuk situasi, melainkan menjadi langkah awal untuk memberikan dukungan,” ucap Wawan kepada wartawan Tirto, Jumat.

Stigmatisasi memperburuk fenomena bunuh diri karena telah menciptakan penghalang bagi individu yang membutuhkan bantuan profesional. Umumnya masyarakat memandang bunuh diri sebagai dosa besar atau kegagalan moral. Ini membuat keluarga korban atau penyintas merasa malu dan bahkan menyembunyikan kejadian bunuh diri.

Akibatnya, diskusi soal pencegahan bunuh diri jarang sekali terjadi secara terbuka. Stigma ini turut membuat individu yang mengidap gangguan mental jadi enggan mencari bantuan profesional sebab khawatir dianggap lemah atau “tidak normal”.

Untuk mengatasi stigma, perlu kampanye dan edukasi publik yang masif untuk mendorong pemahaman bahwa bunuh diri merupakan masalah kesehatan yang bisa dicegah. Terutama dengan membangun empati terhadap mereka yang mengalami krisis.

Wawan menegaskan bahwa mencegah bunuh diri adalah tugas kolaborasi semua pihak. Meski demikian, pemerintah harus menjadi penggerak terdepan dalam menciptakan lingkungan yang mendukung kesejahteraan mental masyarakat.

Pemerintah memiliki peran penting dalam mencegah bunuh diri dengan memanfaatkan sumber daya yang mereka miliki. Salah satu langkah yang sangat penting adalah meningkatkan akses layanan kesehatan mental, terutama di daerah terpencil,” tukas Wawan.

Baca juga artikel terkait KESEHATAN MENTAL atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi