tirto.id - Anak muda selalu dipandang berperan penting mengubah dunia. Tengok saja sejarah Indonesia. Sebagaimana dicatat Her Suganda dalam Peristiwa Rengasdengklok (2013), saking lambatnya golongan tua memanfaatkan momentum keruntuhan Jepang, rapat gabungan golongan pemuda di ruang belakang Bacteriology Laboratorium pada 15 Agustus 1945 memutuskan kemerdekaan “harus segera diproklamasikan oleh Bangsa Indonesia sendiri, tanpa campur tangan bangsa asing”.
Atas keputusan itu, para pemuda Indonesia bergerak “menjauhkan kedua pemimpin bangsa, yakni Sukarno dan M. Hatta, dari hal-hal yang dianggap berbau Jepang”, guna menutup kemungkinan kesepakatan politik politik yang melambatkan kemerdekaan. Dua hari setelah rapat, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Narasi pemuda sebagai penggerak sejarah juga hadir di dunia teknologi. Kala mendirikan Facebook, media sosial terbesar di dunia, Mark Zuckerberg masih berusia 19 tahun. Lalu, saat bekerjasama dengan Paul Allen mendirikan Microsoft, Bill Gates baru berusia 19 tahun. Demikian pula Apple. Perusahaan yang menciptakan iPhone, iPad, hingga MacBook ini didirikan oleh Steve Jobs yang masih berusia 21 tahun.
Di Indonesia, saat mendirikan Gojek, Nadiem Makarim masih berusia 26 tahun, sementara Tokopedia didirikan William Tanuwijaya yang menginjak 28 tahun pada 2008.
"Kecerdasan cair" (fluid intelligence) disebut-sebut sebagai salah satu alasan mengapa anak muda sanggup menciptakan terobosan baru di berbagai bidang. Sebagaimana ditulis J.L. Horn dan Raymond Cattell dalam “Age Differences in Fluid and Crystallized Intelligence” (1967), kecerdasan cair adalah kemampuan berpikir secara fleksibel dan sederhana. Keberanian mengambil risiko pada orang-orang dengan tingkat kecerdasan cair tinggi dinilai membantu mengembangkan ide-ide segar.
Kecerdasan cair dengan tingkat yang sangat tinggi dimiliki anak muda, khususnya di usia 20-an, dan lambat laun menurun mengikuti perkembangan usia.
Mitos, Mitos, Mitos
Sayangnya, anak muda dengan startup sukses, seperti Zuckerberg, Jobs, hingga Nadiem, adalah pengecualian. Studi Pierre Azoulay (Massachusetts Institute of Technology), Ben Jones (Northwestern University), J. Daniel Kim (University of Pennsylvania), dan Javier Miranda (United States Census Bureau), menyatakan bahwa mayoritas perusahaan rintisan teknologi sukses didirikan oleh orang-orang berusia cukup tua.
Riset yang dipublikasikan dalam “Age and High-Growth Entrepreneurship” yang disarikan The New York Times (29/8/19) itu meneliti 2,7 juta pendiri startup di Amerika Serikat. Riset tersebut mendefinisikan startup sukses berdasarkan indikator pertumbuhan jumlah karyawan yang meningkat dengan cepat dan pembukuan penjualan yang baik. Rata-rata dari startup sukses ini didirikan oleh orang berusia 42 tahun. Namun, khusus untuk startup berpredikat paling sukses, yang hanya berjumlah 0,1 persen dari total populasi riset, rata-rata usia pendirinya ada di umur 45 tahun.
Temuan Zoulay dkk. berbanding terbalik dengan mitos anak muda sebagai pionir startup. Dalam sebuah kesempatan, Zuckerberg pernah menyatakan bahwa anak muda "memang jauh lebih pintar (dibandingkan orang tua)”. Pernyataan itu terdengar sebagai versi lain dari ucapan kapitalis ventura Vinod Khosla bahwa “orang berusia di atas 40 tahun ibarat orang yang telah kehabisan ide”.
Namun, Zuckerberg dkk. lupa bahwa usia di atas 40 tahun adalah usia matang. Orang berusia kepala empat memiliki banyak bekal dan tidak sekadar berani berisiko untuk menciptakan startup yang sukses. Ini misalnya terjadi pada Tony Fadell, yang berusia 41 tahun tatkala mendirikan Nest.
Fadell mendirikan Nest selepas makan asam garam di Silicon Valley. Karier bermula sebagai pekerja General Magic dan Philips Electronic pada awal 1990-an. Pada tahun 2000-an, ia pindah ke Apple dan mengepalai proyek penciptaan pemutar lagu untuk iPod. Setelah merasa cukup, Fadell mendirikan Nest yang memproduksi thermostat alias alat pengukur suhu. Seiring waktu, Nest diakuisisi Google dengan nilai $3,2 miliar.
“Sudah 20 tahun lebih saya di Silicon Valley dan saya memiliki jaringan pertemanan dengan orang-orang yang pernah bekerja dengan saya dahulu,” ucapnya suatu ketika.
Salah satu hal yang sukar dimiliki anak muda jika dibandingkan dengan orang tua ialah jaringan pertemanan yang lebih luas. Pada kasus tertentu, jaringan pertemanan yang luas dapat dibaca sebagai koneksi ke kekuasaan.
Dukungan Konco Penguasa
Koneksi ke kekuasaan sukses melanggengkan bisnis-bisnis di Cina. Contoh paling mencolok adalah Huawei dan Alibaba, dua raksasa teknologi Cina.
Huawei didirikan oleh Ren Zhengfei ketika menginjak usia 43 tahun. Banyak analis keamanan Amerika Serikat percaya bahwa pada 1983, tiga tahun sebelum Huawei didirikan, Zhengfei menjabat direktur Akademi Teknik Informasi Pembebasan Rakyat (PLA), sebuah organisasi yang mereka yakini terkait divisi intelijen Cina 3PLA.
Karena faktor Zhengfei itulah Huawei dianakemaskan oleh Beijing sehingga bisa berkembang menjadi salah satu perusahaan asal Cina di tingkat global. Belakangan Huawei menjadi pemain utama pengembangan infrastruktur internet di Korea Utara.
Selain Huawei, akses ke orang-orang kuat di pemerintahan (akrab disebut “Guan Xi”) juga dimiliki oleh Alibaba. Sebagaimana diwartakan BBC, bos Alibaba Jack Ma adalah anggota Partai Komunis Cina. Dalam banyak kesempatan, Ma sering membela kebijakan-kebijakan pemimpin Cina Xi Jinping. Misalnya, kebijakan pemblokiran kekuatan internet asing di Cina yang dikenal sebagai The Great Firewall of China.
Menurut pandangan Ma, jika misalnya Facebook dan kawan-kawan ingin masuk ke Cina, “ikutilah aturan ala Cina”. Maksudnya, ikutilah kebijakan Xi Jinping.
Praktik Guan Xi tak hanya dilakukan penggerak Huawei atau Alibaba, tapi juga Xiaomi, Baidu, Tencent, dan perusahaan teknologi besar Cina lainnya.
Dalam studi berjudul “The Effects of Business and Political Ties on Firm Performance: Evidence from China” (2011), Shibin Sheng menyatakan bahwa praktik merangkul penguasa subur khususnya di negara berkembang atau di negara otoriter. Menurut Sheng, “negara berkembang (dan otoriter) mengalami perubahan cepat dalam lembaga ekonomi, sosial, dan hukum yang menciptakan tantangan berat bagi pengusaha.”
“Dalam keadaan yang demikian, ikatan sosial pada penguasa muncul sebagai opsi strategis penting yang memungkinkan perusahaan untuk mengamankan sumber daya dan menangani lingkungan yang tidak pasti,” tulis Sheng.
Singkatnya, dalam praktik berbau KKN, orang tua lebih punya tempat dibandingkan anak muda.
Editor: Windu Jusuf